Sabtu, 15 Desember 2012

REKENING BERSAMA ITU MEMBUAT SAYA BERMIMPI

PENGANTAR

Ketika Pak @Ted Hartanto mengabarkan/menawarkan rekening bersama untuk dipakai bertransaksi para anggota Grup RAMLI (Rumah Adopsi Musang Lovers Indonesia):
”buat temen2 yang mau bertransaksi di grup ini jika membutuhkan Rekening Bersama bisa menghubungi saya (Free of Charge) gratis , paling tambah dikit aja buat biaya transfer. Makasih.” …


Lalu saya membubuhkan komentar, ” ini sebuah kedermawanan. dan berpotensi untuk, jika mau, dikembangkan menjadi sejenis bidang usaha bersama sambil memperkokoh ikatan persaudaraan para penggemar musang indonesia. saya kepikiran ini sejak beberapa pekan lalu. semoga dapat segera menguraikannya dengan kalimat yang lebih panjang.”

Semoga, kalaulah kurang panjang, tulisan ini dapat melunasi ’janji’ itu.

ILUSTRASI

(1)

Barangkali memang kita sudah memasuki zaman ultramodern. Ketika jaringan internet merambah hampir seluruh permukaaan bumi, saya lebih suka menggambarkan keadaan ini sebagai: ketika ’nyaris’ setiap orang memiliki azimat Cupu Manik Astagina (CMA) dan atau aji pameling. Seperti digambarkan dalam kisah Ramayana (edisi yang lebih menarik untuk pembaca sekarang mungkin adalah yang telah di-roman-kan oleh Sindhunata dengan judul Anak Bajang Menggiring Angin, Gramedia (1983). Dalam jagad pewayangan (kisah Mahabarata dan Ramayana) aji pameling maupun azimat CMA itu hanya dimiliki oleh para dewa/dewi dan beberapa gelintir wayang biasa yang terpilih. Dalam kisah Ramayana, salah seorang wayang biasa yang terpilih untuk memiliki CMA ialah Dewi Anjani, putri Resi Gotama yang menikahi seorang (eh, sewayang) bidadari bernama Dewi Windradi. Pada suatu hari, Dewi Windradi memanggil putri kesayangannya itu dan memberinya hadiah berupa CMA. Tetapi, dua saudara: Sugriwa dan Subali juga sangat ingin memilikinya. Tiga wayang bersaudara itu lalu terlibat pertengkaran memperebutkan CMA. Resi Gotama yang menjadi gerah dengan pertengkaran itu meminta paksa CMA dan melemparkannya, menjelma telaga, dan ketika ketiga wayang bersaudara itu menceburkan diri ke dalamnya, mentas sudah dalam wujud baru mereka: kera!

Apakah keistimewaan CMA sesungguhnya? Para dalang sering menggambarkan sebagai benda azimat yang dapat digunakan untuk menerawang sudut paling tersembunyi sekalipun di muka bumi, bahkan dapat digunakan untuk memanggil para dewa dan para dewi. Bukankah gambaran singkat itu (kalau mau lebih jelas ya baca bukunya, atau setidaknya boleh mampir di sini) mengarahkan kita kepada pemahaman mengenai khasiat teknologi komunikasi yang bernama jejaring internet ini? Bukankah internet juga memeliki potensi luar biasa untuk melakukan kebaikan dan sebaliknya pula: menyimpan potensi luar biasa untuk melakukan kejahatan?

(2)

Menjelang musim lebaran yang lalu, ada kawan membuka usaha dadakan, menjual paket (jajanan) lebaran kepada para pekerja migran asal Indonesia di Hong Kong. Sekitar 5.000 (lima ribu paket) terjual dengan harga sekitar Rp100 ribu/paket. Kebanyakan transaksi dilakukan secara langsung dengan bantuan teman yang ada di Hong Kong (pekerja migran juga), sedangkan pusat layanannya (pemaketan dan pengiriman) dilakukan dari satu titik, sebuah kota di jawa Timur. Padahal, hampir semua paket harus dikirim ke seluruh Jawa, terbanyak ke pelosok-pelosok Jawa Timur, lalu Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sebagian besar paket dikirim melalui jasa pos, dan sebagian lagi dikirim langsung. Permasalahan timbul terutama akibat derasnya arus kiriman (melalui pos) menjelang lebaran, sehingga konsumen gelisah ketika hari Lebaran makin dekat dan barang yang dipesan belum tiba di alamat. Akhirnya, demi citra layanan yang bagus, pengiriman langsung dilakukan tidak hanya di daerah Jawa Timur (yang dekat dengan pusat layanan), melainkan juga untuk wilayah-wilayah pelosok Jawa Tengah paling barat, bahkan armada antar langsung masih harus beroperasi pada hari ke-2 lebaran. Memang ada beberapa orang sukarelawan di beberapa kota kecil. Tetapi, upaya menemukan dan memilih reute paling tepat menuju alamat terkendala oleh tiadanya posko-posko layanan di tiap kabupaten.

URAIAN

Berdasarkan pengantar dan kedua ilustrasi tadi, MLI dengan RAMLI-nya, sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan dahsyat! Tetapi, saya tahu bahwa para founding fathers and founding mathers grup ini tidak mau keluar dari misi awalnya, dan karenanya tidak ingin grup ini berkembang menjadi badan usaha, dan apalagi menjadi partai politik. Gubrak! :D --Maka, saya batasi saja mimpi saya ini untuk tidak keluar dari urusan permusangan.

Mimpi pertama adalah terbentuknya cabang-cabang MLI/RAMLI di tiap kabupaten/kota. Terutama, untuk urusan adop-mengadop, kirim-terima musang, yang akan sangat berperan adalah cabang-cabang yang memiliki kantor/pengurus yang tinggal di dekat pusat kota/kabupaten yang dengan begitu biasanya dekat pula dengan kantor pos, stasiun kereta api, terminal bus, atau yang tidak terlalu jauh dengan biro/kantor perwakilan layanan jasa pengiriman makhluk hidup.

Untuk menjamin kemudahan menuju kenyataan (tidak hanya berhenti sebagai mimpi) mesti dipertimbangkan oleh cabang-cabang baru yang hendak dikukuhkan: untuk memilih pengurus yang diisi pula oleh sosok yang punya cukup waktu. Misalnya, jangan semua pengurus orang kantoran. Maksudnya, selalu ada yang bisa turun tangan ketika harus membantu warga yang hendak menerima atau mengirimkan musang.

