Rabu, 18 Agustus 2010

Petani Cengkih kembali Bergairah

Cengkih mengalami kejayaan, terutama pada paroh kedua tahun 70-an. Trenggalek yang sejak lama dikenal sebagai wilayah tandus dan daerah termiskin di Jawa Timur pun mengukir mimpi bersama tumbuhnya tanaman cengkih yang ketika itu dipopulerkan oleh sang bupati, Soetran. Dipandang berjasa sebagai pemimpin yang memberikan banyak harapan bagi masyarakatnya, nama Soetran pun diabadikan sebagai nama jalan, di salah satu sudut ibukota Kabupaten yang di sisi Selatan-nya langsung berbatasan dengan Australia itu. Dalam perjalanan waktu, orang menyadari, termasuk Pemerintah, bahwa berkembangnya pertanian cengkih yang bahkan sempat dijuluki sebagai emas hijau itu tak juga meningkatkan kesejahteraan para petaninya secara setimpal. Artinya, bahwa pendapatan petani meningkat, memang demikian. Tetapi, ternyuata petani menjadi bulan-bulanan tengkulak besar.

Maka, pemerintah membentuk sebuah badan bernama BPPC (Badan Penyangga Perdagangan Cengkih) untuk mengurusi tataniaga cengkih, itu pada paroh kedua tahun 80-an.

Apa yang terjadi kemudian ternyata semakin jauh dari harapan. Para pelaku perdagangan (tengkulak besar) ternyata tetap memainkan peran. BPPC ternyata kemudian hanya menjadi lembaga stempel untuk memungut sebagian keringat para petani. BPPC sempat menjadi besar, dan petani makin menjerit.

Lalu datanglah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan ndilalah namanya mirip BPPC, yakni BPBC (Bakteri Penggerek Batang Cengkih). Banyak tanaman cengkih ranggas dan kemudian ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Sawah-sawah yang semula disulap menjadi kebun cengkih pun dikembalikan menjadi sawah.

Kini, BPPC sudah dibubarkan. Ada sebagian petani yang masih trauma, ada yang bangkit lagi dengan kembali menanam cengkih. Pasar pun kembali menggeliat.


Trenggalek

Secara geografis, wilayah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, memang terdiri atas pegunungan dan perbukitan kapur. Mayoritas penduduknya adalah petani. Tanaman pokok yang selalu setia ditanam terutama diderah pegunungan adalah ketela pohon alias singkong sebagai bahan pangan pokok. Hal seperti itu bertahan hingga sekarang.

Trenggalek pun dikenal dengan julukan penghasil gaplek (ketela pohon yang dikeringkan sebagai bahan baku untuk membuat nasi tiwul).

Pada era ’60-an hampir seluruh wilayah Trenggalek yang berupa lahan kering ditanami ketela. Baru ada perubahan pada tahun ’70-an semasa Soetran menjabat Bupati Trenggalek, melakukan ujicoba dengan menggerakkan masyarakat petani untuk menanam cengkih.

Ketika itu petani terutama di pedesaan diberi bantuan bibit cengkih secara gratis. Setelah cengkih ditanam dan dilakukan perawatan dengan sungguh sungguh beberapa tahun kemudian petani cengkih bisa merasakan hasil yang cukup menggembirakan.

Dengan adanya cengkih ternyata masyarakat Trenggalek terutama dipedesaan mengalami peningkatan ekonomi yang cukup lumayan . Hal itu dapat dilihat yang dulunya para petani hanya bisa menyekolahkan anaknya sampai tamat SD, dari hasil panen cengkihnya mereka bisa menyekolahkan sampai SMA bahkan banyak yang sampai perguruan tinggi.

Adapun daerah yang paling banyak menghasilkan cengkih saat itu ada beberapa Kecamatan yaitu Dongko, Panggul, Pule, dan Munjungan. Wilayah ini merupakan lumbung cengkih di daerah Trenggalek.

Sayangnya pada tahun ’80-an setelah pemerintah membetuk badan yang mengurusi tentang tata niaga cengkih yaitu BPPC yang tujuannya semula untuk menolong petani dari perubahan harga cengkih yang fluktuatif ternyata ujung ujungya justru badan ini yang menyengsarakan petani.

Petani cengkih mengalam frustasi. Karena monopoli yang dilakukan oleh BPPC lewat KUD yang melaksanakan kebijakan untuk penjualan hasil cengkih petani harus ke KUD itupun dengan harga yang ditekan semurah-murahnya. Selain itu petani tidak bisa menjual sendiri hasil taninya ke wilayah lain bila ada pastilah ditangkap.

