Senin, 20 Desember 2010

JUARA DALANG BOCAH UNJUK KARYA

Oleh : Henri Nurcahyo

Para Juara Festival Dalang Bocah, Wuwus Nanang Galih Carito dari Trenggalek, dan Sadwika Aji Sembodo dari Surabaya, akan unjuk karya dalam acara Gelar Padang Rembulan 2010, di halaman Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Jalan Gentengkali 33 Surabaya, hari Rabu, tanggal 22 Desember 2010, diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.


Wuwus adalah Siswa SMP Negeri 2 Kec. Dongko, Trenggalek, pernah menjuarai Festival Dalang Bocah tingkat Jatim 2008 dan menyusul menjadi Juara Umum tingkat nasional tahun yang sama. Saat itu dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Sedangkan Sadwika adalah siswa SMP Negeri 12 Surabaya, Penyaji Terbaik Festival Dalang Bocah tingkat Jatim tahun 2010. Kedua dalang ini akan membawakan pakeliran padat sekitar satu jam.

Sadwika akan mengawali acara tersebut pada siang hari, pukul 13.00 WIB, dengan pergelaran Wayang Kancil yang memilih lakon Prabu Singa Barong. Pergelaran ini mirip wayang kulit biasa, namun tokoh-tokohnya berupa binatang, sehingga ceritanya berkisar pada nilai-nilai kearifan yang bercermin dari kehidupan dunia binatang (fabel).

Sedangkan Wuwus, akan unjuk karya dalam pergelaran wayang purwo, pukul 20.30 WIB, membawakan lakon Pembebasan Ekacakra, yang berkisah tentang ketamakan Raja Eracakra yang memakan rakyatnya sendiri. Kekejaman Prabu Baka ini kemudian dilawan oleh Pandawa yang membantu rakyat tertindas agar terbebas dari angkara murka rajanya.

Setelah Wayang Kancil, pukul 14.00, acara dilanjutkan dengan Dialog Seni Budaya, menghadirkan dosen ISI Surakarta, Dr. Suyanto, S.Kar, MA dan Sumari, S.Kar, pengurus Pepadi Pusat dan penulis buku wayang untuk anak sekolah. Malam harinya, pukul 19.00, diawali dengan pergelaran aneka tari oleh Sanggar Tari Pandu Siwi Surabaya, Tetembangan oleh SDN Rangkah VI Surabaya, dan musik Ul Daul dari Paguyuban Peminat Seni Tradisi (PPST) SMAN 3 Pamekasan serta tari Muang Sangkal oleh PPST SMKN IX Surabaya. Gelar Padang Rembulan yang kedua ini dipungkasi dengan pergelaran wayang purwo semalam suntuk, oleh Dalang Ki Sinarto dari Sidoarjo, dengan lakon Sang Bima.

Masih dalam rangkaian acara yang sama, besok malamnya, Kamis, 23 Desember, juga dipentaskan Ludruk Lintas Generasi, yaitu gabungan Ludruk Karya Budaya Kota Mojokerto dengan Ludruk Remaja SMA Taman Siswa Kota Mojokerto. Juga tampil pelajar SD dan SMP Islam Terpadu Permata Kota Mojokerto. Kali ini pementasan dilakukan di Taman Krida Budaya, Jl. Soekarno Hatta, Malang. (*)


Surabaya, 17 Desember 2010
UPT Pendidikan dan Pengembangan Kesenian Taman Budaya

SUMBEr: dinding facebook-nya Heri Lentho

Senin, 22 November 2010

PUISI BENI SETIA

NGLARAN, CAKUL, TRENGGALEK *

kagem pake + bune bon,
pak + ibu dulhasim, dan
sedherek-sedherek kabeh


1
dari ponorogo lewat
trenggalek menuju:
nglaran, cakul. dari
dataran rendah palung
bengawan madiun mencari
laut kidul lewat liuk bukit

seperti sang werkudara
melacak tirta amerta di
selaksa depa tepi jurang
bibir tebing--yang setia
menjanjikan kejatuhan di
setiap helaan nafas cemas

2.
hanya ada dua tikungan
antara trenggalek-cakul
: kanan-kiri. meliuk-liuk
lihay bagaikan politikus
yang selalu bersekongkol
dengan jurang dan tebing

di antara berangkat dan tiba
tersambung juta tanda tanya
: lengkung kail yang makin
menyihir tatap. menyiulkan
perbukitan tuntas menugalkan
kelam jurang + dingin puncak

3.
ada sulur bukit di balik
sulur bukit, seperti alur
acak guludan raksasa pada
ladang kaspi sang perkasa

: dan cuaca segera dingin
ketika pagi segera jumpa
senja di teras rumah lengang
di pinggang bukit tepi jurang

sementara segara cuma desah
di balik bukit, gaung gedebur
yang bersiendap menjadi embun
--halimun di puncak bukit sejak
dhuhur, hujan hilang sejak maret

4.
selain belokan di mana-mana
hanya turunan dan tanjakan:
curam. the jet coaster’s route
--bikin orang menekah-nekah
dibebani kaspi dan jeriken air

pohon pinus menjaring sinar
siang, liang-liang titik nadir
terhunjam mencari tinggalan
air. lantas putih tanah kapur
dan senyum rawan dalam lelah

rumah-rumah segera menutup
pintu sebelum dingin bertamu,
menyalakan sihir kemakmuran
di tv, melupakan semak ranggas
dan cengkih yang terbiar--masa
lalu yang sangat ingin dilupakan


5.
di panggul: hangat angin laut
itu masih menyisakan ramah

di nglaran, cakul: udara dingin
membangkitkan luka masa lalu
di belikat. meski hangat ruang
tamu serta obrolan dan banyak
suguhan membuat kabut bagai
pigura wisata dari dunia haiku

kini tersisa: hormat dan kangen


06/08.2009


-Beni Setia, sastrawan, tinggal di Caruban, Madiu

--Puisi ini dimuat dalam buku puisi Jawa Timur Bertutur, 2010

Kamis, 04 November 2010

SEPARUH HATIKU TERTINGGAL DI CAKUL

Puisi: Elnisya Mahendra


Pucuk pinus menyambut
Datangku
Dalam deru roda roda lelah
Datangku
Diantara permadani hijau


Lekuk tubuh anggun sang perawan gunung
Melenggang bersama wangi nilam
Bercampur aroma cengkeh dan rempah
Membaurkan rasaku yang terdiam
Terpagut keindahan

Lalu
Aku dalam kagumku
Terekam dalam kristal mata
Tersimpan dalam gulungan memory

Ah Cakul
Dalam kenang
Tertinggal disana separuh bayang
Lembayung senja
Rembulan memerah diantara nebula
Pendar galaksi yang mentautkan
Aku dan penghuninya


Trenggalek, Oktober 2010


Elnisya Mahendra, lahir di Tuban 4 Desember 1976.Menulis dan menyukai sastra. Mantan buruh migran Hong Kong, yang tergabung di Teater Angin ini, mencoba eksis dan berkarya di negri sendiri. Di daerahnya bergabung dengan salah satu komunitas sastra di Bojonegoro.

Minggu, 17 Oktober 2010

Sanggar Seni Sasangka KUmenyar Dusun Nglaran "diliput " TVRI-Jatim





Ini Acara di Dusun Nglaran: Kemis-Kliwon, 14 Oktober 2010, diliput TVRI-Jatim untuk acara "Dua Arah" (rencana tayang 22 nov 2010 pukul 18.00 - 19.00). Di tempat yang sama berlangsung sarasehan dalam rangka Festival Sastra Jawa dan Desa, 4 - 5 Agustus 2009. --Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jatim

Rabu, 18 Agustus 2010

Petani Cengkih kembali Bergairah

Cengkih mengalami kejayaan, terutama pada paroh kedua tahun 70-an. Trenggalek yang sejak lama dikenal sebagai wilayah tandus dan daerah termiskin di Jawa Timur pun mengukir mimpi bersama tumbuhnya tanaman cengkih yang ketika itu dipopulerkan oleh sang bupati, Soetran. Dipandang berjasa sebagai pemimpin yang memberikan banyak harapan bagi masyarakatnya, nama Soetran pun diabadikan sebagai nama jalan, di salah satu sudut ibukota Kabupaten yang di sisi Selatan-nya langsung berbatasan dengan Australia itu. Dalam perjalanan waktu, orang menyadari, termasuk Pemerintah, bahwa berkembangnya pertanian cengkih yang bahkan sempat dijuluki sebagai emas hijau itu tak juga meningkatkan kesejahteraan para petaninya secara setimpal. Artinya, bahwa pendapatan petani meningkat, memang demikian. Tetapi, ternyuata petani menjadi bulan-bulanan tengkulak besar.