Syukur-syukur ada rumah/kantor atau tempat mangkal yang sekaligus juga dibuka untuk penitipan musang. Misalnya, untuk melayani warga yang baru mengadopsi musang baru melek dan belum punya pengalaman merawat bayi musang, atau sudah berpengalaman tetapi harus meninggalkannya sehari-dua hari ke luar kota, dan di rumah tidak ada yang bisa mengambil-alih perawatan, seperti persoalan yang saya hadapi ini. Ongkos titipan bisa diatur. Termasuk, ongkos layanan bantuan pengiriman dan penerimaan.

Yang dimaksudkan dengan jasa ”bantuan pengiriman/penerimaan” adalah semacam mediator antara pihak yang akan lepas adopsi dengan pihak yang akan terima adopsi. Contoh: saya sangat ingin memiliki musang bulan. Kebetulan, ada yang menawarkan dari Jakarta, sementara saya tinggal di Malang. Maka, daripada keluar ongkos transportasi plus kehilangan waktu untuk pergi-pulang Malang-Jakarta, tentu saya lebih memilih keluar ongkos mediasi. Saya hanya cukup melihat foto musang di penawarannya, mengkonfirmasikannya ke –dalam hal ini misalnya—Djamal, mentransfer sejumlah uang ke ”rekening bersama” dan melakukan deal dengan pihak yang hendak lepas adopsi, lalu tinggal menunggu kedatangan musang bulan idaman saya. Dengan demikian, saya tidak perlu selalu memelototi grup DPO, apakah pihak yang saya tuju ada di dalam daftar atau tidak, bagaimana reputasinya, dan sebagainya.

Kadang orang mengambil jalan pintas untuk menilai ”seseorang” (dalam hal ini pemilik akun di Facebook) yakni dengan melihat daftar pertemanannya. Ketika ada satu, dua, atau tiga orang di antaranya adalah orang yang kita kenal dengan baik, dan mereka adalah sosok-sosok yang kredibel, kita cenderung memutuskan bahwa orang itu baik, tanpa kita melakukan konfirmasi kepada para ”teman bersama” itu. Padahal, itu bukan jaminan yang kuat. Seorang kawan saya pernah melakukan transaksi, menyetor sejumlah uang melalui ATM kepada kawan barunya yang hanya ia kenal melalui Facebook. Jumlahnya tidak terlalu besar, tetapi sangat menyakitkan ketika menyadari bahwa kemudian penggunaan uang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan sesuai niatan awalnya. Ketika saya tanya, ”Baru kenal di Facebook kok ya kamu percaya?” Dan inilah jawabnya, ”Saya pikir dia tidak securang itu, lha kan teman (Facebook) sampeyan juga?” –GLODHAG!

Calon pelepas adop yang bagus, tentu sangat baik jika bisa meniru seseorang yang menekuni bisnis online (menjual produk), yang ketika diwawancarai reporter Radio Suara Surabaya mengatakan bahwa salah satu caranya membangun kepercayaan calon konsumennya adalah dengan pertanyaan, ”Apakah Tuan/Nyonya, Mas/Mbak punya sahabat karib atau famili di kota ini?” Dengan pertanyaan demikian dimaksudkan, jika jawabannya, ”Ya, ada,” kalimat permintaan akan segera dikemukakan, ”Mohon agar beliau (sahabat atau famili itu, Mun) diminta untuk melihat produk kami di alamat ini…..” Bukankah cara seperti itu dapat ditransformasikan untuk adop-lepas adop antara kedua belah pihak yang saling berjauhan?

Sampai di sini, Anda mungkin bertanya, ”Mengapa untuk mengadopsi/melepas adopsi musang dengan biaya adopsi dua ratus hingga lima ratus ribu rupiah saja mesti berbelit-belit seperti ini? Jawaban saya, ini bukan tentang berbelitnya. Tetapi, betapa baiknya jika seiring dengan tumbuhnya organisasi baru ini (MLI) kita juga belajar membangun sistem yang rapi?

Sampai di sini, Anda jangan bertanya lagi, sebab saya sudah bangun. Tadi itu, kan, hanya mimpi. –GLODHAG!

:D

Minggu, 25 November 2012

Menangkap Peluang di Sekitar Kopi



Kita tahu bahwa kopi adalah komoditas dunia. Bahkan, boleh dikata, dahulu Belanda jauh-jauh datang ke Indonesia juga karena mencari rempah-rempah, dan juga kopi. Hingga kini pun Indonesia masih tercatat di peringkat ketiga pemasok kopi dunia setelah Brasil dan Vietnam. Seperti dilansir Okezone.com, dalam sebuah kesempatan di Nusa Dua, Bali, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Syarief Hasan mengatakan bahwa peluang (Indonesia, Red) untuk bisa menjadi produsen kopi nomor dua di dunia terbuka lebar (24/10/2012).

Prediksi Sang Menteri itu sangat beralasan jika kita melihat potensi yang ada, termasuk kemungkinan untuk terus menggenjot kapasitas produksi kopi luwak, yang merupakan jenis produk kopi termahal di antara berbagai ragam jenis/variasi kopi yang ada selama ini. Lahan kita sangat kondusif untuk intensifikasi maupun ekstensifikasi tanaman kopi. Luwak atau musang, kita juga punya semua jenis pemakan buah yang dapat dijadikan ibarat ”mesin giling” kopi segar. Bahkan, yang namanya binturung, jenis musang terbesar yang mampu menghasilkan kopi luwak (kotor) 10 kg per hari/malam, pun adalah binatang khas/endemik Indonesia (Sumatera).
--Musang Pandan di Pasar Burung Splendid, Malang, tak sampai Rp500 ribu/ekor

Itu semua mempertontonkan peluang yang mesti kita baca. Keluarga BMI yang berdomisili di pedesaan, jika mau, sangat berpeluang menjadi produsen kopi luwak. Mestinya pula, ini adalah peluang kombinasi antara bertani (kopi) dan beternak (luwak) yang sangat prospektif, sangat menjanjikan. Kopi luwak itu nyaris seperti emas, mata uangnya dolar, lho! Bahkan, sebuah café di sebuh mall di kawasan Malioboro, Yogyakarta, dan sangat mungkin juga di beberapa tempat lain, memasang tulisan tarif khusus untuk secangkir kopi luwak dengan ’$’ dan bukannya ’Rp’ –padahal Malioboro, Yogyakarta, itu masih berada di wilayah Republik Indonesia.

