Kamis, 29 Januari 2009

Menjadi Jawa dengan Makna

Oleh Siti Aminah

Globalisasi Bukan Sekedar Kemajuan Teknologi
Banyak kalangan berpendapat globalisasi adalah keniscayaan atau sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Bagi kalangan tersebut, globalisasi dianggap sebagai sesuatu yang baik, karena mampu memperkecil jarak dan perbedaan antar bangsa, meluaskan akses informasi, dan meningkatkan perdagangan internasional.


Jika dirunut lebih jauh, arti kata globalisasi sebenarnya lebih banyak merujuk pada ekonomi dan perdagangan dari pada penyatuan bangsa-bangsa di muka bumi seperti yang sering didengungkan. Konsep globalisasi berakar pada pemikiran dan kepentingan negara maju di belahan bumi Utara, sehingga dalam pelaksanaannya sangat bias dengan kepentingan-kepentingan negara Barat atau Utara. Paradigma Barat dianggap global dan universal sementara non-barat dianggap lokal dan primitif. Itulah kenapa globalisasi tidak pernah berjalan secara adil dan setara.

Globalisasi diawali dengan niatan negara Utara membuka pasar di negara Selatan. Bukan hanya pasar untuk produk-produk berteknologi tinggi yang belum mampu diproduksi oleh negara selatan, melainkan juga produk-produk yang telah dapat diproduksi sendiri oleh negara tujuan. Selain perluasan pasar, negara Utara juga berkepentingan untuk mendapat jatah penguasaan sumber daya alam yang saat ini sebagian besar terdapat di Selatan. Tak heran jika kawasan Asia dan Afrika menjadi bulan-bulanan negara besar karena di kedua benua tersebut (terutama Afrika) industri belum cukup maju dan sumber daya alam masih melimpah.

Dengan demikian, globalisasi tak bisa dipisahkan dengan perkembangan paham kapitalisme, yakni terbukanya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan trans nasional yang dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdaganan baru di bawah aturan organisasi perdagangan bebas. Hal lain yang tak dapat dilepaskan dari globalisasi adalah berkembangnya telekomunikasi, elektronika, dan bioteknologi yang juga dikuasai perusahaan transnasional. Dengan segala yang melekat padanya, globalisasi mencoba menyakinkan rakyat miskin di Dunia Ketiga akan kesejahteraan, harapan, dan kebaikan bagi umat manusia. Dalam kenyataannya globalisasi justru lebih banyak melahirkan pemiskinan, marjinalisasi, dan masalah-masalah keadilan sosial.

Cikal bakal globalisasi yang terjadi saat ini sebenarnya sudah muncul sejak akhir perang dunia kedua, dimana ilmuwan-ilmuwan sosial mengembangkan sebuah teori yang sering disebut sebagai teori pembangunan atau developmentalisme. Selain untuk membendung pengaruh dan semangat antikapitalisme, developmentalisme dikembangkan untuk mengganti formasi sosial kolonialisme yang mulai runtuh. Banyak negara jajahan di kawasan Asia dan Afrika memerdekakan diri setelah ratusan tahun menjadi korban ekspansi secara fisik kapitelisme di Eropa. Wacana developmentalisme sendiri pertama kali muncul tahun 1949, saat Presiden Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahnya. Sejak itu developmentalisme resmi menjadi kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Pada masa selanjutnya, para pakar ilmu sosial Amerika mengembangkan dan berhasil menciptakan teori development dan modernisasi (Rostow, McClelland). Salah satu hasil studi penting mereka adalah gagasan pembangunan dan modernisasi harus menjadi pilar utama bagi kebijakan program bantuan dan politik luar negeri Amerika. Sebagai sebuah alat dominasi baru, temuan ini pun segera didesiminasikan ke seluruh negara di Dunia Ketiga yang merupakan target utamanya. Pertama, melalui pengaruh Amerika karena negara besar ini diyakini memiliki pengaruh besar dalam perencanaan politik-ekonomi negara-negara di dunia. Kedua, mendidik para pemimpin Dunia Ketiga melalui serangkaian training atau perjalanan observasi ke Amerika. Ketiga, menggunakan sarana agama. Keempat, menggunakan fungsi riset lembaga-lembaga atau universitas Amerika yang bekerja di luar negeri.

Dengan cara-cara itulah developmentalisme berkembang ke setiap negara hingga ke pelosok-pelosok desa di Indonesia, termasuk pelosok Jawa. Ideologi developmentalisme yang kemudian di Indonesia dikenal dengan pembangunan dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi, sosial, dan politik yang sangat tertata dan terencana.

Namun setelah lebih lima puluh tahun berjalan, ternyata semua pendekatan pembangunan gagal memenuhi janjinya menyejahterakan rakyat di Dunia Ketiga. Pembangunan tidak mampu menjangkau orang miskin di dunia, sekalipun target khusus pembangunan adalah rakyat miskin di Dunia Ketiga. Meski developmentalisme tengah berada dalam masa krisis, namun belum ada teori yang kuat dan mampu menjadi alternatif bagi developmentalisme.

Saat krisis pembangunan belum berakhir, ternyata sebuah pola dominasi baru telah disiapkan. Inilah era baru di mana kita berada saat ini. Sejak tercapainya kesepakatan perdagangan internasional yang dikenal dengan Putaran Uruguay tahun 1994, sebuah rezim baru mulai bercokol di muka bumi ini.

Globalisasi juga dilengkapi dengan seperangkat alat kekuasaan yang satu dengan lainnya tak dapat dipisahkan. Mereka adalah seperangkat kesepakatan dan aturan dagang internasional yang dilembagakan (World Trade Organisation dan organisasi-organisasi sejenis), perusahaan-perusahaan trans nasional (TNCs), dan lembaga keuangan internasional.

Masyarakat Jawa dan Budaya yang Dimatikan
Seperti halnya data kependudukan umumnya, tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Jawa saat ini. Namun beberapa sumber menyebut 40% - 45% penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 235 juta ini adalah etnis Jawa. Sebagian besar dari mereka tinggal di pedesaan dan menjadikan pertanian sebagai tumpuan hidup utama.

Tidak berbeda dengan sektor lain, sektor pertanian juga tak lepas dari agenda ekonomi-politik global. Revolusi Hijau merupakan sebuah contoh bagaimana mesin ekonomi-politik globabal menggilas pertanian di Indonesia, termasuk Jawa. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sebagai pelaksana teknis developmentalisme ini bukanlah program pertanian semata, melainkan sebuah strategi melawan tradisionalisme. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, beragam pengetahuan pertanian manusia di muka bumi mengalami penggusuran besar-besaran dan dijadikan satu pola pertanian saja.

Program modernisasi pertanian didukung oleh lembaga-lembaga penelitian besar seperti International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina dan International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT) di Mexico. Saat ini di dunia terdapat 13 lembaga riset sejenis yang dikelola dan dikembangkan oleh The Consultative Group for International Agricultural Research (CGIAR) yang merupakan tulang Revolusi Hijau.

Akibat dari program ini ribuan varietas tanaman tradisional tergusur. Lebih parah lagi, petani menjadi tergantung pada industri benih dan tak lagi mampu mengontrol serta mereproduksi benihnya sendiri. Benih telah berubah menjadi sumber kentungan dan kontrol karena di tangan lembaga penelitian dan perusahan-perusahaan transnasional benih merupakan komoditi komersial.

Bukan itu saja. Revolusi Hijau ternyata juga menjadi sebuah program untuk menyingkirkan atau melemahkan pengetahuan rakyat. Budaya pemuliaan benih dibabat habis sebagai bentuk kontrol penguasaan pasar. Bahkan tak jarang, petani yang dengan pengetahuan tradisionalnya melakukan pemuliaan benih sendiri dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pembenihan ilegal (kasus Mbah Suko Magelang, Suprapto dan Tukirin). Selain itu Revolusi Hijau juga telah menggusur perempuan dari aktifitas mereka di sektor pertanian. Tipe padi dan teknologi baru yang dikenalkan secara sistematik mengabaikan dan menggusur peran perempuan. Dengan demikian budaya pertanian Jawa sebenarnya telah dimatikan.

Jawa, Pangan, dan Kedaulatan
Dalam hal pangan, negeri kita penuh ironi. Sebagai sebuah negeri dengan tanah yang subur, kaya keragaman hayati, serta sebagian besar rakyatnya hidup dari pertanian, mestinya pangan tidak menjadi masalah di sini. Namun kenyataannya, setiap tahun ada saja persoalan kelangkaan pangan dan kelaparan. Bahkan ketergantungan Indonesia terhadap produksi pangan impor, termasuk beras masih cukup tinggi.