Maka, pemerintah membentuk sebuah badan bernama BPPC (Badan Penyangga Perdagangan Cengkih) untuk mengurusi tataniaga cengkih, itu pada paroh kedua tahun 80-an.

Apa yang terjadi kemudian ternyata semakin jauh dari harapan. Para pelaku perdagangan (tengkulak besar) ternyata tetap memainkan peran. BPPC ternyata kemudian hanya menjadi lembaga stempel untuk memungut sebagian keringat para petani. BPPC sempat menjadi besar, dan petani makin menjerit.

Lalu datanglah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan ndilalah namanya mirip BPPC, yakni BPBC (Bakteri Penggerek Batang Cengkih). Banyak tanaman cengkih ranggas dan kemudian ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Sawah-sawah yang semula disulap menjadi kebun cengkih pun dikembalikan menjadi sawah.

Kini, BPPC sudah dibubarkan. Ada sebagian petani yang masih trauma, ada yang bangkit lagi dengan kembali menanam cengkih. Pasar pun kembali menggeliat.


Trenggalek

Secara geografis, wilayah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, memang terdiri atas pegunungan dan perbukitan kapur. Mayoritas penduduknya adalah petani. Tanaman pokok yang selalu setia ditanam terutama diderah pegunungan adalah ketela pohon alias singkong sebagai bahan pangan pokok. Hal seperti itu bertahan hingga sekarang.

Trenggalek pun dikenal dengan julukan penghasil gaplek (ketela pohon yang dikeringkan sebagai bahan baku untuk membuat nasi tiwul).

Pada era ’60-an hampir seluruh wilayah Trenggalek yang berupa lahan kering ditanami ketela. Baru ada perubahan pada tahun ’70-an semasa Soetran menjabat Bupati Trenggalek, melakukan ujicoba dengan menggerakkan masyarakat petani untuk menanam cengkih.

Ketika itu petani terutama di pedesaan diberi bantuan bibit cengkih secara gratis. Setelah cengkih ditanam dan dilakukan perawatan dengan sungguh sungguh beberapa tahun kemudian petani cengkih bisa merasakan hasil yang cukup menggembirakan.

Dengan adanya cengkih ternyata masyarakat Trenggalek terutama dipedesaan mengalami peningkatan ekonomi yang cukup lumayan . Hal itu dapat dilihat yang dulunya para petani hanya bisa menyekolahkan anaknya sampai tamat SD, dari hasil panen cengkihnya mereka bisa menyekolahkan sampai SMA bahkan banyak yang sampai perguruan tinggi.

Adapun daerah yang paling banyak menghasilkan cengkih saat itu ada beberapa Kecamatan yaitu Dongko, Panggul, Pule, dan Munjungan. Wilayah ini merupakan lumbung cengkih di daerah Trenggalek.

Sayangnya pada tahun ’80-an setelah pemerintah membetuk badan yang mengurusi tentang tata niaga cengkih yaitu BPPC yang tujuannya semula untuk menolong petani dari perubahan harga cengkih yang fluktuatif ternyata ujung ujungya justru badan ini yang menyengsarakan petani.

Petani cengkih mengalam frustasi. Karena monopoli yang dilakukan oleh BPPC lewat KUD yang melaksanakan kebijakan untuk penjualan hasil cengkih petani harus ke KUD itupun dengan harga yang ditekan semurah-murahnya. Selain itu petani tidak bisa menjual sendiri hasil taninya ke wilayah lain bila ada pastilah ditangkap.

Alhasil petani seperti dipasung, dan setelah dihitung-hitung saat itu hasil dari penjualan dengan upah petiknya yang harus dikeluarkan sudah tidak seimbang. Makanya banyak petani yang membiarkan bunga cengkihnya tidak dipetik bahkan tidak sedikit yang ditebang untuk diganti tanaman lain.

Baru setelah terjadinya reformasi dan bubarnya BPPC, para petani cengkih mulai bangkit kembali, karena tataniaganya tidak dimonopoli lagi oleh perorangan ataupun pemerintah. Kembali pada hukum pasar. Yaitu bila barangnya banyak maka harga akan cenderung turun namun bila cengkih di pasaran tidak banyak maka harga akan melambung naik.

Musim Panen

Saat ini petani di Trenggalek ternyata mulai kreatif dalam hal bercocok tanam. Hal ini bisa dilihat ladang-ladang cengkih yang ada tidak lagi melulu tanaman cengkih saja, namun di sela-sela cengkih ternyata banyak ditanami coklat, pisang, nilam yang juga memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Selain itu para petani mulai berpikir bila nantinya cengkih mengalami harga jatuh maka dari hasil tanaman selanya mereka masih memperoleh pendapatan, yang cukup lumayan.

Saat ini petani cengkih mulai panen raya. Musim panen setiap tahun sekali biayanya mulai bulan juni sampai agustus. Dengan harga cengkih basah di pasaran Rp 15.000 per kilogram, sedangkan cengkih kering mencapai Rp 50.000. Petani seperti mengalami kembali kejayaan masa lalu.

Ternyata dengan harga yang cukup bagus ekonomi masyarakat mulai menggeliat lagi tidak saja petani yang untung, para buruh tani juga kebagian rezeki, yang semula upah buruh tani Rp 20 ribu/hari maka sebagai pemetik buah cengkih dapat memperoleh upah Rp 30 sampai 35 ribu/hari.

Tengkulak Kecil

Tak lupa para pedagangnya juga ikut berlomba untuk meperoleh laba. Bila modalnya besar maka ia akan berperan sebagai pengepul cengkih kering. Sedangkan yang hanya memiliki modal pas-pasan maka mereka biasanya membeli cengkih basah untuk dikeringkan, kemudian setelah kering baru dijual ke pedagang pengepul.

Biasanya mereka memperoleh laba dari selisih harga dan berat dari cengkih basah menjadi cengkih kering. Untuk menghasilkan 1 kg cengkih kering biasanya membutuhkan 3 kg cengkih basah, bahkan bila kualitas cengkihnya bagus 2,7 kg sudah bisa menghasilkan 1 kg cengkih kering.

Tiyuk yang tekun membeli dari petani, mengeringkan dan kemudian menjualnya dalam kondisi kering, mengaku bisa meraup untung Rp 30.000 - Rp 50.000/hari.

”Setiap musim cengkih saya selalu membeli basah untuk saya keringkan. Bila cuacanya cukup bagus, panasnya dari pagi sampai sore tiga hari cengkih sudah siap dijual, sehingga ngirit tenaga dan kualitas cengkih jadi bagus hingga untungnya cukup lumayan. Bahkan untuk memperoleh untung yang banyak sebenarnya tinggal berapa modal kita dan seberapa banyak kemampuan untuk mengeringkan,” tutur Tiyuk.

Daun Kering

Selain itu cengkih ternyata tidak hanya bunganya saja yang laku dijual. Daunnya yang sudah keringpun laku untuk dijual dengan harga Rp 800 sampai Rp 1000 perkilonya. Daun kering ini disuling untuk diambil minyaknya sebagai bahan baku obat-obatan.

Biarpun panennya setahun sekali bunga cengkih bisa menyejahterakan ekonomi petaninya. Hal ini terlihat dimasyarakatnya, setiap panen tiba mereka tidak lagi binggung untuk biaya sekolah anak-anaknya, bahkan ada yang seperti berlomba membangun dan memperbaiki rumahnya dan banyak juga yang membeli kendaraan, terutama roda dua.