Apakah Anda masih kurang yakin mengenai prospek bisnis ini? Jika Anda sudah mulai tertarik, tidak usah keluar modal terlalu besar (menurut keyakinan Anda itu). Ini bisa dimulai dengan memelihara seekor atau dua ekor musang, sambil menanam pisang dan memelihara lele atau ayam, karena telor/daging ayam dan lele termasuk makanan yang sangat disukai luwak selain buah-buahan. Dengan demikian, setelah keluar tidak terlalu banyak biaya untuk pembuatan kandang luwak, Anda tidak akan banyak keluar biaya untuk perawatannya (biaya pakan), terutama pada saat-saat di luar musim panen kopi. Ketika musim kopi tiba, jatah pakan pun secara bisnis akan sangat berkurang, karena setelah siang hari diberi pakan selingan berupa buah pisang, pepaya, dan sekali atau dua kali dalam sepekan diberi ayam atau lele rebus, pakan utama musang adalah buah kopi segar yang masak pohon, yang sekaligus adalah bahan mentah untuk menghasilkan kopi luwak: komoditas andalan Anda.

Nah, semoga sekarang tidak ada lagi pertanyaan di benak Anda, yang kira-kira berbunyi begini, ”Nanti kalau sudah pulang ke Indonesia terus, saya ini mau buka usaha apa, ya?” Semoga!*





Selasa, 18 September 2012

Membaca Kemarau


Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur --terutama di Dusun Nglaran termasuk daerah tandus, dan terlalu kering di musim kemarau. Walau di beberapa bagian wilayah desa masih ada sumber air yang hidup, walau sekadar menetes, warga di sebagian besar desa bahkan harus sangat berhemat ketika mandi. Susah air!

Ketika air susah didapat, bukan cuma urusan mandi, cuci, dan memasak yang terdampak, melainkan tanaman/tumbuhan pun banyak yang mati. Bayangkan, ketika pohon cengkih (yang sudah ibarat pohon emas karena harga bunga keringnya ketika tulisan ini dibuat sudah melampaui Rp100 ribu/kg) yang sudah beberapa kali panen harus mati ranggas digulung kemarau. Betapa sedih. Betapa banyak nilai kerugian mesti ditanggung.

Cari pakan ternak pun susah, karena banyak pohon ranggas, rumput dan semak pun lenyap. Dan semua orang mengeluh. Padahal, ada tanaman pagar yang sangat disukai kambing dan seperti justru makin subur di tengah ganasnya kemarau. Pohon matoa yang belum genap setahun ditanam pun masih bersemangat tumbuh, dan seperti tak gentar menghadapi matahari kemarau yang membakar.

Pertanyaan besar: mengapa orang-orang tak memperbanyak tanaman yang punya daya tahan tinggi di musim kering, di desa ini? Kita diberi banyak pilihan, dan akan sengsara sendirian jika hanya mau ikut-ikutan! Demikianlah saya menarik simpulan.*

Senin, 16 April 2012

Minyak Kelapa, Pasarnya selalu Terbuka

Kira-kira setahun yang lalu saya mengunjungi sebuah desa yang jauh, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Waktu itu ada acara Pembubaran Festival Sastra yang juga dihadiri beberapa orang pekerja  migran yang hebat-hebat di bidang kesusasteraan. Saya berdua dengan teman saya bersepeda motor dari Blitar, karena memang saya niatkan: ”sambil menyelam minum air”—menghadiri undangan sekaligus ’belajar’ memahami potensi bisnis di sekitar kita.

Sebelum sampai di Cakul saya sempat mampir di pasar pengepul kelapa, kalau tidak salah namanya Pasar Dongko. Saya sempatkan bertanya berapa harga dan sampai kapasitas kemampuan supply kelapa segar. Harga di tingkat pengepul antara Rp 1.250 – Rp 1.500 per butir kelapa. Harga tersebut dalam kondisi masih dengan bathok kelapanya.

Menurut analisis usaha saya, kelapa tersebut harganya masih cukup murah sebagai bahan baku minyak kelapa segar. Satu kilogram minyak kira-kira membutuhkan 6 - 8 butir kelapa segar. Kita juga masih bisa mendapatkan batok (tempurung) kelapa yang masih bisa dijual dengan nilai ekonomis tinggi.

Minyak kelapa segar, harga per kilogram sekitar Rp 16 – Rp 25 ribu/kg, sedangkan biaya produksi dan bahan bakunya sekitar Rp 9 – Rp 12 ribu --sudah termasuk dengan biaya produksi. Belum kalau dibikin minyak VCO, meski pasarnya tidak sehebat dulu. Namun, minyak VCO tetap laku dan berharga mahal. Bikinnya pun gampang.

Meski mahal, perusahaan tetap lebih memilih menggunkan minyak kelapa daripada minyak kelapa sawit. Sebabnya, minyak kelapa bisa digunakan untuk penggorengan berkali-kali sampai habis minyaknya, sedangkan minyak kelapa sawit hanya bisa digunakan 2 - 3 kali penggorengan. Pakai minyak kelapa, masakan juga menjadi lebih gurih.

Alatnya juga sederhana: mesin parut, press santan, dan evaporator untuk memisahkan kandungan air dari minyak kelapa. Kalau kita kemas dengan plastik refiil, mesin press plastic seharga Rp 5.000.000,- dan harga kemasan plastiknya sekitar Rp 500 rupiah per lembarnya sudah lengkap dengan cetakannya, seperti kemasan minyak pabrikan yang ada di pasaran.

Saya jamin, konsumen kalau melihat kemasan dan kualitas minyak akan menyangka ini merupakan produksi pabrik skala besar. Padahal, dibikin oleh home industry milik Anda yang berasal dari daerah penghasil kelapa: Trenggalek, Ponorogo , Pacitan, Jember, dll.

Selain dapat untung dari proses minyak, kita masih mendapatkan sepet (sabut) dan batok (tempurung) kelapa. Sabut kita gunakan untuk bahan baku kasur, sedangkan batok kelapa bisa kita manfaatkan untuk ”liquid smoke” yang banyak fungsinya. Nelayan Prigi membutuhkan ini, sebagai pengawet ikan pengganti formalin. Lebih detailnya, datanglah ke perpustakaan atau toko buku untuk mendapatkan sumber informasi akurat mengenai minyak kelapa dan liquid smoke.

Sedangkan airnya (air kelapa) dapat diproses menjadi nata de coco atau bikin kecap. [abdul aziz]*


Senin, 12 Maret 2012

VISI ENTERPRENEURSHIP UNTUK TRENGGALEK (?)

Oleh Nurani Soyomukti, penulis 18 buku; anggota Serikat Muda Intelektual Nusantara (SAMIN) dan ketua Quantum Litera Center (QLC) Trenggalek

SEBUAH pertanyaan datang dari salah seorang audiens diskusi publik yang diadakan oleh Quantum Litera Center (QLC) yang bertajuk “Mengawal Pemimpin Baru Trenggalek yang Bersih dan Pro-Rakyat: Peluang dan Tantangan” pada Hari Kamis, 14 Oktober 2010 lalu yang bertempat di Aula Balai Benih Ikan (BBI) Trenggalek. Pertanyaan ditujukan kepada salah seorang audiens yang kebetulan juga wakil bupati Trenggalek yang baru dilantik beberapa waktu yang lalu.