Dalam kenyataannya, kelaparan bukan semata kelangkaan sumberdaya dan teknologi, melainkan sebuah pilihan politik baik nasional maupun global. Negara dapat mengambil keputusan politik untuk memastikan warga negaranya tidak lapar dengan menghidupkan kembali keberagaman dan pengembangan pangan berdasarkan keunggulan lokal.

Banyak kasus kerawanan pangan di Indonesia mengacu pada tercukupinya persediaan beras di suatu wilayah. Jika acuan kecukupan pangan tetap saja digantungkan pada beras, mungkin bangsa Indonesia akan terus dihantui kerawanan pangan karena tidak semua wilayah di Indonesia menghasilkan beras. Bahkan di Jawa yang memiliki produktifitas padi tertinggi di Indonesia (5,2 ton/Ha) tidak semua daerahnya dapat ditanami padi sepanjang tahun. Sementara kecukupan pangan terlanjur ditambatkan pada satu komoditas saja, beras.

Berasisasi yang berjalan seiring dengan Revolusi Hijau bukan saja memunculkan kerawanan pangan, melainkan juga menghabisi kekayaan hayati negeri ini. Berbagai tanaman pangan lokal (umbi-umbian) punah karena dihakimi sebagai sumber pangan yang tidak bergizi. Ketika kerawanan pangan berkali-kali menjadi ancaman, wacana kembali ke pangan lokal baru mulai dimunculkan. Terlanjur rakyat terbiasa dengan beras, sehingga gerakan kembali ke pangan lokal ini tidak cukup mendapat tempat. Apalagi gerakan ini hanya dilakukan setengah hati karena beras sudah menjadi komoditas baik pengadaan benih maupun perdagangannya. Dengan demikian masyarakat Jawa telah kehilangan kedaulatan pangannya. []

FSJ 2009 ndayakake sastra Jawa

Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPJS) bakal mbabar acara kabudayan asesirah Festival Sastra Jawa 2009 (FSJ 2009). Acara iki kaajab bisa dadi sarana lan nyengkuyung kupiya ngleluri lan ndayakake jagad sastra Jawa modhern.

Miturut pangarsa PPJS, Bonari Nabonenar, lumantar andharan tinulis ing layang elektronik utawa email sing ditampa Espos, sawetara dina kapungkur, acara iki bakal diadani ing sasi Juni 2009.

”Wus wiwit sasi November 2008 kapungkur acara iki digagas lan dibiwarakake lumantar Internet lan lumantar kalodhangan-kalodkangan mirunggan ing patemon sastrawan lan sutresna sastra Jawa. Kanggo sauntara wektu iki, kaajab acara Festival Sastra Jawa 2009 bisa diadani ing sasi Juni kang bakal teka. Ana sutresna sastra Jawa saka Australia, asmane George Quinn, sing nelakake lumantar layang elektronik yen bakal nekani acara iki,” piterange Bonari.

Miturut Bonari, samengkone Festival Sastra Jawa iki bakal dikrembakakake dadi Festival Etnik Nusantara. Ancase kanggo ngleluri lan ndayakake kaskayane seni tradhisi lumantar jagad sastra. Festival dhewe kabiji bakal dadi sarana lan kalodhangan mirunggan minangka wadhahe para sastrawan Jawa kanggo mbabar kawasisan lan kaprigelane.

”Sastra Jawa iku wargane Sastra Indonesia. Lan ateges uga wargane jagad sastra ndonya utawa sastra internasional. Sastra Jawa kudu antuk papan lan kalodhangan kanggo urip lan ngrembaka. Mesthi wae kudu tetep dijumbuhake kodrate lan pepenginane bebrayan papan uripe sastra Jawa lan sing nyengkuyung uripe sastra Jawa,” pratelane Bonari.

Nganti sasi Januari 2009 iki, jarene Bonari, wus ana sastrawan-sasatrawan Jawa saka tlatah Semarang, Yogyakarta lan Jawa Timur sing wus mesthekake bakal nekani festival iki. Acara iki uga bakal didadekake sarana kanggo ngurmati para paraga pinunjul ing jagad sastra Jawa ing tlatah Jawa Timur, sing isih sugeng apadene sing wus surut ing kasedan jati.
Tlatah Jawa Timur wus nglairake sastrawan-satrawan Jawa sing kondhang kaloka. Antarane yaiku Suparto Brata, Satim Kadaryono, Moechtar, Suharmono Kasiyun, Widodo Basuki, Tiwiek SA, Djayus Pete, JFX Hoery lan sapiturute. Hamula iku, Bonari sakancane bakal ngupaya murih acara iki bisa dadi sarana silaturahim budaya sing tebane luwih amba maneh.

Desa lan sastra Jawa
Murih jumbuh karo ancase kanggo ngleluri lan ndayakake sastra Jawa sing ing wektu-wektu pungkasan iki akeh-akehe dinikmati warga ing tlatah karang pradesan, acara Festival Sastra Jawa 2009 ditetepake kanthi underan Desa dan Sastra Jawa. Miturut rancangane, acara iki bakal mapan ing sawijining desa ing tlatah Trenggalek, yakuwi Dhusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.

”Acarane bakal digelar ing tlatah karang pradesan amarga ing wektu-wektu pungkasan iki saperangan gedhe warga sing nyengkuyung uripe sastra Jawa, ing kene ateges sastra Jawa modhern, iku uripe ing tlatah karang pradesan, sakorane ing tlatah pinggiran sing adoh saka kutha,” tambahe Bonari.

Lan ing acara iki uga bakal didhudhah sesambungan antarane sastra Jawa modhern lan bebrayan ing tlatah karang pradesan. Ing pangajab bakal nuwuhake dudutan, laku lan kupiya apa sing bisa dilakoni dening para sastrawan Jawa kanggo nyengkuyung kawicaksanan pembangunan ing tlatah karang pradesan, mligine pembangunan sosial utawa bebrayan.

Acara fetsival iki bakal diregengake kanthi pentas maca cerita cekak (Cerkak), pentas maca geguritan, babaran teater utawa drama abasa Jawa, sarasehan pendhidhikan basa Jawa, sarasehan sastra Jawa, pameran buku lan babaran film dokumenter.

Papan sing bakal dinggoni, yaiku Dhusun Nglaran, Desa Cakul, mujudake tlatah karang pradesan sing adoh saka kutha. Dununge udakara 10 km saka ibukota Kecamatan Dongko lan udakara 46 km saka ibukota Kabupaten Trenggalek. Lemah ing tlatah iki saperangan gedhe arupa gamping minangka rerangkene gunung gamping ing pulo Jawa sisih kidul. Ananging kaanan desane, jarene Bonari, kapetung ngresepake. [Ichwan Prasety]

© Copyright Solopos.net on Kamis, 22 Januari 2009

Untuk Apa Festival Sastra Jawa?

Sastra Jawa adalah warga sastra Indonesia dan juga sastra dunia, yang layak diberi ruang hidup, tumbuh dan berkembang sesuai keinginan masyarakat pendukungnya. Jawa Timur memiliki tokoh-tokoh yang disegani di jagad sastra Jawa. Di Surabaya ada Dr. Suripan Sadi Hutomo [alm.], Suparto Brata, Satim Kadaryono, Drs. Moechtar, Suharmono Kasiyun, Widodo Basuki, di Tulungagung ada Tamsir AS (alm), Tiwiek SA, di Bojonegoro ada Djayus Pete, JFX Hoery, di Banyuwangi ada Esmiet [alm.], di Mojokerto ada ST Iesmaniasita [alm.] sekedar menyebut mereka yang pernah mendapatkan Hadiah Rancage.

Selain itu Jawa Timur juga memiliki Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Dua buah majalah berbahasa Jawa dengan kesejarahan panjang yang hingga saat ini masih memiliki pembaca setia, yang sebagian besar adalah masyarakat desa.

Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar pendukung sastra Jawa modern adalah masyarakat daerah pinggiran maupun pedesaan. Sayangnya kenyataan tersebut tidak serta-merta memunculkan keberpihakan para sastrawan terhadap masyarakat desa dengan segala persoalannya.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2005, desa adalah suatu kesatuan masyarakat undang-undang yang memiliki batas-batas wilayah yang berupaya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengacu pada batasan tersebut, desa dapat diartikan sebagai sebuah wilayah dengan segela keunikannya yang dilindungi oleh negara. Namun dalam berbagai wacana, ternyata terminologi desa lebih sering dikaitkan dengan persoalan kemiskinan, kebodohan, serta ketertinggalan-ketertinggalan lainnya.