Tapi, yang jelas geliat ekonomi ini sangat kentara bila panen raya tiba, pasar-pasar, toko-toko selalu dijubeli pembeli.[pur]

Selasa, 17 Agustus 2010

Megengan

Tradisi genduren (saka tembung kenduri +an-kenduren-genduren) megengan, utawa biasane disebut wae megengan, ngono, isih lumaku nganti tekan saiki ing Dhusun Nglaran. Ya wis kaya mengkono kuwi sebutane, mbuh kepriye larah-larah etimologine. Sangretiku sing kerep kocap kuwi tembung ’megeng napas’, tegese nahan utawa mekak ambegan. Mbokmanawa, megengan kuwi secara psikologis dianggep kayadene ngerem ndadak kebat-kemrungsunge urip padinan merga mapag dina kawitan ing wulan Pasa utawa mapag dina Riyaya. Megengan padatane uga ditindakake kanggo mapag dina Riaya utawa dina Idul Fitri. Dhek jaman cilikanku, genduren megengan kuwi ajeg dikembul wong samason. Mason iku kukuban warga nunggal sumber/belik kang diangsu. Ana kang samason mung dumadi 5 somah, ana kang nganti puluhan utawa las-lasan somah/kulawarga. Kulawargaku kang dhek semana isih dadi siji karombah buyut, melu mason Kali Poko, kang anggotane kepetung akeh, nganti 11 somah. Mangka yen genduren megengan iku biasane digelar gentenan ing saben omah. Beda karo genduren Muludan kang saben somah nggawa ambenge menyang omahe jurukunci mason banjur dikajatake lan dikembul bareng ing kono.

Bisa dibayangke, genduren bergilir kang dilekasi jam lima utawa jam 6 kuwi bisa nganti tekan jam 10. Lha yen ing saben omah mangan telung pulukan wae wis kari ngepingke sewelas, dadi 33 pulukan. Pokoke angger rampung acara genduren ing 11 omah kuwi ajeg kewaregen. Lha, olehe salat tarweh? Dhek aku isih cilik kuwi, sadhusun kira-kira ora genep wong lima kang nindakake salat tarweh jamaah ing masjid. Lha, wong sing nindakake salat wajib wae ya isih siji-loro.

Mason Kali Poko kuwi jurukuncine Mbah Wiryosari (saiki wus suwargi), nglintir saka wong tuwane. Mula angger ana genduren ajeg Mbah Wir kang ngajatake utawa ngujupake ambengane. Olehe ngajatake nganggo basa karma. Mung kala-kala digenteni Mbah Poidjan (saiki uga wis suwargi) kang dhek nalika semana saben dinane makarya kadidene kuli ratan.

Sawise dikajatake, sadurunge ambeng dipurak, luwih dhisik didongani. Dongane nganggo basa Arab, donga slamet lan donga kubur. Awit, sajake kang luwih baku ing genduren megengan kuwi kirim donga kanggo kang wis padha sumare. Kang kajibah ndongani, biasane Kek Giran utawa Lik Redi.

Kajatan iku satemene uga ngemu donga, upamane, ’’Awit dipunmule lan dipun metri, panuwune slamet wilujenga wiwit dinten niki ngantos sakpengajenge sampun wonten godha rencanane kantuna manggih seger kuwarasan lan sekeca anggenipun pados sandhang tedha, sedaya mawon dipun seseni kabul.’’ Angger olehe ngajatake wis tekan tembung "kabul" ngono kuwi banjur kang padha ngepung melu nyahuti bebarengan, "Kabuuuuuulllllllllllllllll.............'' Kuwi biyen. Saiki, sajake olehe nyauti kajatan kuwi wis ganti tembung, ''Amiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnn........" Biyen ya kala-kala ana sing muni, "Amin," ngono, nanging isih kerep lan luwih akeh kang muni, "Kabuuuuuuullllllll." Ewadene, tembung "amin" kuwi jane wis kelet karo tradhisi genduren dhek jaman cilikanku, nganti "genduren" kuwi uga disebut "amin-amin".

Pandonga sajroning kajatan iku diandharake sawise ngarani perangane ambengan, upamane, takir, metri, mule, buceng lan sapiturute, lan njlentrehake apa maknane siji lan sijine. Upamane, ’’Dipunwontenaken mule-metri (wujude sega dikemongi diwadhahi piring, ganep lan lawuhe srondeng karo irisan endhog dadar utawa iwak pitik, wedhus, sapi..) menika perlu ngariayani anggenipun nglampahi siyam…’’ (ngono ing genduren megengan mapag bada utawa genduren maleman).

Genduren maleman iku, ing kukuban Mason Kali Poko biyen dianakake kaping telu sajrone wulan Pasa, yakuwi ing malem tanggal 21, malem 27, lan malem 29). Bedane, yen genduren maleman ambengan saka saben somah digawa menyang omahe jurukunci mason saperlu dikajatake lan dipurak bebarengan. Mbokmanawa kanggo ngentheng-enthengake, genduren maleman kuwi didum amrih ora saben somah nyepakake ambengan kaping telu. Upamane, kelompok lor kalen bageyan malem selikur, kelompok tengah malem 27, lan pomahan iring kidul sing melem 29.

Sadurunge genduren megengan digelar, bageyan domestik utawa kang nyambutgawe neng omah pawon, ora mung nyepakake ambengan kanggo genduren, nanging uga nyepakake sajen. Wernane sajen ya: sega (kayadene mule), kolak, wedang (kopi), rokok, lan sapiturute. Ujube, sajen kuwi kanggo arwahe kang wus padha sumare. Lha mengko angger olehe genduren rampung, sing duwe omah biasane njur nyang amben tengah lan ngetokake sajen sing wujud kolak utawa wedang saperlu disuguhake sing padha ngepung ambeng utawa peserta genduren.

Senajan tradisi genduren megengan isih lestari nganti saiki, pakulinan nyepakake sajen kuwi sajake wis ilang babarpisan.

Ing dina megengan, sadurunge bengine digelar genduren, wong-wong biasane padha nyekar menyang kuburan. Diarani nyekar, merga iku satemene acara sawur kembang ing kuburan, lan ndongakake amrih para ahli kubur, mligine anggota kulawarga kang wus katimbalan luwih dhisik, amrih nemu kamulyan ing kanane. [Bonari Nabonenar]

Rabu, 11 Agustus 2010

Warni: Semangat Pantang Menyerah!

Di kota-kota di Indonesia, banyak kita jumpai orang yang seharusnya masih bisa melakukan banyak hal justru memilih mengantungkan belas-kasihan orang lain dengan meminta-minta. Pemandangan demikian akan sangat kontras dengan sosok Warni, seorang warga kampung yang benar-benar pantang menyerah! Adalah Warni(45) warga RT 29/15 Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Sejak kecil ia sudah mengalami kebutaan total. Namun, Warni kecil kala itu tidak merasa minder untuk bermain dengan teman-teman sebayanya, biarpun ia merupakan satu-satu anak yang tidak dapat melihat.

Teman temannya pun tidak ada yang pernah mengejek atau mengucilkannya. Bahkan warni ketika masih anak-anak setiap malam cukup rajin pergi belajar ngaji ke Masjid yang jarak dari rumahnya sekitar 1kilometer.

Biarpun cacat warni memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya yaitu daya ingatnya yang tergolong tajam, sehingga dalam hal mengaji ia lebih dulu hafal dan lancar dibanding teman-temannya.

Kelebihan lain yang dimiliki warni adalah semangatnya yang melebihi orang kebanyakan. Ini tidak pernah surut mulai dari kecil sampai sekarang. Seperti halnya laki-laki lainnya Warni pun punya angan-angan untuk bisa hidup berumah tangga.

Adapun wanita yang menjadi pilihan dan bisa menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri warni adalah Menik, janda beranak satu dan masih terhitung tetangga sendiri yang dinikahi 32 tahun yang lalu. Dari pernikahannya itu mereka mendapatkan dua orang anak yang semua telah berumah tangga sendiri.

Setelah menikah Warni sebagai keluarga petani, dan sebagai kepala keluarga mau tidak mau ia juga harus terjun untuik bercocok tanam untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Ternyata kelebihan yang dimiliki, biarpun tidak dapat melihat tetapi kegiatan apa saja yang dilakukan orang normal ia bisa melakukannya. Mulai menggarap lahan pertaniaan sampai penanaman dan pemanenan ia bisa melakukan sendiri, dan hasilnya tidak kalah dengan orang-orang yang bisa melihat dengan normal.

Bila di lingkungan ada kegiatan iapun tidak pernah ketinggalan turut serta, bahkan ia termasuk penabuh gamelan yang cukup trampil. Banyak gending Jawa dikuasainya dengan hanya mengandalkan daya ingatnya yang cukup tajam.

Ketrampilan lain yang dimiliki adalah sebagai tukang pijat, pelanggannya biasanya masih dalam lingkup satu desa saja. Sebenarnya warni pernah mendapatkan pelatihan sebagai tukang pijat yang dilakukan oleh dinas sosial, bahkan selesai pelatihan ia mendapatkan sebuah dipan dari dinas sosial tersebut.