Karena pertanyaan ditujukan pada wakil bupati, maka si audiens bertanya apa visi-misi pemerintahannya dalam rangka meningkatkan jiwa entrepreneurship masyarakatnya mengingat hal itu merupakan syarat utama agar tercipta produktifitas dan kegiatan usaha di kalangan masyarakat. Pertanyaan itu tentu berangkat dari kepercayaan bahwa tidak mungkin kita membangun suatu daerah jika sumber daya manusianya tumpul kreasi dan produksi, tanpa mental usaha, dan hanya mengandalkan ketidaktahumenahuan, kepasrahan, dan ketergantungan pada tindakan pergi ke luar daerah atau ke luar negeri.

Pimpinan baru sangat diharapkan untuk mencari terobosan-terobosan bagaimana agar dinamika kreatifitas dan jiwa usaha di kalangan rakyatnya (terutama generasi mudanya) bisa tumbu-berkembang. Masalah pelayanan public seperti biaya sekolah murah, biaya kesehatan murah, dan kemudahan membuat surat-surat kewarganegaraan (KTP, Akta, dll) memang suatu program yang tidak bisa ditawar mengingat sektor seperti pendidikan dan kesehatan merupakan suatu hal yang haram untuk dikomersialisasi karena itu adalah sector publik—bukan sektor komersial yang digunakan untuk mencari keuntungan. Tetapi memberi perhatian besar pada peningkatan jiwa entrepreneur bagi generasi merupakan tindakan strategis dan berdayaguna untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia.

Makna Enterpreneurship
Jiwa entrepreneurship akan meningkatkan ketrampilan mengambil peluang usaha, melahirkan individu-individu yang tangguh dan tak tergantung, memicu terciptanya lapangan kerja. Sebab, saya yakin, masih banyak yang bisa dilakukan oleh pemuda Trenggalek selain sektor formal, termasuk juga masih banyak peluang untuk membikin usaha di sector produktif maupun sektor informal yang dapat diambil. Kesadaran akan peluang, ketahanan akan kerja, ketrampilan dan kreativitas pikiran (imajinasi kreatif) itu saja yang selama ini tampaknya masih menghinggapi banyak jiwa kaum muda.

Kaum muda perlu disadarkan bahwa untuk menjadi manusia tangguh dan terhormat, jalan satu-satunya bukanlah jadi pegawai negeri sipil (PNS), angkatan bersenjata, atau polisi. Sebab profesi itu nyatanya hanyalah sektor yang paling parasit, yang menggantungkan pada gaji dari uang Negara yang didapat dari pajak rakyat, dari hasil keringat, darah, dan air mata rakyat yang kerja fisik dengan kerasnya. Profesi itu juga yang membuat otak kaum muda tumpul, puas dengan gaji bulanan tidak mau lagi menggunakan pikirannya, apalagi pikiran kritis, karena pikiran kritis bertentangan dengan pola kepatuhan yang ada dalam birokrasi Indonesia yang merupakan warisan bangsa inlander (terjajah). Profesi ini jugalah yang membiasakan anak-anak muda tumbuh menjadi korup dan menganggap mark up dan menjilat sebagai suatu hal yang biasa.

Trenggalek memiliki cikal-bakal dan benih-benih yang rata-rata cerdas-cerdas. Tak sedikit pelajar yang potensinya melejit dan otaknya cemerlang, missalnya ditunjukkan dengan beberapa pelajar yang seringkali menjuarai olimpiade nasional maupun internasional. Guru-gurunya juga cemerlang, terbukti semakin banyak yang menyukai karya ilmiah, penelitian, dan di antara mereka seringkali menjuarai lomba guru berprestasi tingkat nasional. Artinya, di tinngkatan pendidikan sebagai lembaga untuk meningkatkan sumber daya manusia, Trenggalek sangat siap. Pendidikan semakin maju, dan saya tahu sendiri karena guru-guru dan aktifis-aktifis pendidik yang berusaha memikirkan terus bagaimana agar Trenggalek pendidikannya kian maju. Tetapi potensi yang dinamis dari sumber daya manusia ini tak pernah dilirik oleh pemerintah daerah.

Hambatannya selama ini memang ada para kepemimpinan dan problem struktural, yaitu kebijakan yang tidak memperhatikan sama sekali potensi pengetahuan, kecerdasan, dan kreatifitas yang tersebar di kalangan remaja. Pemerintah, politisi, dan stake holder hanya sibuk dengan proyek fisik, fisik, dan fisik. Salah satunya disebabkan oleh runyam dan genitnya politik kebijakan yang didominasi elit yang rebutan proyek fisik. Proyek fisik jadi andalan karena pemimpin dan jajarannya juga diuntungkan dengan jadi makelar proyek itu denga tujuan untuk mendapatkan pundi-pundi dan kekayaan untuk dirinya sendiri.

Kreativitas dan Nilai Tambah
Trenggalek adalah kota Gaplek, sehingga rakyatnya jelas suka bekerja keras. Kalau tidak bekerja keras bagaimana mereka bisa (bertahan) hidup di tengah hasil produksi pertanian seperti ketela yang harganya sangat minim. Kerja keras secara fisik akan banyak menguras tenaga tetapi hasilnya tak seberapa. Karenanya perlu otak encer dan imajinasi kreatif, agar hasil kerja bisa dijadikan sesuatu yang bernilai lebih besar.

Apa yang dari bahan baku pertanian itu diubah dari suatu produk yang lebih memiliki nilai tinggi. Diubah jadi kripik, trowol yang juga masih jadi bahan baku di pabrik, atau jadi modified cassava flour (Mocaf) yang juga jauh lebih tinggi harganya, dan lain sebagainya. Tidak mungkinkah bisa dijadikan produk lainnya yang jauh lebih bernilai agar ketela yang dihasilkan dari lading, yang ditanam jangka waktu lama, dengan kerja fisik panen yang juga membutuhkan keringat sangat banyak (bagaimana beratnya “njebol telo”), agar nilai tukar hasil pertanian khas Trenggalek ini bisa jauh lebih bernilai besar? Tidakkah ketela bisa menghasilkan bahan biogas, misalnya, yang bisa jadi kadar gasnya lebih besar dari pada Tebu atau tai sapi?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sudah selayaknya muncul dari pimpinan daerah baru yang harus berfikir bagaimana meningkatkan tenaga produktif dan kreatifitas agar daerahnya tidak terus terbelakang. Dibutuhkan kerja-kerja mengorganisir tim-tim ahli yang dapat memberikan masukan cerdas. Selanjutnya harus diformat sebuah program kerja daerah untuk memberikan perhatian bagi peningkatan jiwa berdaya usaha dan berdaya saing melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyadaran, pelatihan, pemberdayaan, dan termasuk memberikan modal usaha bagi rakyat terutama kaum muda.***

Minggu, 12 Februari 2012

MEMULIAKAN GUNUNG BOGANG?

