Kamis, 29 Januari 2009

Untuk Apa Festival Sastra Jawa?

Sastra Jawa adalah warga sastra Indonesia dan juga sastra dunia, yang layak diberi ruang hidup, tumbuh dan berkembang sesuai keinginan masyarakat pendukungnya. Jawa Timur memiliki tokoh-tokoh yang disegani di jagad sastra Jawa. Di Surabaya ada Dr. Suripan Sadi Hutomo [alm.], Suparto Brata, Satim Kadaryono, Drs. Moechtar, Suharmono Kasiyun, Widodo Basuki, di Tulungagung ada Tamsir AS (alm), Tiwiek SA, di Bojonegoro ada Djayus Pete, JFX Hoery, di Banyuwangi ada Esmiet [alm.], di Mojokerto ada ST Iesmaniasita [alm.] sekedar menyebut mereka yang pernah mendapatkan Hadiah Rancage.

Selain itu Jawa Timur juga memiliki Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Dua buah majalah berbahasa Jawa dengan kesejarahan panjang yang hingga saat ini masih memiliki pembaca setia, yang sebagian besar adalah masyarakat desa.

Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar pendukung sastra Jawa modern adalah masyarakat daerah pinggiran maupun pedesaan. Sayangnya kenyataan tersebut tidak serta-merta memunculkan keberpihakan para sastrawan terhadap masyarakat desa dengan segala persoalannya.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2005, desa adalah suatu kesatuan masyarakat undang-undang yang memiliki batas-batas wilayah yang berupaya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengacu pada batasan tersebut, desa dapat diartikan sebagai sebuah wilayah dengan segela keunikannya yang dilindungi oleh negara. Namun dalam berbagai wacana, ternyata terminologi desa lebih sering dikaitkan dengan persoalan kemiskinan, kebodohan, serta ketertinggalan-ketertinggalan lainnya.

Memang dalam kenyataannya, desa identik dengan segala ketertinggalan. Terlebih dalam hal pertumbuhan ekonomi yang merupakan titik berat Program Pembangunan Nasional di negri ini. Pembangunan serta investasi yang lebih banyak terfokus di kota menjadikan kondisi desa tidak berubah dari masa ke masa.

Desa hanya difungsikan sebagai wilayah penghisapan pusat pembangunan di kota-kota. Bukan hanya kota-kota di wilayah terdekatnya, melainkan juga di tingkat nasional, maupun internasional. Bahkan kota-kota di negara berkembang dapat dikatakan sebagai perantara sumber daya ke negara maju saja.

Meski telah terjadi pergantian pemimpin berkali-kali, secara umum kondisi desa-desa di wilayah Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan. Paradigma pembangunan menjadikan sumber daya terpusat di sektor dan kawasan yang potensial menyumbang pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan perpindahan sumber daya secara besar-besaran ke pusat-pusat pertumbuhan. Akibatnya terjadi penurunan kualitas lingkungan serta kelangkaan individu potensial di pedesaan.

Trenggalek, sebuah kabupaten yang sebagian besar wilayahnya merupakan pedesaan mengalami permasalahan yang sama. Selain sumber daya alam yang terus mengalir ke kota-kota lain, potensi warga kabupaten ini juga lebih banyak memberikan sumbangan pada kota-kota di sekitarnya, termasuk kota provinsi.

Demikian juga dengan potensi sastrawannya. Nama-nama seperti: Widodo Basuki (Munjungan/Redaktur Jaya Baya), St Sri Purnanto (Panggul), Jarot Setiyono, Nanang Windradi (Trenggalek), Edy Santosa (Durenan), Sita T Sita (Pogalan), dipandang cukup mewarnai perkembangan dunia sastra Jawa modern. Mereka adalah sastrawan Jawa asal Trenggalek, namun selama ini kurang berkontribusi secara optimal terhadap daerah asal mereka.

Oleh karenanya perlu dipertegas peran apa yang harus dilakukan oleh para pengarang/sastrawan Jawa dalam rangka berpartisipasi pada pembangunan masyarakat pedesaan, terlebih di Era Global seperti sekarang.

Festival Sastra Jawa yang rencananya digelar di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trengalek, Jawa Timur, diharapkan dapat menjawab persoalan di atas sehingga mampu menumbuhkan kembali kebanggaan masyarakat akan desanya. Dengan demikian, sastra tidak lagi menjadi karya yang berjarak dengan pendukungnya, karena mampu menyuarakan persoalan masyarakat. Termasuk di antaranya masyarakat pedesaan.

Dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, Festival Sastra Jawa bisa dijadikan agenda tahunan, sebagai upaya untuk menuju forum ’’silaturahmi budaya’’ yang lebih besar (berskala nasional) yang kelak bisa dinamakan Festival Sastra Etnik Nusantara.[panitia]

0 komentar:

Posting Komentar