Hal lain yang dilakukan warni untuk menyambung ekonomi keluarganya. Bahkan, sampai ia bisa menyekolahkan kedua anaknya sampai tamat SMA, adalah dengan jualan rokok dan jajanan bila ada orang yang mempunyai hajatan, sementara itu istrinya melakukan kegiatan sebagai buruh tani.

Saat ini warni dirumah hanya tinggal bersama istri dan anak tirinya yang juga memiliki penyakit epilefsi, sementara kedua anaknya sudah berumah tangga sendiri, yang satu di Jakarta sebagai pekerja pabrik yang perempuan mengikuti suaminya bekerja sebagai nelayan.

Istri Sakit-sakitan

Sementara itu istrinya saat ini sakit-sakitan dan sudah tidak bisa bekerja lagi, makanya tinggal warni sendiri yang berusaha banting tulang untuk makan sehari-hari. Tapi hal tersebut tidak menjadikan semangat hidupnya surut.

’’Orang hidup macam saya ini apalagi yang meu dikejar? Yang penting tiap hari bisa makan, itu sudah Alhamdulillah. Anak-anak juga sudah mentas semua. Kalau sekarang istriku lagi tak kuat bekerja, ya biar semampu saya bekerja. Dapat hasil sedikit disyukuri, banyak ya semakin alhamdulillah,’’ tutur Warni dalam bahasa Jawa, diiringi tawanya yang lepas.

’’Satu hal lagi, jangan sampai terlalu merepotkan tetangga. Maka, sedapat mungkin seperti bikin meja, kursi, walaupun asal jadi ya semua kukerjakan sendiri. Juga radio sebagai sarana hiburanku ini, dulu ini pemberian orang. Aku terima dalam keadaan rusak. Ya, saya utak-atik ternyata bisa bunyi. Walau harus menanggung risiko, hidungku kena soder yang sedang membara. Waktu menyoder itu, aku kan menandai apakah soder sudah cukup panas atau belum kan dengan mengetahui baunya,’’ kenangnya.

Saat ini Warni baru giat-giatnya mempersiapkan lahan pertaniannya yang sebetulnya tidak begitu luas untuk persiapan musim tanam yang akan datang karena saat ini hanya itulah satu-satunya sumber ekonominya.

Menurut penuturannya biasanya yang ditanam pada lahannya ada beberapa jenis yaitu yang pokok ketela, kemudian ada jagung, kacang dan sayur. Selain sudah ada beberapa batang pohon cengkeh dan kopi yang dijadikan penghasilan tahunannya.[pur]


Selasa, 10 Agustus 2010

Lungursanten: 1975

Saelingku, mangsa paceklik paling mbedeking kuwi taune 1972. Nalika semana, aku isih kelas loro sekolah dhasar (SD). Nanging, nganti aku lulus SD. Yen sampeyan takon marang wong-wong Desa Cakul kang menangi jaman mbedeking kuwi, angka 1972 kuwi mesthi akeh kang eling. Satemene kang aran paceklik mono saemper ambah-ambah, ora mung dumadi taun 1972. Nganti taun 1976 (iku wektu nalika aku lulus SD lan kudu ngenger ing kecamatan seje amrih bisa nerusake sekolahku menyang SMP) aku menangi pirang-pirang ungsum paceklik. Titikane, angger wis ana rerasanane tangga manawa ana saperangan kang kerep kentekan gebing (gaplek) njuk mung njenang tela, sayure godhong tela, sok paribasane mung diuyahi, kaya ngono kuwi yen ambah-ambah paceklik nrajang.

Satemene ora nganti nemen kaya dek Jaman Jepang --miturut critane simbah-- nganti bonggol gedhang ya dipangan. Oh, iya, manut ujare crita, yen mundur rada adoh, saka 1972, taun kang paling mbedeking paceklike iku 1918. Lah, prekara paceklik iki kok becike dicritakke meneh mangko ya? Lha, wis 159 tembung kok durung nyrempet Lungursanten kang dirancang kadidene lakone crita iki.

Angka taun 1975 iku isih kena dianyang kok. Tegese aku ora bisa njamin apa kuwi pas tenan. Pokoke sakiwatengene taun iku, sing cetha aku isih dadi tukang ngarit lan sinau ing sekolah dhasar. Saben dina sabaku alas, ndilalah mangsa paceklik, ana wuluwetune alas kang maune kaya ora pati digatekake, dumadakan dadi lakon: uwi. Neng alas, klebu neng Lungursanten iku akeh uwi. Merga kentekan tela lan palapendhem liyane ing pekarangan, alas dadi jujugan.

Manekawarna uwi ana ing alas, ana uwi kontholbantheng, uwi lus, lan uga ana gembili. Uwi kontholgantheng kuwi bisa gedhe, brongkalan, tur mapane isine ora pati jeru. Gampang le ndhudhah. Beda maneh uwi lus, iku saben uwit mung isi siji, ndlujur nunjem bumi. Gedhe cilike isine bisa katitik saka uwite. Yen nemu sing uwite sing mrambat kuwi gedhene sarokok ngono wae wong senenge ora jamak, jalaran isine uwi lus iku merit ing ndhuwur lan sangsaya mengisor sangsaya gedhe. Dene gembili, iku kondhang paling enak rasane, nanging le ngerah ya paling angel merga uwite rinengga marung (eri).


Saben dina ana wong tegalan (=golek menyang alas) uwi. Mula alas saelore padhukuhanku, kuwi, klebu ing Lungursanten, banjur dadi kebak jlondhangan, juglangan, tilase wong ndhudhuk uwi. Kadidene tukang ngarit kang kulina nunggangi grumbul utawa blusukan ing sangisore, kahanan iku ora nyenengake, merga yen ana blahine sawayah-wayah bisa kecemplung juglangan. Mbareng saiki kenal GoogleEarth, njuk dadi mbayangke, kepriye ya rupane Lungursanten (1975) nalika kebak juglangan kuwi yen disawang saka antariksa?

Lungursanten kuwi perangane alas ing lor padhukuhanku. Saka omahku (omahe wong tuwaku) udakara 4 utawa 5 km. Mung dhek nalika semana dalane isih dalan setapak.

Ambane ora nganti atusan hektar. Kira-kira ya sepuluhan hektar, utawa malah kurang, nggligir saka sangisore Lemah Abang (saka arah Gunung Bogang). Pereng sisih tengen anjog nyang Jurug, sisih kiwa ana kalen kang ing nggir kanane iku ana perangane alas kang katelah Rata-rata. Nggir kanane Rata-rata ana padhukuhan Banaran, kalebu Desa Sawahan kang wus kebawah Kecamatan Panggul. Lha yen terus bablas anjog mengalor, mengko bakal tekan tempuran Kali Ulik, kang nampani banyu saka arah Kecamatan Pule sisih Kidul lan saka saperangan Kecamatan Dongko.

Senajan saiki kahanane wis kaya pekarangan, merga wis dikapling-kapling dening warga kang diembani LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), Lungursanten dhek jaman cilikanku biyen wujud alas tropis kanthi manekawarna wit-witan, thethukulan, lan sato kewan. Ana wit jati, weru, mauni (mahoni), pule, bendho, tangkil, lan liya-liyane. Jare simbah, dhek aku durung lair alas Lungursanten kuwi wis tau dibukak. Lah, bukakan alas dhek jaman semana kuwi mung kanggo sawatara taun, ora kaya program LMDH saiki kuwi sing sajake ora diwatesi embuh nganrti kapane. Kewan khas Lungursanten, sing ora tinemu ing alas kidul (sakidule padhukuhanku) yakuwi lutung. Yen kethek iku neng Jurug ya ana, lan sing jan akeh tenan nganti dadi kaya kratone kethek, iku alas kidul. Si kethek ing alas kidul sajake durung cures nganti saiki. Nanging, lutung ing Lungursanten wis cures babarpisan.

Mbokmanawa bakal luwih akeh maneh kang ing tembene mung kari dongenge. [Bonari Nabonenar]

Kamis, 05 Agustus 2010

LMDH = Lembaga Masyarakat Desa (BUKAN) Hutan

Setiap kali pulang kampung (Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek), setiap kali pula perasaan saya dibetot pemandangan: alas atau hutan yang kini telah berubah menjadi ladang. Ini bukan soal mengkampanyekan kesadaran terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Itu soal lain. Ini persoalan yang sangat atau mungkin terlalu pribadi.