"Trenggalek lambangnya Gunung. Orang Trenggalek semangat dan karakternya sekokoh gunung, mengakar ke tanah, tak roboh diterjang angin. Memberi pertumbuhan pada kehidupan"... (Prof. Gendut Suprayitno dalam Sambutan Aksi Sejuta Pohon di Gunung Orang-Arik tadi siang)

--Nurani Soyomukti: Grup "Dewan Kesenian Trenggalek"





--sumber air Gondang Rayut, di lereng Gunung Bogang

Karenanya gerakan "memuliakan gunung" seperti itu sangatalah bagus. Kapan ada DIALOG melibatkan aktivis gerakan (dalam bahasa orang kampung saya, "gerakan" = kerja bakti) semacam ini dengan LMDH dan Perhutani? --kampung halaman saya dikepung wilayah "Perhutqani" dulu memang hutan, tetapi sekarang lebih sekadar sebagai ladang yang dieksploitasi.

Tidak terbaca adanya konsep pemeliharaan hutan yang bagus. Menanami kawasan-kawasan tertentu dengan pohon yang "tidak dipanen" (misalnya durian -dipanen buahnya) seperti sudah dilakukan di Watulimo adalah sangat bagus.

Hingga tahun 80-an saya masih melihat hutan. Sekarang, sekali lagi, semua di sekitar kampung halaman saya (desa Cakul, kec. Dongko) menjadi ladang, bahkan puncak Gunung Bogang yang masih ada kaldera-nya itu pun menjadi ladang singkong. Di sini, Gunung tidak dimuliakan, tetapi dinistakan.

Andai kesempatan datangnya tokoh-tokoh sekaliber Prof Gendut Riyanto ini di Trenggalek sekaligus dimanfaatkan juga untuk berdialog dengan pihak-pihak seperti saya sebut tadi itu, niscaya pekerjaan yang sangat mulia (menanam pohon) seperti tadi pagi itu akan semakin mendapatkan maknanya. demikian, mohon maaf belum bisa nimbrung dalam aksi nyatanya, dan terima kasih. [BON]

Kamis, 09 Februari 2012

PERTOLONGAN PADA STROKE MENDADAK

Untuk kita amalkan, semoga bermanfaat : Orang yg kena STROKE mendadak (jatuh di toilet, di jalan atau tempat2 lain), pembuluh darah ke otak biasanya akan pecah sedikit demi sedikit. Ingat, untuk mengatasi hal ini janganlah gugup/panik.

Jika korban berada di tempat kejadian seperti di kamar mandi/ruang tidur/ruang tamu dll. JANGAN di-pindah-pindahkan ke tempat lain, karena akan mempercepat pecahnya pembuluh darah, dan janganlah sampai dia terjatuh lg. Caranya adalah dengan mengeluarkan darah korban dgn menggunakan jarum yg telah dibakar/disteril kan dengan alkohol yg kemudian ditusukkan ke ujung setiap jari masing2 sampai darahnya keluar± 1-2 tetes.

Kalau darahnya tidak keluar dapat diurut sampai keluar, sesudah itu korban akan sadar setelah beberapa menit kemudian.

Jika korban mulutnya miring, tariklah kedua daun telinganya sampai merah dan langsung tusuk bagian bawah daun telinga dg jarum steril sampai darah keluar ± 1-2 tetes.
Setelah korban sadar dan mulutnya sudah pulih kembali, barulah dibawa ke dokter/Rumah Sakit. Biasanya orang yg terkena STROKE pembuluh darahnya akan lebih cepat pecah karena goncangan dalam perjalanan ke RS/dokter.


Orang tsb dapat tidak sadar kembali/pingsan dan biasanya akan cacat/lumpuh.
(Kita harus ingat untuk MENGELUARKAN DARAH dari jari orang yg terkena STROKE tsb, maka kita sudah bisa n berusaha menolong orang tsb dari penyakit STROKE).

Tulisan ini sebaiknya diteruskan pd tmn2 lain
Maka Tak terhinggalah jasa pahala anda.
Aamiin
Salam


dari Pak Dh Abadinar yang mengopipaste tulisan Yuntri Junaedi/Jakarta untuk menambah pengetahuan.

Sabtu, 04 Februari 2012

WASPADALAH: Gantungan Kunci Jebakan

Info dibawah ini saya copas dari teman (Yuntri Junaedi), semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Info BARESKRIM:

Harap berhati-hati !! MODUS BARU PERAMPOK : Ada sindikat penjahat menyamar sebagai promotor penjualan yg memberikan Gantungan Kunci Gratis di pompa bensin, tempat parkir di mall2 dan pusat2 perbalanjaan lainnya. Gantungan kunci itu memiliki Chip alat pelacak yang memungkinkan mereka u/ mengikuti Anda. Jangan terima barang dr mereka.

Mereka memilih calon korbannya yg berpotensi, & jika Anda menerima, maka Anda sudah masuk perangkap mereka. Gantungan kunci itu memang sangat indah, sulit u/ menolaknya, tapi Anda hrs ingat.
Anda mungkin akan membayar lebih dari harga gantungan kunci tsb, termasuk resiko yg menimpa hidup Anda.

Mohon beritahu anggota keluarga Anda & teman-teman lainnya (y):)
Berita ini sangat PENTING bagi Anda dan Saudara,, juga Keluarga anda..
WASPADALAH...!! [dari aku FB Pak Dh Abadinar]

Senin, 30 Januari 2012

Gagrag Bonarian

Oleh Sucipto Hadi Purnomo



BERCERITA tentang sastra Jawa masa kini, saya merasa mesti berkisah soal Bonari. Bonari Nabonenar lengkapnya. Apa istimewanya? Bonari, jelas nama Jawa, berkesan ndesa pula. Tapi Nabonenar, rasa-rasanya belum pernah ada anak Jawa yang diberi nama itu. Bukan Jawa? Entahlah. Toh saya tak hendak menyoal lebih jauh ikhwal nama, kecuali saya anggap ia bisa menjadi pambukaning warana untuk menyibak gambaran sebagian dari kehidupan sastra Jawa masa kini.
Saya mengenal Bonari kali pertama bukan sebagai sastrawan Jawa. Saya dengar nama itu ketika gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman mampir ke kampus saya, IKIP Semarang di Sampangan, tahun 1990. Saya tak ingat benar, dia datang atau tidak, apalagi dengan paras seperti apa. Yang saya ingat, dia salah satu dari sederetan anak muda-sastrawan yang tengah melawan hegemoni pusat dalam hal bersastra.