Memang dalam kenyataannya, desa identik dengan segala ketertinggalan. Terlebih dalam hal pertumbuhan ekonomi yang merupakan titik berat Program Pembangunan Nasional di negri ini. Pembangunan serta investasi yang lebih banyak terfokus di kota menjadikan kondisi desa tidak berubah dari masa ke masa.

Desa hanya difungsikan sebagai wilayah penghisapan pusat pembangunan di kota-kota. Bukan hanya kota-kota di wilayah terdekatnya, melainkan juga di tingkat nasional, maupun internasional. Bahkan kota-kota di negara berkembang dapat dikatakan sebagai perantara sumber daya ke negara maju saja.

Meski telah terjadi pergantian pemimpin berkali-kali, secara umum kondisi desa-desa di wilayah Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan. Paradigma pembangunan menjadikan sumber daya terpusat di sektor dan kawasan yang potensial menyumbang pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan perpindahan sumber daya secara besar-besaran ke pusat-pusat pertumbuhan. Akibatnya terjadi penurunan kualitas lingkungan serta kelangkaan individu potensial di pedesaan.

Trenggalek, sebuah kabupaten yang sebagian besar wilayahnya merupakan pedesaan mengalami permasalahan yang sama. Selain sumber daya alam yang terus mengalir ke kota-kota lain, potensi warga kabupaten ini juga lebih banyak memberikan sumbangan pada kota-kota di sekitarnya, termasuk kota provinsi.

Demikian juga dengan potensi sastrawannya. Nama-nama seperti: Widodo Basuki (Munjungan/Redaktur Jaya Baya), St Sri Purnanto (Panggul), Jarot Setiyono, Nanang Windradi (Trenggalek), Edy Santosa (Durenan), Sita T Sita (Pogalan), dipandang cukup mewarnai perkembangan dunia sastra Jawa modern. Mereka adalah sastrawan Jawa asal Trenggalek, namun selama ini kurang berkontribusi secara optimal terhadap daerah asal mereka.

Oleh karenanya perlu dipertegas peran apa yang harus dilakukan oleh para pengarang/sastrawan Jawa dalam rangka berpartisipasi pada pembangunan masyarakat pedesaan, terlebih di Era Global seperti sekarang.

Festival Sastra Jawa yang rencananya digelar di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trengalek, Jawa Timur, diharapkan dapat menjawab persoalan di atas sehingga mampu menumbuhkan kembali kebanggaan masyarakat akan desanya. Dengan demikian, sastra tidak lagi menjadi karya yang berjarak dengan pendukungnya, karena mampu menyuarakan persoalan masyarakat. Termasuk di antaranya masyarakat pedesaan.

Dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, Festival Sastra Jawa bisa dijadikan agenda tahunan, sebagai upaya untuk menuju forum ’’silaturahmi budaya’’ yang lebih besar (berskala nasional) yang kelak bisa dinamakan Festival Sastra Etnik Nusantara.[panitia]

Menuju Lokasi Festival Sastra Jawa 2009

Festival Sastra Jawa 2009 digelar Dusun Nglaran (Gedhangkluthuk), Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur. Desa Cakul ada di tengah-tengah ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Panggul dengan Kecamatan Dongko (Kabupaten Trenggalek), kira-kira 90 km dari Pacitan, 45 km dari ibukota Kabupaten Trenggalek. Berikut ini petunjuk untuk menjangkau lokasi tersebut:

Dari Yogyakarta
Travel Cahaya Mulia Nomor HP 08180254989 (tiket Rp80.000) Yogyakarta-Lorok, disambung jurusan Lorok-Surabaya, turun di lokasi (Gedhangkluthuk, Desa Cakul/Pak Banto).

Dari Yogyakarta/Solo
Bus AKAP Yogyakarta/Solo-Surabaya, turun di Terminal Madiun. Dilanjutkan dengan bus Madiun-Ponorogo (ongkos Rp5000). Ponorogo-Trenggalek turun di Terminal Trenggalek (ongkos Rp10.000). Trenggalek-Panggul/Lorok, turun di Desa Cakul/Pak Banto (ongkos Rp10.000).
Bus AKAP Yogyakarta/Solo-Surabaya, turun di Obrakan (sisi timur jembatan Brantas Kertosono). Kertosono-Tulungagung, turun di Terminal Tulungagung. Tulungagung-Trenggalek, turun di Terminal Trenggalek (ongkos Rp5000). Trenggalek-Panggul/Lorok. Turun di Desa Cakul/Pak Banto (ongkos Rp10.000).
Kereta Api Kahuripan Bandung-Kediri, turun di Stasiun Kediri. Kediri-Tulungagung, turun di Terminal Tulungagung (ongkos Rp 4000). Tulungagung-Trenggalek, turun di Terminal Trenggalek (ongkos Rp5000). Trenggalek-Panggul/Lorok. Turun di Gedhangkluthuk, Desa Cakul/Pak Banto (ongkos Rp10.000).

Dari Surabaya
Travel Paradimas (HP 081357400240) dari Surabaya langsung turun di Lokasi (turun di Gedhangkluthuk, Desa Cakul/Pak Banto). Ongkos Rp 85.000 sekali jalan. Naik bis dari terminal Bungurasih turun Terminal Tulungagung, oper Jurusan Trenggalek. Dari Terminal Trenggalek oper bis/colt Jurusan Panggul/Lorok turun di lokasi.

Dari Malang
Travel Antara jurusan Malang-Pacitan (Tlp: 03417728447). Turun di lokasi, ongkos Rp 60.000. Dari Terminal Arjosari naik bus ke Trenggalek (oper di Terminal Blitar dan Terminal Tulungagung). Dari Terminal Trenggalek oper colt/bis ke lokasi. [panitia]

Senin, 19 Januari 2009

Keluarga Sapari: Hidup dari Seni [4]


Bakat yang Menurun ke Anak

Buah jatuh tak bakal jauh daripohonnya. Demikianlah bunyi pepatahnya. Dan itulah yang terjadi pada keluarga Sapari. Untuk diketahui, kakek Sapari adalah seorang dhalang wayang kulit juga. Nah, sekarang, darah seni itu pun mengalir pada anak tunggal Sapari-Suparti, yaitu Harwanto.


’’Ketika saya masih kelas lima SD saya sudah diajak ayah untuk tanggapan. Ketika itu saya mengantikan ayah untuk memegang kendhang, dan kebetulan waranggana-nya ibu saya sendiri,’’ tutur Harwanto.

’’Sampai saat ini gamelan yang betul-betul saya kuasai adalah kendhang dan itu pun khusus kendhang tayub. Jadi, bila rombongan bapak mendapatkan tanggapan tayub, pengendhang-nya pasti saya, baik ibu saya ikut sebagai waranggana atau pun tidak,’’ lanjutnya.

Selain sebagai penabuh kendhang, ia masih juga mengawasi Sound sytemnya, biarpun sudah ada karyawan yang menjaganya. Karena enak tidaknya gamelan yang dimainkan sangat dipengaruhi oleh setelan sound systemnya.

Saat ini Har, memiliki 2 setel perangkat sound system yang dirakitannya sendiri. Kualitas suara yang dihasilkan cukup bagus. Itulah modal dasar untuk menghadapi persaingan yang makin ketat.

Untuk menunjang kegemarannya utak-atik perangkat sound system itu, Harwanto pun membuka toko elektronik yang menyediakan juga peralatan sound system.

’’Sejak Tahun 2000 sehabis saya menikah saya langsung buka Toko awalnya hanya sebatas menjual barang-barang kebutuhan poko saja namun setelah saya pikir mengapa saya tidak jualan peralatan elektronik juga”, tuturnya.

Hasil dari tokonya selama ini diurusi penuh oleh istrinya. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya berjaga-jaga, bila pendapatan dari job tanggapan-nya sepi maka ia masih memiliki sumber pendapatan lain.

Istrinya sendiri juga sudah menyadari bila pekerjaan suaminya yang jelas banyak godaan. ’’Dari keluarga atau istri tidak masalah, karena sejak awal memang telah saya beri pengertian bahwa pekerjaan saya ini memang rawan godaan dan terkadang bila ada tanggapan terus-menerus pernah beberapa hari saya tidak pulang. Godaan untuk minuman (minuman keras, Red) dan perempuan, tinggal kita saja, kuat imannya atau tidak,’’ tutur Har.

Berkenaan dengan usaha ayahnya, Har bilang, ’’Bapak itu kadang telat mengikuti perkembangan, sehingga sering saya yang menangani. Contohnya, apa saat ini jumlah meja kursi sudah memadai, bapak sering tidak mengerti. Karena kebanyakan yang di lapangan saya, dan lagian bapak saya itu ada tanggapan atau tidak ia tetap menekuni pertaniannya, kalau sudah gitu ia sering lalai pada usaha yang telah lama dirintisnya,’’ tutur Harwanto.