Saya menghabiskan masa kecil di desa itu, dibesarkan bersama-sama oleh keluarga besar: ayah-ibu, nenek, dan bahkan buyut saya. (Bersyukurlah saya, masih bisa menyaksikan buyut saya menimang anak saya. Itu berarti, anak saya masih sempat ditimang oleh canggah-nya). Buyut saya itulah orang yang paling berjasa mengenalkan saya dengan kehidupan rimba, hutan. Saya sebut begitu, karena ketika saya kecil, hutan di sekeliling desa saya yang kini telah berubah jadi ladang itu adalah hutan tropis dengan aneka tumbuhan dan binatangnya. Binatang yang paling popular ketika itu adalah celeng alias babi hutan. (Nanti akan ada cerita tersendiri mengenai babi hutan ini.) Karena itulah, ketika kini hutan jadi ladang, saya merasa kehilangan sebagian dari masa kecil saya.

Sejak kelas 1 SD saya sudah belajar ngarit, mencari rumput dan dedaunan untuk pakan kambing. Begitu kelas 3 SD saya sudah ngarit bukan sekadar belajar, tetapi bekerja. Dan di kelas 4 atau 5, sepuluh ekor kambing sudah menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Apakah masih ada anak sekarang seperti saya waktu itu? Atau jika pertanyaannya boleh sedikit di ubah, di manakah kini kira-kira seorang bocah kelas 4 SD mengalami seperti yang saya alami sekitar 35 tahun lalu?

Karena waktu dan tempatnya, dengan beban seperti itu saya tak pernah merasa tersiksa. Saya menikmati pekerjaan itu, karena bekerja (ngarit) dan bermain seolah melebur sedemikian indahnya. Di desa, tidak ada anak gedongan. Tidak ada anak manja, yang bebas dari pekerjaan membantu orangtua. Dan Komisi Perlindungan Anak saya kira juga tidak perlu risau dengan cerita saya ini.

Sebelum menamatkan SD dan harus ngenger di ibukota kecamatan yang berjarak 10 km dari rumah sendiri, saya merasa sudah mengenali setiap jengkal hutan di sekeliling desa saya itu. Di mana ada pohon kemaduh (yang sangat ditakuti karena gatalnya), di mana tumbuh rawe yang juga ditakuti karena gatalnya, terutama saat musim berebunga, di mana ada kedung yang bisa disinggahi untuk mandi dan bersukaria, di mana biasanya orang memasang jebakan dan welah (bambu runcing) untuk menangkap celeng, kami, anak-anak desa tahu semuanya.

Kini, hutan seperti yang saya kenali, yang saya jelajahi setiap hari di masa kanak-kanak itu sudah tidak ada lagi, telah menjadi ladang dengan tanaman singkong, nilam, cengkih, dan di beberapa tempat ditanami pinus. Para warga desa masih menyebutnya, ’’alas’’ (hutan), tetapi itu hanya tinggal namanya saja. Bahkan, atas prakarsa Perhutani dibentuklah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yang, menurut saya sebetulnya lebih tepatnya adalah ’’Lembaga Masyarakat Desa Bukan Hutan”. [b]

Jumat, 14 Mei 2010

Catatan Malam di Kota Bukit Kapur

Puisi: DIAH HADANING


pepohonan di tanah kapur
melatar depan rembulan 14
mekar dalam diam di celah dahan
menatapnya tak kata tak sentuh
alam simpan panorama utuh


dan orang-orang saling bncang
dan orang-rang rindu ruwatan
nama-nama jadi kalung merjan
menghias langit Cakul
Trenggalek bersolek
menyatu pentas wayang
menyatu tari Nusantara
menyatu macapatan Nursinggih
menyatu gurit anak Ki Suto Kluthuk

mencari apa lagi di tempat sunyi
pada gurat 69 angka diri
lupakan sejenak arus demo di kota raya
kota tanah kapur tengah pentaskan lakonnya
dalam berkah Gusti begitu nyata

Trenggalek, Agustus 2009

Sumber: Buku Puisi Perempuan yang Mencari, karya Diah Hadaning (Yayasan JAPEK & PUSTAKA YASHIBA, 2010)

Foto: Nia Samsihono

[Diah Hadaning sedang menerima ucapan selamat dari Bonari Nabonenar, yang diberi kesempatan membacakan puisi di atas pada hari peluncuran bukunya di Jakarta, 7 Mei 2010]

Selasa, 27 April 2010

Menjadi Hantu yang Baik

Menjadi ghostwriter juga dijalani Bonari Nabonenar. Penulis yang juga jurnalis itu mengatakan, tidak ada yang salah dengan menjadi ghostwriter. Tidak ada yang dirugikan dan sama-sama menguntungkan.

Hanya, Bonari mengatakan, dirinya melakukan sejumlah pembatasan-pembatasan terhadap ghostwriting. ”Yang pertama, saya tidak akan mau bila itu untuk keperluan akademis. Seperti skripsi, tesis, ataupun disertasi. Itu pantangan saya,” urainya.

Yang kedua, dia tidak mau melakukan ghostwriting dengan data-data palsu. ”Sebab, itu berarti saya membohongi publik,” ujar pria yang juga aktif dalam pembelaan hak-hak TKW di Hongkong tersebut. Dua hal ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar olehnya.

”Maka, itulah yang membedakan saya dengan ghostwriter lain. Saya adalah ghostwriter baik yang punya prinsip, hahaha,” katanya kemudian tertawa. Menurut dia, jasa pembuatan skripsi dan sebagainya itu merupakan sebuah bentuk ghostwriter yang jahat. ”Karena itu betul-betul penipuan,” tambahnya.

Bapak satu anak itu berpendapat bahwa ghostwriter sebagai sebuah pekerjaan tidak bisa diharapkan. ”Sebagai pekerjaan, tidak bisa dijagakke,” urai Bonari. Menurut dia, penting bagi seorang ghostwriter untuk menjadi baik karena bila dibiarkan tak terkendali, mereka akan merusak dunia tulis-menulis secara keseluruhan.

Karirnya di dunia ghostwriting dimulai pada 2000. Dia mau ketika ditawari salah seorang tokoh Jawa untuk menarasikan tiga naskah ludruk. ”Per naskahnya Rp 400 ribu. Jadi, bila tiga naskah setebal 100 halaman, honornya Rp 1,2 juta,” tambahnya. Dia mau mengerjakannya karena memang kepepet uang. ”Saya tak ambil pusing. Pokoknya, saya kerjakan secepatnya. Saya serahkan dan kemudian dapat uang. Habis perkara,” tambahnya.

Bonari kemudian seperti berjalan dengan dua kaki. Satu proyek murni buku dan lainnya ya itu tadi, melakukan ghostwriting. Yang paling sering dan melegakan dia adalah pada 2008. Ketika itu, dia mendapat job melakukan ghostwriting untuk seorang petinggi di Jawa Timur. Tugasnya adalah membuat opini di sejumlah surat kabar.

Bonari tak bekerja setengah-setengah. Dia mengikuti perjalanan tokoh tersebut ke sejumlah daerah. Memperhatikan caranya berkomunikasi, menghafalkan diksi tokoh tersebut, mengolah data, dan baru kemudian menuliskannya. ”Bagaimanapun, jangan pernah setengah-setengah untuk melakukan ghostwriting,” tuturnya. Seorang penulis bayangan yang berhasil, bagi Bonari, adalah penulis yang berhasil membuat tulisan begitu mirip dengan tokoh tersebut. ”Detail-detail kecil seperti celetukan khas atau gaya omong sedapat mungkin dimasukkan,” imbuhnya.


Sumber: Jawa Pos, 28 Februari 2010 (dengan digunting sedikit)

Minggu, 18 April 2010

Saatnya Rakyat Memberikan Contoh

Marilah terlebih dahulu kita sepakat bahwa memberikan contoh atau teladan adalah lebih baik daripada menyeru dengan kata-kata. Bisa jadi memang, ada saatnya kata-kata bisa cukup ampuh. Tetapi, kini udara kita sudah dipenuhi busa kata-kata. Disebut busa karena banyak yang kemudian kita ketahui hanya omong kosong belaka. Mereka yang kita sanjung-sanjung kepandaiannya pun tak malu-malu memanipulasi kata-kata. Bahkan, memertontonkan pokrol bambu di tempat-tempat terhormat.

Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa rakyat? Rakyat yang mana pula? Terus terang, tulisan ini sengaja dibuat dalam momentum menjelang pilkada. Selain Kota Surabaya, beberapa kabupaten/kota di Jatim kini tengah sibuk mempersiapkan pesta demokrasi yang popular dengan sebutan pilkadal itu. Maka, anggap saja bahwa semua yang berhak menggunakan hak pilihnya nanti adalah rakyat.