Alhasil petani seperti dipasung, dan setelah dihitung-hitung saat itu hasil dari penjualan dengan upah petiknya yang harus dikeluarkan sudah tidak seimbang. Makanya banyak petani yang membiarkan bunga cengkihnya tidak dipetik bahkan tidak sedikit yang ditebang untuk diganti tanaman lain.

Baru setelah terjadinya reformasi dan bubarnya BPPC, para petani cengkih mulai bangkit kembali, karena tataniaganya tidak dimonopoli lagi oleh perorangan ataupun pemerintah. Kembali pada hukum pasar. Yaitu bila barangnya banyak maka harga akan cenderung turun namun bila cengkih di pasaran tidak banyak maka harga akan melambung naik.

Musim Panen

Saat ini petani di Trenggalek ternyata mulai kreatif dalam hal bercocok tanam. Hal ini bisa dilihat ladang-ladang cengkih yang ada tidak lagi melulu tanaman cengkih saja, namun di sela-sela cengkih ternyata banyak ditanami coklat, pisang, nilam yang juga memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Selain itu para petani mulai berpikir bila nantinya cengkih mengalami harga jatuh maka dari hasil tanaman selanya mereka masih memperoleh pendapatan, yang cukup lumayan.

Saat ini petani cengkih mulai panen raya. Musim panen setiap tahun sekali biayanya mulai bulan juni sampai agustus. Dengan harga cengkih basah di pasaran Rp 15.000 per kilogram, sedangkan cengkih kering mencapai Rp 50.000. Petani seperti mengalami kembali kejayaan masa lalu.

Ternyata dengan harga yang cukup bagus ekonomi masyarakat mulai menggeliat lagi tidak saja petani yang untung, para buruh tani juga kebagian rezeki, yang semula upah buruh tani Rp 20 ribu/hari maka sebagai pemetik buah cengkih dapat memperoleh upah Rp 30 sampai 35 ribu/hari.

Tengkulak Kecil

Tak lupa para pedagangnya juga ikut berlomba untuk meperoleh laba. Bila modalnya besar maka ia akan berperan sebagai pengepul cengkih kering. Sedangkan yang hanya memiliki modal pas-pasan maka mereka biasanya membeli cengkih basah untuk dikeringkan, kemudian setelah kering baru dijual ke pedagang pengepul.

Biasanya mereka memperoleh laba dari selisih harga dan berat dari cengkih basah menjadi cengkih kering. Untuk menghasilkan 1 kg cengkih kering biasanya membutuhkan 3 kg cengkih basah, bahkan bila kualitas cengkihnya bagus 2,7 kg sudah bisa menghasilkan 1 kg cengkih kering.

Tiyuk yang tekun membeli dari petani, mengeringkan dan kemudian menjualnya dalam kondisi kering, mengaku bisa meraup untung Rp 30.000 - Rp 50.000/hari.

”Setiap musim cengkih saya selalu membeli basah untuk saya keringkan. Bila cuacanya cukup bagus, panasnya dari pagi sampai sore tiga hari cengkih sudah siap dijual, sehingga ngirit tenaga dan kualitas cengkih jadi bagus hingga untungnya cukup lumayan. Bahkan untuk memperoleh untung yang banyak sebenarnya tinggal berapa modal kita dan seberapa banyak kemampuan untuk mengeringkan,” tutur Tiyuk.

Daun Kering

Selain itu cengkih ternyata tidak hanya bunganya saja yang laku dijual. Daunnya yang sudah keringpun laku untuk dijual dengan harga Rp 800 sampai Rp 1000 perkilonya. Daun kering ini disuling untuk diambil minyaknya sebagai bahan baku obat-obatan.

Biarpun panennya setahun sekali bunga cengkih bisa menyejahterakan ekonomi petaninya. Hal ini terlihat dimasyarakatnya, setiap panen tiba mereka tidak lagi binggung untuk biaya sekolah anak-anaknya, bahkan ada yang seperti berlomba membangun dan memperbaiki rumahnya dan banyak juga yang membeli kendaraan, terutama roda dua.

Tapi, yang jelas geliat ekonomi ini sangat kentara bila panen raya tiba, pasar-pasar, toko-toko selalu dijubeli pembeli.[pur]

0 komentar:

Posting Komentar