Krtika Peduli bertanya berapa sesungguhnya angka rata-rata penghasilan mereka per bulan dari berbagai jenis usaha yang berkaitan dengan keperluan orang hajatan itu, Sapari dan sang anak seperti sudah sepakat hanya menjawabnya dengan senyuman. [pur]

Keluarga Sapari: Hidup dari Seni [3]


Jeli Menghadapi Persaingan

Selama menjalani kehidupan berkesenian Sapari banyak mengalami pasang surut, apa lagi dengan munculnya dhalang-dhalang muda yang berpotensi dan masyarakat juga mengalami pergeseran selera, maka praktis job yang diterima semakin turun dratis.


Untungnya saat ia mulai kehilangan pasar justru istrinya yang kebanjiran job. Masyarakat sendiri tampaknya lebih senang nanggab Tayub daripada wayang kulit, selain itu Tayub memiliki penggemar mulai kalangan tua maupun muda, sedangkan Wayang kulit bila dhalangnya tidak termasuk dhalang yang telah ternama (kondang) maka penontonnya-pun sedikit.

Untuk menyiasati kondisi pasar tersebut, ia melakukan terobosan dengan tanggapan model paket.

’’Saya sebetulnya punya rencana itu sudah sejak lama, sebelum tahun 2000, tapi setelah lama nyelengi sedikit-sedikit baru pada Tahun 2003 niat untuk membuat model paket tersebut terlaksana,’’ jelasnya.

’’Model paket yang saya layani adalah bila orang mau punya hajat, maka saya siap menyediakan mulai, terop-nya, meja kursi, peralatan makan, lampu dan sound system, gamelan dan penabuhnya, waranggana satu orang serta dhalang-nya saya sendiri, jadi yang punya hajat praktis tinggal menyiapkan tempatnya,’’ lanjut Sapari menerangkan.

Pemasangan semua peralatan tersebut juga dilakukan oleh orang-orang (karyawan Sapari). Menurut penuturannya, harga yang ditawarkan cukup terjangkau yaitu sekitar Rp 3,5 juta itu tahun 2003, saat ini harga tersebut sudah naik menjadi Rp 5 juta.

Harga tersebut bisa sedikit bertambah bila jarak antara rumahnya dengan rumah yang punya hajat jauh. Maksudnya, sekadar tambahan untuk ongkos transpotasinya. Melihat harga yang dipatok tersebut memang kelihatan bila yang dibidik adalah kalangan masyarakat kecil sampai sedang atau klas menengah ke bawah.

Setelah melakukan terobosan tersebut ternyata job yang diterima meningkat pesat bahkan yang selama ini ndhalang-nya sempat berhenti saat ini mulai aktif lagi karena adanya permintaan yang punya hajat.

’’Ya, alhamdulillah, sejak paketan itu, saya mulai sering ndhalang lagi, karena banyak yang minta sehabis Tayub selesai minta diteruskan dengan wayang kulit” ujarnya.

Saat ditanya seberapa sering setiap tahunnya (setiap musim hajatan) ia memperoleh job ia mengatakan harus buka buku.

’’Yang jelas setiap tahunnya tidak sama. Sampai saat ini yang saya ingat betul yaitu pada Tahun 2006 dalam satu musim rombongan saya mendapat job (tanggapan) sebanyak 80 kali. Tapi itu tidak semua dalam satu paket, kadang hanya Terop, meja kursi,dan sound systemnya saja. Tapi, yang sering dalam betuk satu paket,’’ tandasnya.

Masih menurut penuturan Sapari saat ini saja, atau untuk Tahun 2009 ia sudah mendapat pesanan sebanyak 25 kali, dan itu bisa terus bertambah.

Dari seringnya memperoleh job tersebut yang jelas pendapatan Sapari bersama rombongannya semakin besar. Itu dapat dilihat dari perlengkapan yang dimiliki saat ini termasuk sudah lengkap.

Ia menjelaskan saat ini terop yang dimiliki sebanyak 10 buah dengan rincian 6 plengkung dan 4 buah biasa. Meja kursi hampir 700 buah belum lagi peralatan makannya. Perangkat gamelan 3 setel bahkan yang satu baru saja beli seharga Rp 50 juta, untuk angkutannya ia juga sudah memiliki 1 buah pick up.

Sementara itu mengenai perlengkapan Sound systemnya ia percayakan pada Harwanto (27) anak tunggalnya yang memang cukup mumpuni dalam urusan tersebut. Selain itu, kelihatannya Har --begitu biasa dipanggil, juga ikut secara langsung mengurusi usaha yang telah lama dirintis ayahnya.

Usaha yang ditekuni Sapari ini ternyata juga ikut membantu memberi pekerjaan pada orang lain khususnya orang-orang yang ikut dalam rombongannya. Jumlah anggotanya saat ini mencapai 21 orang, belum termasuk dia sendiri, istri, dan anaknya. [pur]

Keluarga Sapari: Hidup dari Seni [2]


Suparti (Istri Sapari): Bertahan dengan Suara

Sebelum menikah dengan Sapari sebenarnya Suparti (42) sudah menjadi waranggana/pesinden. Ia belajar di Desa Ngrandu, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek yang memang ada semacam sanggar yang telah banyak menghasilkan waranggana.


Sebetulnya bila dilihat dari perawakannya ia tergolong kecil. Namun kelebihan utama yang dimiliki adalah suara atau vokal yang cukup bagus. Memang modal utama seorang waranggana adalah suara yang bagus.

’’Untuk menjadi waranggana, pertama mesti punya niat dan senang, kemudian memiliki bakat suara yang cukup bagus, baru kemudian rupa. Sebenarnya, kalau soal wajah, itu bukan syarat utama,’’ tutur Suparti

’’Kalau dihitung saya menjadi waranggana sudah 34 tahun mulai tanggapan sejak tahun 1974 dan sampai sekarang tetap saya jalani. Bahkan, saat ini semakin ramai, modal saya apa … ya suara itu tadi. Memang, kalau masalah rupa dan umur jelas kalah dengan yang masih muda, wong umur saya sudah 42 tahun, namun kalau dari segi suara alhamdulillah saya masih bisa bertahan sampai sekarang,’’ lanjutnya.

Sampai saat ini selain masih menerima job-job tayupan dan mengiringi suaminya bila tanggapan wayang kulit, Suparti juga sedikit-sedikit menularkan ilmunya pada generasi muda yang berminat dalam seni suara kususnya waranggana.

Menurut penuturan nya sudah ada 7 orang, anak didiknya yang sudah jadi dan sudah menerima job tanggapan. Anak didiknya itu 4 orang masih dalam satu wilayah, 2 orang dari lain kecamatan sedangkan yang dari kabupaten lain yaitu dari Ponorogo 1 orang.

Bila ada anak didiknya yang belajar ia memberi waktu 2 kali dalam seminggu sampai jadi atau siap dilepas untuk manggung sendiri, tak jarang pula anak didiknya yang masih tarap belajar ia bawa serta bila dirinya sedang tanggapan. [pur]

Keluarga Sapari: Hidup dari Seni [1]


Mula-mula hanya nenikmati hobi. Namun, lambat-laun hobi itu pun berbuah rezeki. Bahkan, bisa menggantungkan hidup sekeluarga dan sanak-saudara pada seni. Adalah keluarga Sapari (52) warga Dusun Talun, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tentu, kenyataan ini meruntuhkan anggapan bahwa orang tak bisa hidup dari kesenian, apalagi kesenian tradisional!

Sejak masih lajang , selain melakukan aktivitas bercocok tanam (bertani) seperti halnya warga pedesaan pada umumnya, Sapari juga berkesenian sebagai penyaluran hobinya, khususnya seni tayub dan pedalangan.

Tahun 1971 merupakan tonggak bersejarah bagi keluarga Sapari, karena pada saat itu ia membentuk grup kesenian yang ternyata masih tetap eksis sampai saat ini.

’’Saya mulai berdiri sendiri tahun ’71, ketika itu saya masih bujang sudah ndalang wayang kulit dan mempunyai grup sendiri. Ya memang sebelumnya saya telah belajar karawitan terlebih dahulu, sementara untuk pedhalangannya saya belajar dari orang Solo,’’ ujar Sapari.

Dapat Istri Pesinden
Tahun 1976 Sapari menikah dengan Suparti (42) yang kebetulan juga seorang seniman tradisional, yakni waranggana alias pesinden. Saat menikah istrinya baru sekitar 2 tahun menjalani profesi sebagai waranggana.