Beberapa waktu lalu saya menulis di dinding Facebook saya begini, ’’Manusia Indonesia itu ada tiga: [1] mendapatkan kompor gas ratusan ribu harganya, [2] mendapatkan komputer Rp 15 jutaan, dan [3] mendapatkan mobil seharga Rp 1,3 milyar. Hore, saya manusia Indonesia nomor satu!’’

Para pejabat kita yang ada di Jakarta sana tampaknya memang tengah kemaruk-kemaruk-nya pamer: pokrol bambu dan keserakahan. Untuk mengetahui betapa trampilnya pejabat kita memanipulasi kata-kata, melebihi kawan-kawan saya yang penyair, kita hanya perlu nonton televisi. Mengenai keserakahan mereka, ingatlah, beberapa hari setelah diberi mobil mewah harga Rp 1,3 milyar/unit/orang, ramai pula berita mengenai rencana kenaikan gaji mereka.

"Gaji saya nggak masalah mau naik mau turun. Tapi kalau kita lihat komparatif dengan beban tugas atau dengan direktur perusahaan swasta itu jauh,’’ kata Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi seperti dikutip detik.com.

Coba, kalau rakyat yang beralasan seperti itu mesti pejabat akan segera menyergap, ’’Siapa suruh kau jadi pejabat? Jadilah direktur swasta!’’ Apakah mereka tidak pernah risau dengan jutaan rakyat yang menganggur, dan jutaan lainnya bekerja sangat keras tetapi hanya dapat gaji senilai sekali makan mereka? Bayangkanlah, ada manusia Indonesia yang ongkos sekali makannya bisa setara dengan (atau jangan-jangan malah lebih dari) nilai gaji sebulan seorang pekerja sangat keras? Artinya, ongkos sekali makan untuk satu orang kira-kira setara dengan ongkos hidup sekeluarga pekerja sangat keras itu? Begitu, kan, nalarnya?

Agak mundur lagi, rakyat juga sempat di-elus-elus dengan kata-kata ’’pendidikan gratis.’’ Ketika kemudian terbukti tidak gratis, pejabat pun berkilah, lha itu kan bahasa iklan. Pengertian gratis menurut pejabat, ternyata berbeda dengan yang dipahami rakyat. Nah, lalu kemakmuran dan kesejahteraan hidup macam apa yang dapat diangankan oleh segenap warga negara ini kalau pejabat dengan rakyatnya sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik seperti itu?

Apa hubungannya semua itu dengan pilkadal? Jika Anda bertanya begitu, mohon dijawab pertanyaan ini: Apakah pejabat dari jenis yang kemaruk harta dan hanya pinter bermain kata-kata yang kita inginkan menjadi pemimpin di wilayah kita? Saya pastikan, jawaban Anda: ’’Bukan!’’

Kita menginginkan pejabat yang amanah, jujur, cakap, tidak korup, lengkap dengan sifat-sifat yang baik lainnya. Jika Anda setuju demikian, marilah sekarang kita memarahi diri kita. Anggap ini sebagai ritual, sebagai lelaku, untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar kewahyon, dan bukan pemimpin karbitan.

Anda juga boleh segera memarahi saya, karena saya akan mengatakan bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya mengharapkan atau bahkan menuntut segala macam kebaikan dari pejabat-pejabat dan pemimpin kita, sedangkan kita sendiri dari awal prosesnya sudah tidak jujur. Kalau saya memakai istilah ’kita’ maka pengertiannya adalah rakyat sebagai kesatuan. Sehingga, setitik keburukan akan memberikan alasan untuk mengatakan bahwa kita buruk.

Ternyata si serakah itu bukan hanya para pejabat. Rakyat pun selama ini suka aji mumpung. Mumpung musim pilkadal, mumpung ada yang bisa dipalak, maka beramai-ramailah rakyat memalak para calon pemimpinnya. Urusan palak memalak inilah yang kemudian menggelinding sebagai money politic alias politik dhuwit.

Kita, rakyat, bukanlah kumpulan orang-orang bodoh. Tetapi, marilah kita berjamaah mengakui bahwa selama ini kita selalu silau dengan baliho, dengan umbul-umbul, dan gambar-gambar yang ditempel di pepohonan pinggir jalan itu. Bahkan, kita tidak ragu-ragu meminta sejumlah uang untuk memastikan siapa calon yang kita pilih. Kita menjual suara kita secara eceran dan kemudian menjualnya lagi dalam kemasan kelompok (per RT, per Dusun, per Desa, dan seterusnya). Bahkan, tentunya ada pula di antara kita masih tega menjual suara kepada lebih dari seorang calon.

Selain cara penjualan dengan uang kontan yang bisa dibagikan kepada setiap pemilih, ada lagi kemasan (suara) kelompok yang harganya dipatok dengan aspal seruas jalan atau sebuah jembatan.

Kita masih ingat bukan, dalam Pileg yang lalu, banyak berita tentang penarikan kembali semen, bahkan juga karpet musala oleh caleg yang gagal. Itu bukti cetha wela-wela bahwa praktik jual beli suara bukanlah isapan jempol, bukan? Dan hanya berselang bulan, kita berteriak-teriak bahwa wakil kita nggak mutu, ternyata lebih mewakili partai ketimbang konstituennya. Sebentar-sebentar kita juga turun ke jalan, mengolok-olok, bahkan menghujat para pejabat kita, seperti bagian awal tulisan ini.

Nah! Sekarang ketahuan. Agaknya kita benar-benar keblinger kalau kemudian mengolok-olok atau menghujat para pejabat. Lha wong kita bisa lebih runyam dibandingkan mereka kok, andaikata kita punya kesempatan! Dan lagi, bukankah kita sudah menjual suara kita? Maka, kalau kita mau disebut konsekuen, kita mestinya mengakui bahwa kita tidak lagi punya wakil di lembaga bernama Dewan Perwakilan Rakyat itu. Kita telah menjualnya seharga lima belas atau dua puluh ribu rupiah! Sesungguhnya kita sudah tidak lagi punya hak untuk menuntut, bahkan untuk didengar suara kita.

Jika kita menghendaki pejabat yang mau memerhatikan rakyatnya, pemimnpin yang mengayomi, yang amanah, cakap dan tidak korup, ya marilah bersama-sama memantang uang lima belas atau dua puluh ribu itu. Dan kita punya hak untuk berteriak atau bahkan melabrak jika kelak terbukti mereka serong. Soal pembangunan jalan atau jembatan, dan bahkan melindungi segenap warga negara dari segala macam mara bahaya, termasuk bahaya kelaparan, kemiskinan, maupun kebodohan, itulah tugas negara yang mesti dijalankan oleh pemerintah melalui tangan-tangan pejabat serta pemimpin kita. Pejabat dan pemimpin yang hanya kita titipi ’suara’ kita, bukannya yang telah membelinya dari kita.

Memberikan contoh yang baik kepada para pejabat dan pemimpin kita, mau? Sekarang inilah saatnya! [bonarine@yahoo.com]

Kamis, 08 April 2010

Elitisme Sastra Jawa

Oleh Beni Setia

Temuan tersirat dari Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 di Nglaran, Cakul, Trenggalek, adalah fenomena kuatnya ego kreatif sastrawan Jawa modern. Para kreator beranggapan problem sastra Jawa itu penciptaan dengan masalah eksplorasi dan eksploitasi tema dan bentuk ungkap di satu sisi serta mengekalkan teks ciptaan dalam ujud buku di sisi lain.


Terjebak di dunia sempit yang hanya berparameter kreativitas. Sistem nilai yang hanya menuntut sastrawan untuk mencipta dan mencipta lagi dan akan mencipta apa lagi, seperti dituntut Iwan Simatupang. Yang mendorong Saini KM mengatakan bahwa bila sudah tidak kreatif lagi, sebaiknya cari profesi nonsastra, misalnya jadi bakul roti. Sesuatu yang menyebabkan Budi Darma menghalalkan pembunuhan karakter bagi sastrawan yang tak lagi mencipta, yang dianggap bekas sastrawan yang tinggal di museum.