Dari majalah berbahasa Jawa "Panjebar Semangat", sepanjang dekade 90-an, saya makin mengenal nama itu sebagai penulis geguritan dan cerita cekak (cerkak). Saya mengenalnya sebagai sastrawan Jawa, hingga pada tahun 2001 di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta, saya tahu dialah salah satu dari penggerak Kongres Sastra Jawa (KSJ). Konon nama lain yang berada di barisan ini adalah Keliek SW, Daniel Tito, Dhanu Priyo Prabowo, dan sejumlah nama lain.

Sungguh saya jatuh hati pada KSJ I "pada pandangan pertama". Bukan saja pada spirit perlawanan yang diusung, tetapi pada keguyuban yang kemudian membangun kemandirian.

Betapa tidak, ketika Kongres Bahasa Jawa (KBJ) dihelat dengan biaya miliaran rupiah dari pemerintah, KSJ justru hadir dari hasil "bantingan". Alih-alih mendapatkan honorarium, para penyelanggara justru harus "cucul dhuwit" untuk transportasi, akomodasi, konsumsi, dan berbagai kepentingan lain. Tak hanya penyelenggara, para peserta, bahkan pembicara pun harus menjalani nasib serupa.

Namun justru di situlah kemandirian terbangun. Justru karena itulah, KSJ mampu hadir sebagai ajang konsolidasi bagi para sastra Jawa, baik muda maupun senior, untuk terus menghidup-hidupi "tlatah cengkar" ini.

Tanpa bermaksud mengecilkan peran yang lainnya, Mas Bon --begitu biasa saya menyebutnya-- pantas mendapatkan catatan secara khusus. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya (kini Unesa) ini hampir selalu saya jumpai dalam setiap pertemuan sastra Jawa. Mulai dari Semarang, Ungaran, Yogyakarta, Solo, Bojonegoro, Surabaya, Trenggalek, hingga Tulungagung.

Dari setiap pertemuan, saya makin tahu, dialah pejuang terdepan untuk mengupayakan pertemuan dan penerbitan buku-buku sastra Jawa. Saya tak melihat sama sekali upaya "mbathi" dari usaha itu, kecuali malah "nomboki", setidaknya untuk diri sendiri.

Jujur, ketika saya bersedia menerima tongkat komando pada KSJ II di Semarang, salah satunya karena "iri" pada Mas Bon. Saya ingin belajar darinya untuk turut berbuat bagi sastra Jawa. Begitu pula tatkala diamanahi teman-teman sastrawan untuk memimpin Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) bersamanya.

Ketika saya merasa tak banyak berbuat, saya justru melihat upaya gigih Mas Bon untuk terus-menerus membangun jejaring dengan teman-teman sastrawan dan pencinta sastra Jawa. Penerbitan buku sastra Jawa senantiasa ia upayakan, kegiatan sastra Jawa juga ia dedikasikan.

Festival Sastra Jawa di Desa, yang digelar di Desa Cakul, Dongko, Trenggalek, Jawa Timur 2009 lalu, salah satunya. Saya lihat dalam kegiatan itu, Mas Bon mendedikasikan dirinya "luar-dalam". Lagi-lagi ya saksikan suasana yang nyaris sama dengan KSJ.

Namun Anda akan keliru jika menganggap Mas Bon hanya "memainkan" sastra Jawa hanya pada wilayah "ndesa" atau pada ranah domestik belaka. Tidak. Mas Bonlah yang pantas disebut sebagai penggerak utama sasatra Jawa di dunia maya.

Ketika dunia ini menawarkan fasilitas jejaring sosial, Mas Bon membuat grup Sastra Jawa Gagrag Anyar (SGJA). Ribuan orang bergabung di sini. Sebagiannya menjadi kreator sastra Jawa di situ, sebagian yang lainnya menjadi komentator, sedangkan sisanya memilih jadi pembaca pasif.

Saya melihat kekuatan dahsyat di sana. Nama-nama baru bermunculan. Sejumlah geguritan yang diunggah bahkan makin membelalakkan mata saya, betapa karya-karya itu memiliki capaian estetis di atas rerata karya-karya yang dimuat di berbagai majalah berbaha Jawa, bahkan yang telah diterbitkan dalam bentuk buku sekalipun.

Grup SGJA saya lihat sebagai sebuah terobosan cerdas, sekaligus bangunan kemandirian, buat sastra Jawa. Keluh kesah tentang sedikitnya publikasi dan penerbitan buku sastra Jawa, sebagiannya telah dijawab oleh forum ini. Sekaligus di sana, tegur sapa kreatif senantiasa terjalin.

Ya, pada Mas Bon saya melihat daya jelajah itu: desa dan kota, penerbitan dan gerilya, juga nyata dan maya. Mas Bon telah dengan nyata menyuguhkan sebuah gagrag dalam memperjuangkan sastra Jawa. Izinkanlahn saya menyebutnya sebagai gagrag bonarian. [suara merdeka, minggu, 30 Oktober 2011)

Jumat, 27 Januari 2012

Ukum mung Galak marang Wong Cilik

Gek iki jaman apa ta ya? Pendhak melek nonton televisi utawa maca koran, saben-saben mung wong gedhe, para pejabat, padha eker-ekeran rebut bener, rebut kuwasa. Sajak padha lali ayahan kang kudu diemban kadidene pamong, momong rakyat, ngayomi wong cilik. Ukum kang kudu dijejegake kanggo ngudi adil, amrih negara ayem tentrem, malah galak-e mung yen ngadhepi wong cilik. Yen adhep-adhepan karo wong gedhe, pejabat, panguwasa, bebasan nglumpruk tanpa daya.

