Senin, 19 Januari 2009

Keluarga Sapari: Hidup dari Seni [1]


Mula-mula hanya nenikmati hobi. Namun, lambat-laun hobi itu pun berbuah rezeki. Bahkan, bisa menggantungkan hidup sekeluarga dan sanak-saudara pada seni. Adalah keluarga Sapari (52) warga Dusun Talun, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tentu, kenyataan ini meruntuhkan anggapan bahwa orang tak bisa hidup dari kesenian, apalagi kesenian tradisional!

Sejak masih lajang , selain melakukan aktivitas bercocok tanam (bertani) seperti halnya warga pedesaan pada umumnya, Sapari juga berkesenian sebagai penyaluran hobinya, khususnya seni tayub dan pedalangan.

Tahun 1971 merupakan tonggak bersejarah bagi keluarga Sapari, karena pada saat itu ia membentuk grup kesenian yang ternyata masih tetap eksis sampai saat ini.

’’Saya mulai berdiri sendiri tahun ’71, ketika itu saya masih bujang sudah ndalang wayang kulit dan mempunyai grup sendiri. Ya memang sebelumnya saya telah belajar karawitan terlebih dahulu, sementara untuk pedhalangannya saya belajar dari orang Solo,’’ ujar Sapari.

Dapat Istri Pesinden
Tahun 1976 Sapari menikah dengan Suparti (42) yang kebetulan juga seorang seniman tradisional, yakni waranggana alias pesinden. Saat menikah istrinya baru sekitar 2 tahun menjalani profesi sebagai waranggana.

Sejak menikah dengan Suparti maka bila ada tanggapan untuk pentas maka istrinya sendiri yang menjadi pesindennya.

’’Bila ada tanggapan ya istri saya sendiri yang saya jadikan pesinden, biarpun saya tetap memiliki pesinden lain (tetap) hal ini untuk njagani bila istri saya mempunyai calangan (tanggapan) sendiri untuk acara tayub,’’ tutur sapari.

Saat itu untuk melayani tanggapan menurut penuturan Sapari ia sudah memiliki seperangkan gamelan lengkap, itu untuk njagani bila ia sebagai dhalang sedang sepi tanggapan, maka masih ada pemasukan dari hasil gamelannya yang disewakan, dan satu hal lagi bila istrinya mendapat tanggapan untuk tayup maka pemasukan untuk keluarga nya tetap ada.

Berhubung kedua-duanya merupakan pelaku seni dan telah sama-sama tahu dan memahami profesinya biarpun masing masing mendapat tanggapan sendiri-sendiri maka keluarga Sapari ini tampak solid.

Setelah lima tahun menikah, Sapari dikaruniai seorang anak laki-laki (lahir 1981). setelah kelahiran anaknya maka praktis Suparti sebagai waranggono praktis berhenti tanggapan sehingga saat itu penghasilannya hanya menggantungkan dari hasil tanggapan Sapari sendiri yang sebetulnya saat itu tidak dapat dipastikan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup karena istrinya sementara tidak melayani tanggapan karena melahirkan maka Sapari cukup mengandalkan dari hasil pertanian yang hingga kini tetap ditekuni pula.

Ketika anaknya berumur satu tahun dan dipikir sudah bisa ditinggal untuk tanggapan lagi, istrinya Suparti pun kembali menerima tanggapan.

Masa-masa seperti itu cukup lama dijalani. Karena, setiap tahunnya jumlah job( tanggapan) tidak selalu ramai Sapari dalam mengatur keunanganya dilakukan dengan hati hati.
’’Tanggapan itu kan tidak pasti kadang tahun ini sepi tahun depannya ramai, maka bila sedang banyak orderan, saya usahakan menyisihkan dari hasil job tersebut untuk menambah peralatan gamelan,’’ tutur Sapari.

Dari hasil simpanan tersebut baru tahun 1996 ia bisa menambah peralatan gamelan yang diidamkan sebanyak satu setel (pelog dan slendro) sehingga ia memiliki 2 setel gamelan, sehingga bila yang satu digunakan untuk tanggapan satunya masih bisa disewakan dan akhirnya pemasukannya pun bertambah. [pur]

0 komentar:

Posting Komentar