Di tengah terbatasnya rubrik sastra di media berbahasa Jawa, di tengah kondisi naskah harus mengantre panjang sebelum bisa dipublikasikan, dan di tengah minimnya naskah berkualitas yang menyebabkan si redaktur bimbang membedakan naskah sastra dan panglipur wuyung sehingga masyarakat toleran pada kualitas karya yang ada: lahir tuntutan untuk mengekalkan diri sebagai si kreator. Obsesi sastrawan Jawa itu--tanpa membedakan produktivitas dari kreativitas--harus menerbitkan buku sebagai bukti tertulis dari kreativitas dan kesastrawanan.

Tak peduli-mengutip Budi Darma-hanya buku, kreativitas, dan kesastrawanan di museum. Bahkan, lebih dari sekadar sinisme kepada pudarnya kreativitas, mungkin juga hanya kitsch yang tidak berhak menempati rak museum sastra. Dan di luar ikhwal kualitas sastra, bahkan tidak adanya terobosan pencarian alternatif estetika lewat satu usaha eksperimentasi yang orisinal, tuntutan akan sastra harus tertulis, dipublikasikan secara tertulis di media massa cetak berbasa Jawa, dan kemudian dikekalkan sebagai buku sastra Jawa-atau sekadar panglipur wuyung-terasa sangat kuat.

Bagi mereka, sastra modern itu harus tertulis dan diapresiasi dalam satu kegiatan membaca yang serius dan khusus. Penghargaan pada sastra modern dengan membeli dan mengoleksi buku. Buku itu merupakan puncak karier kesastrawanan, seperti yang terbukti oleh transkripsi 10 cerita rakyat lisan Jawa ke dalam wujud buku sebagai hasil proyek PPSJS dan Gramedia. Dan almarhum RM Yunani Prawiranegara bilang pergelaran wayang bukan teks sastra yang dipergelarkan, tapi mutlak pergelaran. Tanpa melihat fenomena pergelaran yang bermula dari teks cerita tertulis atau teks lisan warisan dari ki dalang sebelumnya atau dikreasi sendiri oleh dalang bersangkutan.

Puisi Rendra

Sastra tak mungkin tampil lisan dengan kolaborasi dengan karawitan. Sastra itu tertulis, yakni buku. Tak dikenal adanya fenomena audiobook yang berupa rekaman audio atas pelisanan teks karya sastra oleh aktor atau oleh si sastrawannya sendiri. Padahal, rekaman kaset dan kemudian CD pembacaan puisi Rendra itu tetap mutlak dianggap publikasi sastra dan ini sejajar dengan rekaman macapat dari fragmen teks tertentu di album klenengan yang tidak dianggap kegiatan rengeng-rengeng dan tetap publikasi sastra. Gejala umum dari publikasi sastra nontertulis yang lupa dimaknai.

Dengan kata lain, sastra bukan sekadar masalah kreator mencipta secara tertulis, kreator memublikasikannya di media massa cetak, dan kemudian mengekalkannya dalam wujud buku. Tidak sesempit itu. Tak seegois itu. Ego kreatif yang menyebabkan seorang Ikranagara pernah sampai kepada arogansi "teater tanpa penonton". Sebuah kegenitan mencipta dan mementaskan tanpa peduli pa- da keberadaan penonton yang melahirkan teater tanpa naskah, melulu sinopsis demi wujud bebas happening hasil olah improvisasi aktor yang direspons kolaboratif tata cahaya, musik, dan seterusnya.

Dan sastrawan Jawa yang terfokus pada kreasi dan publikasi cetak nyaris ada di tataran itu. Dalam arogansi: sastra itu teks di majalah atau buku. Berkesastraan itu harfiah menulis agar dipublikasikan tertulis. Setelah itu semua tergantung inisiatif si pembaca. Apresiasi itu mencari bacaan, membeli bacaan, dan membaca hingga kritik hanya bukti tertulis apresiasi ahli. Upaya terobosan menyapa calon apresiator dengan melisankan dan mempergelarkan teks merupakan tindakan berlebih. Lalar gawe.

Jadi kalau sastra Jawa modern kehilangan pembaca itu bukan karena langkanya penerbitan buku dan lemahnya distribusi ke toko buku. Bukan karena itu. Akan tetapi, lebih karena egoisme sastrawan modern Jawa yang serba harus ditulis dan apresiator aktif mencari buku. Padahal, secara tradisional masyarakat Jawa di pedesaan terbiasa mengapresiasi sastra secara lisan. Sejak awal sastra Jawa modern memang ditakdirkan terasing, elitistik, mengasingkan diri.

BENI SETIA Pengarang Tinggal di Caruban, Madiun

Kamis, 8 April 2010 | 15:17 WIB

Rabu, 10 Februari 2010

Hadiah bagi Gerilyawan Sastra

TEMPO Interaktif, Penerbitan buku-buku sastra berbahasa daerah jumlahnya mengalami pasang-surut, paling tidak dalam 10 tahun terakhir. Tapi, Hadiah Sastra Rancage terus bergulir. Tak terasa, 22 tahun sudah penghargaan khusus itu diberikan bagi para penulis, pembuat lagu, juga budayawan daerah.

Inilah bentuk penghormatan dari sastrawan untuk sesama rekannya tatkala pemerintah tak melirik upaya gerilya mereka dalam mempertahankan pemakaian bahasa ibu.

Rancage, dari bahasa Sunda yang berarti kreatif, dirintis oleh sastrawan Ajip Rosidi, 72 tahun, pada 1989. Semula, penghargaan karya sastra modern berbahasa daerah itu hanya diberikan untuk buku-buku berbahasa Sunda. Sejak 1994, hadiah itu juga diberikan untuk sastrawan Jawa, Bali, mulai 1998, dan Lampung pada 2008. Sampai hari ini, penghargaan karya sastra itu masih diberikan untuk empat daerah tersebut. "Daerah lain tidak ada yang menerbitkan buku baru," kata Ajip kepada Tempo akhir pekan lalu.

Selama lima tahun awal, uang hadiah senilai Rp 1 juta kepada setiap pemenang dirogoh dari kocek Ajip sendiri. Uang hadiah semakin besar sejak Yayasan Budaya Rancage berdiri dan donatur bertambah. Kini, Hadiah Sastra Rancage 2010 berupa piagam penghargaan dan uang hadiah masing-masing Rp 5 juta akan diberikan kepada tujuh pemenang. Upacara itu akan dilakukan pada Mei mendatang di Universitas Negeri Yogyakarta.

Tiga juri, yang terdiri atas Ajip Rosidi, Sri Widati Pradopo, dan I Made Darma Putra, memilih pemenang berdasarkan buku sastra berbahasa daerah yang terbit sepanjang 2009. Buku cetak ulang tak masuk hitungan. "Tujuannya untuk mendorong pengarang yang masih hidup untuk terus berkarya," kata Ajip.
Dari 13 buku baru yang terbit di Jawa Barat, juri memilih kumpulan cerita pendek Sanggeus Umur Tunggang Gunung (Setelah Usia Lanjut) karya Usep Romli sebagai karya sastra Sunda terbaik tahun ini. Terbitan Kiblat Buku Utama itu berisi sembilan cerita yang melukiskan beragam masalah pembangunan yang dihadapi orang Sunda di perkampungan.

Tokoh-tokohnya membandingkan keadaan alam, lingkungan, hingga pikiran dan kehidupan sekarang dengan kondisi ketika mereka masih kecil. Tema seperti itu sebenarnya hampir mirip dengan karya-karya Usep sebelumnya. "Tetapi (kini) lebih matang dan inovatif," kata Ketua Dewan Pembina Yayasan Budaya Rancage itu.

Misalnya, pada cerita Neangan Pajaratan (Mencari Makam), yang kisahnya disampaikan oleh orang pertama, Usep tak memakai kata "kuring" (saya). Ajip menilai Usep memaksimalkan sifat bahasa Sunda yang dapat membentuk kalimat tanpa subyek. Juri juga menilai seluruh ceritanya mengalir lancar dan wajar. "Sehingga terciptalah dunia imajinasi yang khas sebagai sastra," ujarnya.

Di ranah sastra Jawa, dominasi sastrawan Jawa Timur masih muncul seperti beberapa tahun terakhir. Menurut juri Sri Widati Pradopo, ada 12 buku sastra baru yang terbit. Isinya berupa guritan (sajak), kumpulan cerita pendek, dan roman. Menariknya, penulis bahasa Jawa itu tak hanya berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi juga ada yang tinggal di Jakarta dan Depok. Hadiah Sastra Jawa akhirnya jatuh ke tangan Sumono Sandi Asmoro.