Saka palapurane media cetak apadene elektronik bisa kinawruhan manawa saiki jantraning ukum ing Indonesia lagi ruwet ora karuwan. Wiwit jamane Sengkon-Karta, prekara wadon tuwa nyolong woh coklat/kakau mung telung iji, Si Kholil sing nyolong semangka siji merga mung prelu arep dipangan ing sawijining awan ngenthang-enthang ing tlatah Kediri, Jawa Timur, prekarane Prita Mulyasari kang malah dilorobake menyang pakunjaran, kamangka niyate mung arep ngudi adil, prekara wong wadon kang trima nggajuli/makili dadi napi ing Bojonegoro, nganti kang dinane iki isih anget dadi rembug: prekara sandhal jepit, kabeh nuduhake manawa ukum ing negara iki mung landhep mengisor, nanging kethul mendhuwur. Kethul mendhuwur, katitk saka prekara-prekara gedhe: BLBI, Century, Mafia Pajek, Mafia Hukum, seprana-seprene isih pijer kompal-kampul ing donyaning pakabaran, ora cetha jluntrunge.

Wus dikawruhi ngakeh saka maneka-warna sumber pakabaran, kepriye nasibe wong cilik yen wis nyemplung pakunjaran, mlebu bui, apa kuwi pancen murwat karo kadurjanan kang ditindakake apadene mung kalorob merga ora bisa nyewa pengacara gamben kang bisa cilike ngenthengake, gedhene mbebasake saka paukuman. Miturut gotek, ana sing dipilara kaya dianggep dudu manungsa, ana sing trima nglalu gantung dhiri sajroning pakunjaran kuwi, lan liya-liyane. Nanging yen wong gedhe (diarani gedhe amarga kalungguhane utawa saka akehe dhuwite) bisa nyulap kamar pakunjaran dadi kaya kamar hotel berbintang. Ana uga sing kamar pakunjarane malah mung kanggo ampiran, ing saliyane wektu kanggo nglakoni urip bebas mblakrak tekan ngendi-endi, malah uga nglencer menyang luwar negri.

Pancen angel dinalar. Wong mung nyolong semangka siji wae kok diancam ukuman 5 taun. Rugine sing duwe semangka ya mung saregane semangka siji kuwi. Bisa ora kepetung rugi, kepara malah isih kudu nomboki yen kuwi dilebokake jatah (kuwajiban) zakat –yen kang kawogan nggunakake paugeran mbayar zakat. Utawa, lamon dieklasake kadidene sedhekah, apa kabotan tenan? Sejene kuwi, prayogane wong Jawa kuwi rak ngelingi unen-unen, ”Tuna satak bathi sanak,” ta? Apamaneh sing nyolong semangka kuwi isih klebu tanggane dhewe. Yen olehe ngetung tuna apa bathi ora mung kanthi dhuwit, endi sing luwih aji: semangka siji apa sesambungan paseduluran, kekadangan, rukun karo tanggane?

Yen kanyatane kaya mangkono kuwi, apa bisa diarani yen ukum wis bisa nindakake ayahane: njejegake adil? Apa ukum wis ditindakake kanggo ngayomi bebrayan? Apa lembaga pemasyarakatan bisa dadi ”sekolahan” kareben para durjana bisa sinau urip dadi wong becik? Apa malah dadi sekolahan amrih dadi durjana kang sangsaya ”sekti”?

Gajah Ngidak Rapah

Kang sangsaya nyedhihake, akeh kadurjanan kang pranyata malah ditindakake dening paraga kang pinracaya nyekel bang-bang pangalum-aluming praja –saka tataran kelurahan nganti sapendhuwur— uga dening paraga-paraga kang dipasrahi amanat mligi kanggo njejegake adil: pulisi, jeksa, hakim. Ngono kuwi rak ya wis aran sungsang bawana balik?

Hakim, jeksa, pulisi, lan paraga-paraga saka bebadan kang ingaran DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) malah akeh kang mlebu pakunjaran. Iku wae mung sing kewiyak. Liyane, sing satemene klebu murwat lamon dilebokake pakunjaran nganti tetaunan, mbokmanawa luwih akeh –tinimbang kang wis dikunjara. Iku kabeh paraga-paraga kang diarani ”Gajah ngidak rapah.” Ya kuwi paraga-paraga kang duwe wenang gawe lan njejegake ukum, nanging nyatane malah tumindak nerak ukum.

Paraga-paraga kang kudune dadi panutan, tibake malah aweh conto tumindak nistha. Wis bayarane gedhe, tunjangan maneka-warna, urip mubra-mubru, tibake isih akeh kang padha kanthi slinthutan nyaut kene, nyaut kana. Rakyat kaya-kaya wis padha kelangan panutan. Yen wis kaya mangkono, saka ngendi maneh olehe arep nyangkani mangun bebrayan kang kebak kautaman?

Ana pitutur ing serat Tripama, ora mung tumrap para prajurit, nanging uga kabeh pawongan, luwih-luwih kang sinebut pamong utawa pejabat, narapraja, prayogane ngugemi ” … triprakara: guna kaya purun ingkang den antepi, nuhoni trah utama”. Emane, saiki kaya wis padha kelangan lacak, trah-e sapa sing arep dienut!

Bebungah lan Pidana

Ing kahanan sungsang bawana balik, ya jaman sungsang-sarik, wong nistha malah dialembana, dene sing tumindak utama malah disiya-siya, dipilara, dipidana. Iki kaya janturane ki dhalang nalika miwiti adegan Gara-gara. Mbokmanawa kahanan saiki iki memper karo Gara-gara ing pakeliran. Alam-e murka, lindhu bumi gonjing, gunung njeblug, pereng jugrug, samodra rob, banjir, udan salah mangsa, lan sapiturute. Manungsane ya padha bilulungan kaya gabah deninteri. Laku durjana mratah ing ngendi-enti, sedulur manjing satru, memungsuhan, paten-pinaten kaya padha ora ngreti tata. Sing jeneng demonstrasi dumadi saben dina. Rakyat adhep-adhepan karo aparat, aparat malah sok tawur karo sapepadhane aparat.

Ora pejabat, ora rakyat, kabeh padha bilulungan. Padha mbingungi. Kabeh padha lalen-lalen, ora ngreken unen-unen, ”Sabeja-bejane kang lali isih luwih beja kang eling lawan waspada,” (Ronggowarsita: Kalatidha) sajak wis diplintir dadi, ”Sakpenak-penake sing eling, isih luwih penak sing lali lan kuwasa.”

Jroning lali, pamarentah utawa bebadan resmi sok malah banjur kaladuk ngalembana, aweh bebungah, marang paraga apadene bebadan kang satemene bisa nuwuhake prakara, kaya ta gelar Dr. Hc. kang ditibakake marang Raja Arab Saudi sawatara wektu kepungkur, jroning kahanan akeh wanita pramuwisma kang dipilara, gedhene malah pinatrapan pidana pati ing kana. Uga pangaji-aji marang Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia kang dianggep becik, luwih didhisikake diwenehi penghargaan tinimbang bebadan-bebadan sosial, lan uga para pekerja migran kang wus nuduhake bektine kanggo ngayomi kaum-e.