Sejak menikah dengan Suparti maka bila ada tanggapan untuk pentas maka istrinya sendiri yang menjadi pesindennya.

’’Bila ada tanggapan ya istri saya sendiri yang saya jadikan pesinden, biarpun saya tetap memiliki pesinden lain (tetap) hal ini untuk njagani bila istri saya mempunyai calangan (tanggapan) sendiri untuk acara tayub,’’ tutur sapari.

Saat itu untuk melayani tanggapan menurut penuturan Sapari ia sudah memiliki seperangkan gamelan lengkap, itu untuk njagani bila ia sebagai dhalang sedang sepi tanggapan, maka masih ada pemasukan dari hasil gamelannya yang disewakan, dan satu hal lagi bila istrinya mendapat tanggapan untuk tayup maka pemasukan untuk keluarga nya tetap ada.

Berhubung kedua-duanya merupakan pelaku seni dan telah sama-sama tahu dan memahami profesinya biarpun masing masing mendapat tanggapan sendiri-sendiri maka keluarga Sapari ini tampak solid.

Setelah lima tahun menikah, Sapari dikaruniai seorang anak laki-laki (lahir 1981). setelah kelahiran anaknya maka praktis Suparti sebagai waranggono praktis berhenti tanggapan sehingga saat itu penghasilannya hanya menggantungkan dari hasil tanggapan Sapari sendiri yang sebetulnya saat itu tidak dapat dipastikan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup karena istrinya sementara tidak melayani tanggapan karena melahirkan maka Sapari cukup mengandalkan dari hasil pertanian yang hingga kini tetap ditekuni pula.

Ketika anaknya berumur satu tahun dan dipikir sudah bisa ditinggal untuk tanggapan lagi, istrinya Suparti pun kembali menerima tanggapan.

Masa-masa seperti itu cukup lama dijalani. Karena, setiap tahunnya jumlah job( tanggapan) tidak selalu ramai Sapari dalam mengatur keunanganya dilakukan dengan hati hati.
’’Tanggapan itu kan tidak pasti kadang tahun ini sepi tahun depannya ramai, maka bila sedang banyak orderan, saya usahakan menyisihkan dari hasil job tersebut untuk menambah peralatan gamelan,’’ tutur Sapari.

Dari hasil simpanan tersebut baru tahun 1996 ia bisa menambah peralatan gamelan yang diidamkan sebanyak satu setel (pelog dan slendro) sehingga ia memiliki 2 setel gamelan, sehingga bila yang satu digunakan untuk tanggapan satunya masih bisa disewakan dan akhirnya pemasukannya pun bertambah. [pur]

Minggu, 18 Januari 2009

DESA JANGAN HANYA DIPERAS


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2005, desa adalah suatu kesatuan masyarakat undang-undang yang memiliki batas-batas wilayah yang berupaya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengacu pada batasan tersebut, desa dapat diartikan sebagai sebuah wilayah dengan segela keunikannya yang dilindungi oleh negara. Namun, dalam berbagai wacana ternyata terminologi desa lebih sering dikaitkan dengan persoalan kemiskinan, kebodohan, serta ketertinggalan-ketertinggalan lainnya.

Memang dalam kenyataannya, desa identik dengan segala ketertinggalan. Terlebih dalam hal pertumbuhan ekonomi yang merupakan titik berat Program Pembangunan Nasional di negeri ini. Pembangunan serta investasi yang lebih banyak terfokus di kota menjadikan kondisi desa tidak berubah dari masa ke masa.

Dapat dikatakan desa hanya difungsikan sebagai wilayah penghisapan pusat pembangunan di kota-kota. Bukan hanya kota-kota di wilayah terdekatnya, melainkan juga di tingkat nasional, maupun internasional. Bahkan kota-kota di negara berkembang dapat dikatakan hanya sebagai perantara sumber daya ke negara maju saja.

Meski telah terjadi pergantian pemimpin berkali-kali di negeri, secara umum kondisi desa-desa di wilayah Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan. Paradigma pembangunan menjadikan sumber daya terpusat di sektor dan kawasan yang potensial menyumbang pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan perpindahan sumber daya secara besar-besaran ke pusat-pusat pertumbuhan. Akibatnya terjadi penurunan kualitas lingkungan serta kelangkaan individu potensial di pedesaan.

Trenggalek, sebuah kabupaten yang sebagian besar wilayahnya merupakan pedesaan mengalami permasalahan yang sama. Selain sumber daya alam yang terus mengalir dari ke kota-kota lain, potensi warga kabupaten ini (termasuk warga Dusun Nglaran) juga lebih banyak memberikan sumbangan pada kota-kota di sekitarnya. Terutama di pusat provinsi. [am]

FOTO: Batu dan Ketela di Dusun Nglaran

Belajar di ’Lapangan’

Beberapa waktu lalu (persisnya 25 – 29 Desember 2008) 5 orang pemuda dari Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, belajar bertani di ’lapangan.’ Lapangannya ialah Kelompok Tani Lo-Rejo dan Bangun Rejo yang memroduksi pupuk dan tanaman organik serta Kelompok Tani Silir Agung yang memanfaatkan lahan pasir untuk areal pertanian dan memiliki lembaga pelelangan hasil pertanian. Semuanya ada di wilayah Yogyakarta.

Setelah kira-kira sepekan sekembali mereka ke kampung halaman, beberapa orang petani di desa diundang untuk mendiskusikan oleh-oleh dari Yogya tersebut. Mereka sangat antusias mendengarkan pemaparan dari kelima orang pembelajar itu.

’’Jadi, kalau misalnya lombok (cabe, Red) mereka diserang cabuk (hama tanaman berupa jamur, Red), mereka menyemprotnya dengan kencing sapi, tidak perlu beli obat di toko. Kalau pengin sapi mereka gemuk, mereka membuat sendiri obatnya dengan menaruh nasi di ruas rebung yang sudah tumbuh sekitar 2 meter. Kalau tanaman mereka diserang tikus, mereka cukup mencari daun bengle dan daun pucung, lalu ditumbuk untuk disebar di tempat yang biasanya didatangi rombongan tikus itu.’’ Demikian antara lain yang dipaparkan di dalam pertemuan yang berlangsung hingga tengah malam itu. Dan para petani yang hadir pun berjanji untuk segera mencoba resep-resep itu.

Memang harus ditunggu dua atau tiga bulan lagi, hasil nyata dari studi atau belajar di ’lapangan’ itu. Tetapi, harapan makin besar karena para petani maju yang didatangi di Yogyakarta itu menjamin dan siap untuk didatangkan ke Dusun Nglaran jika ujicoba yang kini sedang berlangsung itu nanti ternyata gagal.
Ada yang cukup mengharukan malahan, yakni ketika kelima pemuda itu bertanya bagaimana caranya mendapatkan bibit padi atau tanaman organik lainnya, menurut cerita mereka, jawabannya adalah, ’’Kita ini petani. Ciri-ciri petani sejati itu ialah hidup secara gotong-royong. Kalau sampeyan perlu bibit, mau berapa, kami pinjami. Nanti kalau sudah ditanam dan kemudian panen, baru sampeyan kembalikan.’’ Lho, apa itu ora hebat?

Dan jangan lupa, kita boleh memegang kata-kata bahwa ilmu itu mahal harganya. Tetapi, ternyata itu bukan dalam pengertian bahwa kita tidak bisa mendapatkannya secara gratis. Buktinya ya kelima pemuda dari Dusun Nglaran itu. Tidak seorang pun narasumber di Yogyakarta itu yang minta bayaran. Lha, malah ada yang kecewa karena kelima pemuda itu tidak bisa berlama-lama. ’’Lha, apa yang bisa sampeyan dapatkan kalau menginap pun tidak?’’ katanya seperti ditirukan salah seorang di antara kelima pemuda itu. Tetapi, buktinya oleh-olehnya cukup banyak.
Nah, ternyata orang-orang sederhana tetapi hebat yang selalu siap menjadi dermawan ilmu seperti itu tidak hanya ada di Yogyakarta, dan tidak hanya berasal dari praktisi pertanian. Mbak Misti, mantan BMI Singapura yang kini sukses jadi juragan bordir di Malang itu juga pernah menantang, kalau ada sekelompok (sekitar 5 orang), terutama sesama mantan BMI yang mau meguru mbordir di tempatnya, ia akan dengan senang hati menerimanya. ’’Kalau sekali datang jumlahnya lebih banyak dari itu saya masih kesulitan dalam hal penginapannya,’’ kata Mbak Misti.