Penyair dalam buku Layang Panantang terbitan Balai Bahasa Surabaya itu, kata Sri, menunjukkan keberanian memilih dan merambah pengalaman berbagai jiwa dengan teknik ekspresi yang tepat. "Semuanya dengan kesadaran bahwa keindahan harus selaras dengan bobot pikirannya," kata periset di Balai Bahasa Yogyakarta itu.

Sedangkan sastra Bali, walau hanya ada sembilan buku baru, keistimewaannya lebih riuh. Kumpulan puisi Gerip Maurip Ngridip Mekedip karya I Nyoman Manda, misalnya, terdiri atas 3.500 halaman! "Dalam bahasa Bali modern maupun dalam bahasa Indonesia, tidak pernah ada kumpulan sajak seorang penyair yang setebal itu," ujar juri I Made Darma Putra.

Manda selama ini dikenal sebagai pengarang produktif yang menghasilkan sajak, roman, cerita pendek, dan naskah drama. Redaktur dua majalah berbahasa Bali, yaitu Canangsari dan Satua, itu dalam bab III khusus memuat terjemahan karya para penyair Indonesia, mulai Sanusi Pane, Amir Hamzah, hingga Afrizal Malna dan Oka Rukmini ke dalam bahasa Bali.

Peraih hadiah Rancage pada 1998, 2003, dan 2008 itu juga menerjemahkan beberapa karya penyair Jerman, Australia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Adapun karya Manda, lebih dari 2.000 sajak, dicetak di Bab I-II. Temanya beragam dari kenyataan sehari-hari dan hangat di koran, mulai komersialisasi budaya akibat industri pariwisata, korupsi, kampanye pemilu, sinetron, kasus Tukul Arwana, Prita Mulyasari, sampai peristiwa luar negeri.

Namun, juri menilai kualitas puisinya tidak merata. "Ada yang kuat penuh renungan dan sinisme yang tajam, tapi banyak yang mirip catatan pojok koran," kata Made Darma. Baginya, cerita pendek Leak Pemoroan karya I Wayan Sandha dalam kumpulan tujuh cerita pendek berbagai pengarang lebih menonjol. Juri pun memilihnya sebagai penerima hadiah Rancage 2010.

Leak Pemoroan berkisah tentang ketabahan pencari belut menghadapi gangguan setan di malam hari. Dia tidak takut menghadapi manusia jadi-jadian dan menyerangnya sampai mati. Lukisan suasana malam dan perang melawan setan, kata Made Darma, ditulis dengan deskripsi yang kuat. Bahasa yang digunakannya nyeleneh, tapi mampu menggali masalah dan menggambarkan watak tokoh cerita. Sandha dinilai menulis 41 ceritanya dengan narasi dan konflik yang kuat.

Kritik pedas dalam 41 cerita di dalamnya pun terlontar dengan bahasa yang jernih. Dalam cerita Wisian Bank Dunia, ujar Made, pengarang mengkritik pola multi-level marketing sambil menyentil, "Ah, gara-gara Bank Dunia iraga nepukin soroh jelema dot sugih kuala tusing bani ngetélang peluh." (Ah, gara-gara Bank Dunia aku menemukan kelompok manusia yang ingin kaya tapi tidak berani meneteskan peluh). "Pemakaian perumpamaan atau kiasan juga tepat sehingga membuat sketsa kehidupan ini memiliki aroma sastra yang kental," kata Made Darma.

Kumpulan cerita pendek pula yang mengantar sastrawan Lampung Asarpin Aslami untuk meraih Hadiah Sastra Rancage 2010. Karyanya dalam Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong itu menyisihkan pesaing tunggalnya, yaitu buku kumpulan 57 sajak bertajuk Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya. Juri menilai seluruh sajak mahasiswa jurusan fisika di Universitas Lampung itu masih mentah. Peristiwa sehari-hari yang dituangkan lewat kata-kata sederhana dinilai tak mampu merangsang pembaca untuk merasakan hal yang sebenarnya.

Cerita-cerita dari Bandar Negeri Semuong, yang memuat 17 cerita pendek, menuturkan berbagai kebiasaan, tata cara, adat istiadat, perilaku, dan polah masyarakat di Bandar Negeri Semuong, sebuah kecamatan di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Lulusan Institut Agama Islam Negeri Raden Intan ini dianggap mampu menggambarkan budaya tradisional, seperti kebiasaan ibu-ibu mengumpulkan kayu bakar di kampung dan siahan atau kebiasaan pemuda yang berbisik di balik dinding rumah gadis pujaannya. Juri sepakat, buku Asarpin ini merupakan kumpulan cerita pendek modern pertama dalam bahasa Lampung yang banyak mengandung nilai-nilai tradisional dan modern.
Hadiah Sastra Rancage kali ini juga diberikan bagi orang-orang yang berjasa dalam mengembangkan dan melestarikan bahasa daerah. Mereka adalah Karno Kartadibrata (bahasa Sunda), Bonari Nabobenar (Jawa), dan Agung Wiyat S. Ardhi (Bali).

Karno Kartadibrata dinilai berjasa besar memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan sosial politik. Tulisan Wakil Pemimpin Redaksi Mangle--majalah mingguan berbahasa Sunda--itu rutin hadir sejak 1977. Sorotan lelaki kelahiran Garut, 10 Februari 1945 tersebut menghubungkan situasi masyarakat di sekelilingnya dengan keadaan masa lampau atau masyarakat selain Sunda. Meskipun kadang-kadang tulisannya berulang atau seperti kehilangan arah, juri menilai pekerjaan menulis selama lebih dari 30 tahun itu adalah prestasi tersendiri. Bahasa Sunda pun tak hanya terpakai untuk sajak, puisi, atau cerita pendek saja.

Selain menulis di koran, bekas wartawan surat kabar Harapan Rakyat dan Harian Kami itu pernah menerbitkan sajak berjudul Lipstick (1981) dan Parfum (1997).
Sedangkan orang yang dinilai berjasa dalam kesusastraan Jawa modern tahun ini disandang Bonari Nabobenar. Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya itu dinilai aktif di Sanggar Triwida dan mengikuti berbagai diskusi sastra Jawa dan Indonesia semasa kuliah. Lulusan jurusan bahasa dan sastra indonesia IKIP Surabaya--sekarang Universitas Negeri Surabaya--itu kemudian mengembangkan sastra Jawa di tempat kelahirannya, Trenggalek, Jawa Timur.

Redaktur tabloid X-File kelahiran 1 Januari 1964 itu dan beberapa orang kawannya pernah melakukan gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman. Selain menulis guritan (sajak), cerita pendek, dan esai, mantan guru SMP tersebut dalam beberapa tahun terakhir menjadi fasilitator penulisan kreatif tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong.

Jasa Agung Wiyat S. Ardhi dalam melestarikan sastra Bali di antaranya lewat kegiatan menulis puisi, cerita pendek, juga naskah drama sejak 1976. Sastrawan kelahiran Gianyar, Bali, 3 Februari 1946 itu juga aktif dalam pembinaan bahasa, aksara, dan sastra Bali sejak 2000. Sasarannya adalah kelompok guru, pelajar, dan ibu-ibu PKK. Adapun di lingkup sastra Bali tradisional, Agung Wiyat banyak menyalin dan menguraikan arti bagian-bagian epos Mahabharata dan Ramayana.

Hadiah Samsudi untuk bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda, kata Ajip, tahun ini urung diberikan.

Dari empat judul buku karangan Aan Merdeka Permana, semuanya berisi dongeng sasakala atau legenda tentang Cadas Pangeran, Candi Cangkuang, Kerajaan Arcamanik, dan Padjadjaran. Dalam dongeng itu, penulis di antaranya mencantumkan tahun kejadian yang tak jelas sumbernya sehingga dikhawatirkan menimbulkan salah pemahaman di kalangan pembaca anak-anak.

Hadiah Sastra Rancage lahir dari keprihatinan karena pemerintah kurang memperhatikan sastra dan bahasa daerah. Padahal, sesuai dengan amanat konstitusi, kata Ajip, pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian identitas nasional itu. "Sampai sekarang pemerintah belum pernah membeli karya-karya pemenang Rancage," katanya. Walau begitu, Ketua Dewan Pengurus Rancage Erry Riyana Hardjapamekas mengaku tak ambil pusing. "Asalkan pemerintah enggak ngerecokin aja, itu sudah bagus," ujarnya.

ANWAR SISWADI
Tempointeraktif
Selasa, 09 Februari 2010 | 11:13 WIB