Senin, 22 November 2010

PUISI BENI SETIA

NGLARAN, CAKUL, TRENGGALEK *

kagem pake + bune bon,
pak + ibu dulhasim, dan
sedherek-sedherek kabeh


1
dari ponorogo lewat
trenggalek menuju:
nglaran, cakul. dari
dataran rendah palung
bengawan madiun mencari
laut kidul lewat liuk bukit

seperti sang werkudara
melacak tirta amerta di
selaksa depa tepi jurang
bibir tebing--yang setia
menjanjikan kejatuhan di
setiap helaan nafas cemas

2.
hanya ada dua tikungan
antara trenggalek-cakul
: kanan-kiri. meliuk-liuk
lihay bagaikan politikus
yang selalu bersekongkol
dengan jurang dan tebing

di antara berangkat dan tiba
tersambung juta tanda tanya
: lengkung kail yang makin
menyihir tatap. menyiulkan
perbukitan tuntas menugalkan
kelam jurang + dingin puncak

3.
ada sulur bukit di balik
sulur bukit, seperti alur
acak guludan raksasa pada
ladang kaspi sang perkasa

: dan cuaca segera dingin
ketika pagi segera jumpa
senja di teras rumah lengang
di pinggang bukit tepi jurang

sementara segara cuma desah
di balik bukit, gaung gedebur
yang bersiendap menjadi embun
--halimun di puncak bukit sejak
dhuhur, hujan hilang sejak maret

4.
selain belokan di mana-mana
hanya turunan dan tanjakan:
curam. the jet coaster’s route
--bikin orang menekah-nekah
dibebani kaspi dan jeriken air

pohon pinus menjaring sinar
siang, liang-liang titik nadir
terhunjam mencari tinggalan
air. lantas putih tanah kapur
dan senyum rawan dalam lelah

rumah-rumah segera menutup
pintu sebelum dingin bertamu,
menyalakan sihir kemakmuran
di tv, melupakan semak ranggas
dan cengkih yang terbiar--masa
lalu yang sangat ingin dilupakan


5.
di panggul: hangat angin laut
itu masih menyisakan ramah

di nglaran, cakul: udara dingin
membangkitkan luka masa lalu
di belikat. meski hangat ruang
tamu serta obrolan dan banyak
suguhan membuat kabut bagai
pigura wisata dari dunia haiku

kini tersisa: hormat dan kangen


06/08.2009


-Beni Setia, sastrawan, tinggal di Caruban, Madiu

--Puisi ini dimuat dalam buku puisi Jawa Timur Bertutur, 2010

Kamis, 04 November 2010

SEPARUH HATIKU TERTINGGAL DI CAKUL

Puisi: Elnisya Mahendra


Pucuk pinus menyambut
Datangku
Dalam deru roda roda lelah
Datangku
Diantara permadani hijau


Lekuk tubuh anggun sang perawan gunung
Melenggang bersama wangi nilam
Bercampur aroma cengkeh dan rempah
Membaurkan rasaku yang terdiam
Terpagut keindahan

Lalu
Aku dalam kagumku
Terekam dalam kristal mata
Tersimpan dalam gulungan memory

Ah Cakul
Dalam kenang
Tertinggal disana separuh bayang
Lembayung senja
Rembulan memerah diantara nebula
Pendar galaksi yang mentautkan
Aku dan penghuninya


Trenggalek, Oktober 2010


Elnisya Mahendra, lahir di Tuban 4 Desember 1976.Menulis dan menyukai sastra. Mantan buruh migran Hong Kong, yang tergabung di Teater Angin ini, mencoba eksis dan berkarya di negri sendiri. Di daerahnya bergabung dengan salah satu komunitas sastra di Bojonegoro.