Cara magang atau belajar langsung di ’lapangan’ seperti itu tampaknya jauh lebih efektif, misalnya, dibandingkan dengan cara-cara yang selama ini dilakukan Disnaker Jatim, yakni mengundang sekian mantan BMI ke suatu tempat untuk diceramahi oleh narasumber yang juga didatangkan. Apalagi, misalnya narasumbernya ada 5 orang, 2 atau 3 di antaranya pejabat atau birokrat. Lhadalah! Bisa-bisa malah Jaka Sembung klambi lorek, gak nyambung, rek!

Bonari Nabonenar, untuk majalah Peduli edisi Februari 2009

Naik MPU, Kecurian Rp 7 Juta

Miskiyah, 45, warga Desa Cakul, Kecamatan Dongko, hanya bisa meratapi nasibnya. Saat naik mobil penumpang umum (MPU) dari terminal bus menuju Pasar Pon diduga mengalami kecurian uang dan gelang emas hingga total Rp 7 juta.


Hal itu diungkapkan Kapolres Trenggalek AKBP Desmawan Putra melalui Kabag Bina Mitra Kompol Sudjarno kemarin. Dikatakan perwira dengan tanda pangkat satu melati di pundak itu, Miskiyah naik bus dari rumahnya sekitar pukul 13.00 dua hari lalu. Turun di Terminal Bus Trenggalek, dia ditawari kernet MPU. Miskiyah naik MPU warna coklat yang hendak mengantarnya ke pasar.

Tapi belum sampai di pasar, kernet dan sopir mengatakan kalau mereka hendak mengambil barang di tempat rongsokan. Miskiyah diturunkan di depan kantor P dan K yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari pasar.

Setelah turun dari MPU, Miskiyah baru menyadari jika uangnya Rp 6 juta dan satu gelang emas 12 gram tidak ada lagi di tasnya hijau. Akhirnya Miskiyah melaporkan kejadian tersebut ke polisi. (tin)

Radar Tulungagung [Sabtu, 17 Januari 2009]

Jumat, 09 Januari 2009

Tak Ada Jam Karet dalam “Lima Hari di Yogya”


Lima hari di Daerah Istimewa Yogyakarta, bagi lima pemuda Nglaran, adalah waktu yang begitu melelahkan. Sederet jadwal telah disiapkan oleh panitia acara yang dikenal galak oleh orang-orang dekatnya. Sejak tiba di Yogyakarta, lima pemuda itu harus menjalani “kewajiban” yang disodorkan oleh panitia.

Ada delapan agenda yang telah disiapkan, yaitu 1) silaturahmi dengan pemuda Kampung Bener, 2) orientasi Kampung Bener dan Kota Yogyakarta, 3) belajar tentang video komunitas, 4) belajar tentang organisasi karang taruna, 5) belajar tentang radio komunitas, 6) belajar tentang organisasi tani, kelompok lelang hasil pertanian, dan sistem pertanian tumpang sari, 7) belajar tentang produksi biogas, 8) belajar tentang pembuatan pupuk organik.

Dalam pelaksanaannya, terjadi penambahan kegiatan hingga total menjadi 10 kegiatan dalam lima hari tersebut. Dua kegiatan tambahan tersebut adalah belajar tentang sistem pertanian organik dan belajar tentang pembuatan istalasi biogas.

Hhh… Bukan hanya lima pemuda Nglaran itu saja yang merasakan betapa melelahkan selama lima hari di Yogya. Dua orang panitia yang mengurus segala keperluan mereka tak kalah capeknya.

Meski capek, bara semangat tujuh orang itu -lima pemuda dan dua orang panitia- justru semakin menyala. Bagi lima pemuda Nglaran, perjalanan ini menjadi tambahan “bahan bakar” bagi kerja mereka. Sementara bagi para panitia, kesuksesan menyelenggarakan acara tentu menjadi kebanggan tersendiri juga. Terlebih dari sekian banyak tempat yang harus dikunjungi, hanya di dua tempat saja mereka terlambat tiba.

Keterlambatan terlama, selama 15 menit, terjadi saat berkunjung ke Ngijo. Kunjungan ke radio komunitas juga mengalami keterlambatan sekitar 10 menit. Kedua keterlambatan terjadi karena kurangnya perhitungan panitia yang belum paham medan. Lima pemuda Nglaran sendiri, wuah! Ternyata jam karet tidak berlaku bagi mereka! Semua mereka kerjakan tepat seperti rencana panitia.[am]

FOTO: Ketika berpamitan Kepala Desa Cakul, Drs. Nurwito

Jadwal Magang Tani Pemuda Dusun Nglaran di Jogjakarta [25 -29 Desember 2008]


[1] 25 Desember, (1) Pukul 11.00: berangkat dari Dusun Nglaran (1) Aan, (2) Warsito, (3) Purwo Santosa, (4) Musni, (5) Sudarmaji. Pukul 17.00 tiba di Yogyakarta dijemput dan kemudian menginap di rumah Pak Zain/Bu Siti Aminah. (2) Pukul 19.30 bersilaturahmi dengan warga kampong Bener. [2] 26 Desember. (1) Pukul 07.00 – 11.00: Orientasi kampung dan orientasi kota. (2) Pukul 14.00: Kunjungan ke Ngijo, dusun Banyakan III, Sitimulyo, Piyungan, Bantul untuk belajar tentang film dan pembelajaran masyarakat. (3) Pukul 16.00 belajar tentang Organisasi Karang Taruna ’’Taruna Reka’’ di Karangploso, Sitimulyo, Piyungan, Bantul. (4) Pukul 19.00: Belajar tentang radio komunitas di Balai Budaya Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.

[3] 27 – 28 Desember: Magang di kampong rumah petani kreatif di Dusun Siliran VI, Karangsewu, Galur, Kulon Progo. Materi: membangun kelompok tani, organisasi lelang hasil pertanian, kelompok pemakai air, dan teknik pertanian sistem tumpang sari.

[4] 28 Desember, Pukul 15.00 belajar tentang instalasi/pembuatan biogas dari kotoran ternak di Dusun Keboan, Karangwuni, Wates, Kulonprogo.

[5] 29 Desember, (1) Pukul 09.00 melihat pembuatan instalasi biogas di Kampung Bener. (2) Pukul 10.00.belajar tentang pembuatan pupuk organik di Dusun Puluhan, Sumberagung, Moyudan, Sleman (Kelompok Tani Lo-Rejo). (3) Belajar system pertanian organik di Dusun Kleben, Sidorejo, Godean, Sleman (Kelompok Tani Bangun Rejo). (2) Pukul 14.30: Berdiskusi mengenai Rencana Tindak Lanjut. (3) Pukul 15.00 Berangkat pulang, diantar saampai Jalan Wonosari. (4) Pukul 21.00 sampai di rumah masing-masing.[am]

Jumat, 02 Januari 2009

Bangun Sekolah Satu Atap untuk Tingkatkan Kualitas

TRENGGALEK-Banyaknya lulusan siswa SD di Desa Cakul, Kecamatan Dongko yang kesulitan melanjutkan ke SMPN, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Trenggalek membuat terobosan. Dinas yang bertanggungjawab tentang pendidikan itu, membuat gedung SD-SMPN Satu Atap 2 di Desa Cakul. Bahkan 15 Oktober lalu gedung itu diresmikan oleh Wakil Bupati Trenggalek Mahsun Ismail.

Dengan dibangunnya SD-SMPN Satu Atap ini, maka kesulitan wali murid yang ingin anaknya melanjutkan ke SMPN terjawab. Sebab, ketika lulusan SD di Desa Cakul tidak perlu bingung. Mereka bisa langsung mendaftar di SMPN itu. Selain itu hal ini juga sebagai wujud mendukung program pemerintah wajib belajar 9 tahun. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Trenggalek, Kusprigianto. Menurut dia, pembangunan ruang kelas baru SD-SMPN satu atap ini merupakan jawaban kesulitan wali murid. Selain itu, sebagai upaya peningkatan serta pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan dengan biaya murah dan berkualitas. Sehingga wali murid tidak perlu bingung soal dana pendidikan.

“Sekolah satu atap ini diharapkan menjadi sekolah yang berkualitas, sehingga mampu bersaing dengan sekolah lainnya,” katanya. Kusprigianto melanjutkan, pembangunan gedung ini menyerap biaya yang cukup besar, karena itu para pendidik maupun orang tua siswa mampu mempertahankan dan senantiasa melestarikan agar gedung ini bisa dipergunakan seterusnya bagi generasi selanjutnya. Dengan begitu ke depan melahirka generasi-generasi yang mampu bersaing pada era globalisasi.

Sementara itu dalam sambutannya Wabup Trenggalek Mahsun Ismail menyatakan, tujuan pembangunan di bidang pendidikan mewujudkan masyarakat yang maju, berdaya saing, demokratis, berkeadilan damai dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk mewujudkan itu harus didukung sumber daya manusia yang cerdas, terampil, bertaqwa, sehat, mandiri serta cinta tanah air. “Dengan gedung SD-SMPN satu atap ini, bisa mencetak siswa berdaya saing tinggi,” katanya Mahsun Ismail. (and/ris)

Radar Tulungagung Jumat, 17 Oktober 2008 21:38

Kemarau Di Desa Cakul, Dongko, Trenggalek

Andalkan Sumber Air Selebar 1,5 M untuk Penuhi Kebutuhan Air

Kemarau yang berkepanjangan sampai bulan September tahun ini membuat warga Desa Cakul kecamatan Dongko Trenggalek harus rela berduyun-duyun antri untuk mengambil air dari satu-satunya sumber air yang ada di desa Cakul. Sumber mata air terletak di Dusun Kapit yang bentuknya menyerupai kolam selebar 1,5 meter tersebut dipergunakan untuk keperluan memasak maupun keperluan sehari-hari lainnya oleh masyarakat sekitar.


Demikian dikatakan salah satu staf Kecamatan Kecamatan Dongko, Suryono, ketika dihubungi di kantornya Jl Raya Dongko 69 kecamatan Dongko, Selasa (14/9). Suryono mengatakan, warga yang mengambil air umumnya berasal dari Dusun Tungkak Salam dan Dusun Tangkul karena lokasinya yang dekat dengan sumber air, namun warga dari dusun lain juga mengambil dari sumber tersebut. Diantara mereka, harus jalan kaki yang jauhnya hingga tiga kilometer untuk mencapai sumber mata air tersebut dan untuk mengambilnya warga harus rela menunggu antrian yang panjang. Daerah yang mengalami kekeringan musim kemarau tahun ini di desa Cangkul jumlahnya mencapai tujuh dusun.

"Kondisi seperti ini terjadi hampir terjadi setiap musim kemarau dan dari tahun ke tahun kekurangan air terasa semakin parah, untungnya sumber air tersebut, meskipun diambil ratusan warga setiap harinya tidak pernah habis dan terus mengalir," katanya.

Menurut Suryono, pihak kecamatan sudah mengajukan bantuan ke pemkab untuk pengadaan pipanisasi, sehingga masyarakat tidak terlalu jauh mengambil air namun sampai saat ini belum ada realisasi. Jadi untuk sementara ini pihak desa hanya bisa mengajukan untuk minta pengiriman air dari PDAM dengan mobil tangki, yang jumlahnya satu sampai dua tangki. Dan dari jumlah air tersebut dibagikan kepada warga secara gratis secara merata.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari banyak kepala keluarga yang pergi ke kota untuk menjadi buruh pabrik dan kuli bangunan. Sedangkan pola tanam yang dilakukan oleh warga yang memilih tetap tinggal di daerah yakni dengan menanam ketela pohon dan jagung. *(yan)

Infokom-Jatim, Selasa, 14 September 2004 16:17:17

Dalang Cilik Wuwus Nanang Galih Carito yang Kian Berkibar

Dampingi Ki Anom Suroto, Raih Penyaji Terbaik se-Jatim

Meski baru berusia 12 tahun, berbagai prestasi diraih Wuwus Nanang Galih Carito. Dalang cilik dari Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Trenggalek itu menyabet penyaji terbaik dalam Festival Dalang Anak se-Jatim dua bulan lalu. Selain menyabet penyaji terbaik, Galih, demikian bocah ini biasa disapa, juga meraih sabet (perang tokoh wayang) terbaik pada even yang sama. Atas prestasinya itu, siswa kelas VI SDN 6 Cakul itu mendapatkan penghargaan dari Bupati Trenggalek Soeharto pada upacara hari Pahlawan dua hari lalu.


Darah seni Galih diturunkan dari kedua orang tuanya, pasangan Sairun, 39; dan Sunarsih. Keduanya berprofesi sebagai dalang dan sinden. Nah, saat sang ayah dan ibu tanggapan, Galih tak pernah ketinggalan. Orang tuanya membawakan bantal khusus bagi Galih. Jika capek dan mengantuk Galih bisa tidur sementara orang tuanya tanggapan.

Mulai dari TK tokoh-tokoh pewayangan mulai dikenalkan pada Galih. Kini anak tunggal ini sudah mengenal tokoh pewayangan sampai memainkan dengan tampil. "Paling susah ontowencono (percakapan) sama memainkan gajah (binatang dalam tokoh pewayangan disebut puspodhento)," kata bocah berperawakan gemuk ini.

Tidak seperti penampilan orang dewasa, Galih biasanya tampil selama dua sampai tiga jam. Pertimbangannya Galih yang masih anak-anak. Meski begitu kemampuan memainkan anak wayang sudah ditunjukkan Galih di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 2006 lalu. Terakhir dia tampil sebelum penampilan Ki Anom Suroto pada ulang tahun Trenggalek Agustus lalu, selain juga berbagai tanggapan yang terus datang.

Setelah berhasil menyabet prestasi di tingkat provinsi, Galih kemudian didapuk mewakili Jawa Timur dalam even serupa di tingkat nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Dari 22 peserta, Galih terpilih sebagai 10 dalang terbaik. Dari berbagai prestasi itu, Galih saat ini mantap ingin terus menjadi dalang saat dewasa nanti.

Tak hanya Galih, namun keberhasilan juga disabet Sanggar Arum, sanggar yang ada di SDN 6 Cakul. Pada lomba dalang cilik tersebut, Sanggar Arum menyabet pemangku irama terbaik (kendang), pengiring terbaik dan dan penyaji karawitan terbaik. Kini setidaknya ada 15 anak yang aktif bergabung dalam Sanggar Arum.

"Lima belas anak ini ada yang pengrawit, tembang Jawa, penari, macapat. Semua kegiatan tersebut merupakan pembelajaran di bidang budi pekerti, untuk melestarikan kesenian Jawa yang sekarang sepertinya hampir punah," ucap Kepala SDN 6 Cakul Sarwan.

Pasca even di Jatim, SDN 6 Cakul ditunjuk menjadi pusat latihan dari peserta di kota lain seperti Madiun, Nganjuk, Pacitan dan Malang. Sedangkan rencana ke depan, Sanggar Arum bersiap tampil pada festival yang rencananya diselenggarakan di Pakuwon Trade Center, Surabaya tahun depan.

Karena berhasil menyabet prestasi di tingkat provinsi, SDN 6 Cakul tidak diperbolehkan menjadi peserta dalam festival karawitan anak yang rencananya digelar dinas Pedidikan dan Kebudayaan Trenggalek 26 November nanti. "Kami mengisi sebagai bintang tamu," kata Sarwan. [Titin Ratna, RaTu]

Radar Tulungagung [Rabu, 12 November 2008]

Trenggalek Tuan Rumah Pameran Foto TKW Hongkong

Surabaya ( Berita ) : Setelah dipamerkan di Galeri Surabaya, 9 hingga 11 September lalu, giliran Trenggalek yang menjadi tuan rumah pameran 100 foto karya TKW Indonesia di Hongkong seusai Hari Raya Idul Fitri. “Nanti akan dipamerkan di rumah saya selama seminggu. Sekalian ini menjadi ajang silaturrahmi masyarakat dan keluarga para TKW,” kata Bonari Nabonenar, penggagas pameran itu kepada ANTARA di Surabaya, Sabtu [15/09].

Ia mengemukakan, di Trenggalek kemungkinan besar foto-foto itu mendapatkan apresiasi lebih baik dibandingkan dengan di Surabaya. Sebab Trenggalek dan sekitarnya merupakan salah daerah yang banyak memberangkatkan TKW ke Hongkong.

“Kita tahu bahwa TKW asal Jatim yang berangkat Hongkong itu umumnya berasal dari kawasan Selatan Jatim. Dibandingkan Surabaya, pameran di Trenggalek ini tujuannya lebih mengena,” kata penggerak sastra buruh migran di Hongkong itu.

Foto-foto karya para TKW itu memotret berbagai obyek di tempat kerja mereka, seperti gedung-gedung bertingkat hingga 60 tempat mereka bekerja, aktivitas mingguan mereka di Victoria Park, fasilitas umum, kendaraan di jalan atau perpustakaan tempat mereka memperkaya wawasan.

Bonari mengemukakan bahwa awalnya terkumpul sekitar 500 foto yang dikirim para TKW lewat internet. Sebagaimana diketahui bahwa meskipun umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, namun TKW di Hongkong akrab dengan teknologi informasi.

Dari 500 karya itu kemudian diseleksi yang melibat sejumlah wartawan dan fotografer di Surabaya yang terpilih 100 foto. Seleksi itu tidak sekedar karena ada yang tidak begitu baik, tapi secara materi sangat informatif.

Lewat pameran itu, Bonari berharap akan memberikan gambaran lengkap kepada masyarakat, khususnya keluarga para TKW mengenai pekerjaan para buruh itu serta suasana dan kehidupan di negeri Hongkong.

Menurut Bonari, calon TKI akan tahu bahwa mereka bisa bekerja di gedung tingkat 60. Dengan pengetahuan itu, para calon TKW bisa mengukur diri, apakah mereka berani berangkat atau tidak.

“Kalau tidak berani dengan kemungkinan bekerja di gedung berlantai 60 itu, mereka bisa memutuskan untuk tidak berangkat,” katanya.

Informasi penting lain dari pameran itu bermakna bagi keluarga TKW. Dengan foto itu, para keluarga diharapkan tahu bagaimana TKW bekerja di negeri orang dengan segala suka dukanya.

“TKW itu banyak yang stres, karena mengalami keterkejutan budaya dari orang desa bekerja di kota besar. Selain itu, mereka stres karena mengalami ‘teror’ dari keluarganya di kampung yang segera minta kiriman uang. Lewat foto ini, keluarganya bisa tahu betapa beratnya kerja para TKW itu,” katanya menuturkan. (ant)

beritasore online

PPSJS Gagas Festival Sastra Jawa

Surabaya - Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) menggagas even kebudayaan bernama Festival Sastra Jawa yang diharapkan menjadi embrio dari Festival Sastra Etnik Nusantara untuk melestarikan kekayaan seni tradisi. Ketua Umum PPSJS, Bonari Nabonenar di Surabaya, Sabtu menjelaskan, saat ini diperlukan media ekspresi alternatif untuk mewadahi aktivitas para penulis sastra Jawa dalam skala yang lebih luas.

"Sastra Jawa adalah warga dari Sastra Indonesia dan juga warga dari sastra dunia yang layak diberi ruang untuk hidup, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodrat dan keinginan masyarakat pendukungnya," katanya.

Karena itu, katanya, diperlukan berbagai bentuk ekspresi bagi pegiat sastra Jawa. Even ini sekaligus untuk menghormati beberapa tokoh sastra Jawa di Jawa Timur, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

"Jawa Timur ini memiliki nama besar untuk penulis sastra Jawa. Mereka antara lain, Suparto Brata, Satim Kadaryono, Moechtar, Suharmono Kasiyun, Widodo Basuki, Tiwiek SA, Djayus Pete, JFX Hoery dan lainnya," katanya.

Menurut dia, even ini bisa digelar tahunan dan skalanya bisa diperluas dengan melibatkan seluruh pegiat sastra etnis di negeri ini. Karenanya acara ini diharapkan juga menjadi silaturahmi budaya dalam skala yang lebih besar.

Ia mengemukakan, Festival Sastra Jawa itu akan digelar 2009 dengan tema, "Desa dan Sastra Jawa". Dengan alasan itu, maka festival tersebut rencananya akan dilaksanakan di Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek.

"Kegiatan ini akan digelar di desa karena kami berasumsi bahwa sebagian besar masyarakat pendukung sastra Jawa modern ada di daerah-daerah pinggiran, di desa-desa," katanya.

Karena itu, katanya, perlu dikaji hubungan imbal-balik antara sastra Jawa modern dengan masyarakat pedesaan, dan peran apa yang perlu dipertegas oleh para pengarang sastra Jawa dalam rangka berpartisipasi pada pembangunan masyarakat pedeaan tersebut.

Kegiatan itu akan diramaikan dengan pentas baca cerita cekak (Cerpen Bahasa Jawa), geguritan (puisi), drama berbahasa Jawa, sarasehan, pameran buku dan pemutaran film dokumenter.

Mengenai lokasi festival ini, yakni Desa Cakul adalah sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota, yakni sekitar 10 km dari ibukota kecamatan Dongko dan 46 km dari ibukota Kabupaten Trenggalek.

"Seperti halnya wilayah di bebukitan kapur jalur selatan Pulau Jawa, lokasinya cukup indah dengan kekayaan bebatuan kapur, marmer, dan banyak lubang bawah tanah atau gua," katanya. []

Antara Sabtu, 15 Nov 2008 15:27:13

TKW Hongkong Bentuk Forum Budaya Buruh Migran

Surabaya (ANTARA News) - Sejumlah TKW Indonesia yang bekerja di Hongkong membentuk Forum Budaya Buruh Migran Indonesia (FBBMI) untuk mewadahi aspirasi serta kegiatan kebudayaan mereka selama berada di tanah air. Bonari Nabonenar, salah seorang penggerak seni buruh migran kepada ANTARA News di Surabaya, Senin mengemukakan, FBBMI itu diketuai oleh Wina Karnie, TKW asal Magetan yang sudah menerbitkan buku kumpulan cerpen, "Perempuan Negeri Beton".


"FBBMI akan diresmikan 17 Oktober di Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jatim bersamaan dengan kegiatan diskusi bertema `Orang Kampung dan Globalisasi`," katanya.

Menurut dia, FBBMI akan menjadi wadah untuk memfasilitasi para buruh yang mengambil cuti dan hendak menggelar pentas seni atau kegiatan budaya lainnya di Indonesia. Forum itu juga akan menjadi wadah konsultasi TKW yang hendak menerbitkan buku.

"Kebetulan Wina Karnie juga menjadi Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Hongkong yang merupakan organisasi para penulis," kata Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu.

Menurut dia forum itu dibentuk karena selama ini lembaga pembelaan atau advokasi kaum buruh migram sudah banyak berdiri, sedangkan untuk menjembatani kegiatan budaya bagi mereka belum pernah ada, khususnya ketika mereka berada di tanah air.

Selain kegiatan peluncuran FBBMI dan diskusi, di dusun terpencil di Trenggalek itu juga digelar pameran foto "Hongkong dan TKI Kita" yang merupakan kelanjutan dari pameran pertama di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda beberapa waktu lalu.

Sekitar seratus foto tentang seluk beluk Hongkong dan TKI itu akan dipamerkan mulai 15 hingga 17 Oktober di rumah orangtua Bonari sendiri.

"Mengapa diselenggarakan di Trenggalek? Karena pameran itu memang akan dikelilingkan se Jatim, khususnya wilayah yang banyak menyumbangkan TKW ke Hongkong. Kebetulan yang banyak daerah kawasan selatan Jatim," katanya.

Ia mengemukakan, di Trenggalek kemungkinan besar foto-foto itu mendapatkan apresiasi lebih baik dibandingkan dengan di Surabaya. Sebab Trenggalek dan sekitarnya merupakan salah satu daerah yang banyak memberangkatkan TKW ke Hongkong.

Foto-foto karya para TKW itu memotret berbagai obyek di tempat kerja mereka, seperti gedung-gedung bertingkat hingga 60 tempat mereka bekerja, aktivitas mingguan mereka di Victoria Park, fasilitas umum, kendaraan di jalan atau perpustakaan tempat mereka memperkaya wawasan.

Lewat pameran itu, Bonari berharap akan memberikan gambaran lengkap kepada masyarakat, khususnya keluarga para TKW mengenai pekerjaan para buruh itu serta suasana dan kehidupan di negeri Hongkong.

"Misalnya, foto flat yang terdiri atas 50 hingga 60 lantai tempat para TKW bekerja sebagai pembantu. Foto itu memberikan informasi penting bagi keluarga TKW maupun calon TKW yang belum berangkat," katanya.

Menurut Bonari, calon TKI akan tahu bahwa mereka bisa bekerja di gedung tingkat 60. Dengan pengetahuan itu, para calon TKW bisa mengukur diri, apakah mereka berani berangkat atau tidak. (*)

Antara

Kamis, 01 Januari 2009

Mendendangkan Lagu yang Sama

JIKA kita membaca sejarah, pertentangan pendapat antara kaum muda dan kaum tua adalah lagu (tidak enak di dengar) yang sering terputar ulang sejak dulu (misalnya, bacalah: Siti Nurbaya) hingga kini (sering tertayang di televisi). Tetapi, di Nglaran dan di Desa Cakul pada umumnya, yang tua dan yang muda mendendangkan lagu yang sama

Judulnya: Mari Berpikir dan Bekerja untuk Diri dan Kampung Kita! [FOTO: Pertemuan di MTS, Jumat, 31 Oktober 2009 dan pemuda Nglaran menyiapkan Nglaran Kita ini].