Jejeging adil kudune bisa winangun kanthi patitis miji-miji, milah-milih, endi utawa sapa kang pantes pinaringan bebana, lan endi utawa sapa kang kudu dipatrapi pidana. Angger isih kerep klera-kleru ing bab iki, tangeh bisane adil dijejegake.

Badan Intelijen

Dhek biyen ana buku sejarah kanggo murid sekolah dasar (SD) kang ngemot saweneh crita ngenani Kraton Kalingga. Embuh piye persise, ukara-ukara kapisane kira-kira mangkene: ”Pada abad ketujuh, berdirilah sebuah kerajaan. Kerajaan Kalingga namanya. Rajanya seorang putri, Shima namanya,” lan sateruse. Ratu Shima digambarake kadidene ratu kang adil. Adhine dhewe kang kadenangan tumindak durjana, dipatrapi ukum, dikethok sikile. Uga kacarita, paukuman iku dipatrapake merga tumindak kadurjanan-e konangan langsung (tertangkap basah) ing sawijining wengi, nalika Sang Ratu lagi namur-lampah nitipriksa kahanane rakyate. Lakon-lakon namurlaku (miturut dedongengan) uga kerep ditindakake dening Raja Harun Ar-Rasyid ing Bhagdad.

Dudutan kang bisa dipethik, saka crita-crita kuwi bisa kinawruhan manawa fungsi bebadan intelijen lumaku kanthi becik. Saiki, ing negara iki, angger disebut tembung ”badan intelijen” kang paling gumawang dhisik dhewe yaiku anane ancaman katentreman saka pihak teroris lan sapiturute. Prekara-prekarane rakyat cilik, kang ngancam rakyat cilik lan dianggep ora ngancam ”negara” kaya-kaya luput saka kawigaten.

Untunge isih ana kang aran media cetak apadene elektonik. Kabukten, meh kabeh prakara ukum kang gegayutan karo wong cilik banjur dadi kawigaten awit saka gumregute para jurnalis, awis saka anane media cetak apadene elektronik kang saiki ora dibungkem dening pamarentah kaya jaman kang wus kawuri. Muga-muga ora panggah kandheg mung rame ing pakabaran. Nuwun. [Bonari Nabonenar/Suara Merdeka]

Senin, 23 Januari 2012

Komunitas Suket Indonesia dan Silaturahmi Budaya

Tadi malam 22 Januari 2012, saya menonton teater, lakon Negri Sungsang yang dipentaskan oleh Komunitas Suket Indonesia, di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Luar biasa menariknya, menurut saya! Mengapa? Nanti saja. Sekarang, kita simak dulu apa dan siapa Komunitas Indonesia, melalui catatan yang dibuat oleh Riris D Nugrahini melalui media Facebook dan dibagikan pula melalui Grup Dewan Kesenian Jawa Timur ini:

--Komunitas Suket Indonesia (KSI) adalah bagian kecil dari masyarakat umum, dan dengan kecilnya itulah KSI mencoba senantiasa untuk belajar kepada masyarakat baik secara umum maupun khusus. Menimba ilmu, pengetahuan, ketrampilan dan apapun. Belajar untuk saling bersentuhan dengan media kesenian – kebudayaan. Dengan harapan untuk bisa menyentuh sisi kemasyarakatan dan kearifan lokal.

Sehingga dalam kehadiran KSI, besar harapan kami untuk tidak hanya berlangsung suatu pertunjukan panggung dimana ada yang ditonton dan ada yang menonton, namun lebih jauh lagi ada kemungkinan ruang untuk berbagi (sharing) bahkan diaplikasikan langsung dengan masyarakat setempat dan bermanfaat untuk bersama. Tumbuhnya budaya, apapun namanya, tetap harus dimulai dari potensi lokal masing-masing, minimal menjadi persaudaraan lahir dan batin.

Jika kemudian dalam persinggungan itu muncul suatu yang besar, manfaat yang panjang, maka yang besar bukanlah KSI. Yang tumbuh, yang ada, yang berkembang, adalah murni pelaku-pelaku didalamnya dengan segala bentuk perjuangan yang dilakukan dalam mencari pemanfaatan yang nyata.

Pada kesempatan ini, KSI, bersama Komunitas Jaran Kepang WAHYU BUDAYA Mojowarno – Jombang, kembali berproses dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya pada tempat-tempat yang akan dikunjungi dalam proses NEGRI SUNGSANG ini.

RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Minggu, 22 Januari 2012
Bekerjasama dengan Sanggar Anugerah Desa Wisata Budaya Njono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro
Lokasi Pertunjukan : Sanggar Anugerah Njono
Waktu Pertunjukan : 19.30 wib

B. Senin, 23 Januari 2012
Bekerjasama dengan Karang Taruna Desa Maibit, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban
Lokasi pertunjukan : Balai Desa Maibit
Waktu Pertunjukan : 19.30 wib
Dengan rangkaian kegiatan latihan gabungan bersama beberapa komunitas teater di wilayah setempat dan sharing bersama petani setempat untuk praktek pembuatan insektisida organik.

C. Sabtu, 28 Januari 2012
Bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Blora, Komunitas Mobil Kawuk Mbloro (KMKM), Jamaah Shalawat Embongan Blora, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Blora.
Lokasi Pertunjukan : Gedung Sasana Bakti, Alon-alon Blora
Waktu Pertunjukan : 19.30 wib
Dengan rangkaian kegiatan diskusi tentang kearifan lokal yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Blora dan BEM se-Blora.

D. Minggu, 29 Januari 2012
Bekerja sama dengan Kelompok Tani Kecamatan Cepu dan Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Cepu.
Lokasi Pertunjukan : Aula SD Sumberpitu, Cepu
Waktu Pertunjukan : 19.30 wib
Dengan rangkaian kegiatan sharing bersama petani setempat untuk praktek pembuatan insektisida organik.**--



Dengan Kepala Desa Mojowarno (Jombang) sebagai Ketua Rombongan yang mengantar KSI ke Desa (Wisata) Jono, peristiwa ini sungguh menjadi peristiwa budaya yang sangat asyik! Saya melihat ini sebagai bentuk silaturahmi budaya yang sangat bagus, di tengah-tengah kondisi masyarakat yang nyaris dipenuhi pertikaian antarkampung, perkelaihan pelajar, bentrok supporter, dan lain-lain itu.

Saking bagus dan strategisnya, menurut saya model-model seperti ini layak ditradisikan. Jika saja tradisi semacam ini bisa dibangun di antara desa-desa (antardesa) yang ada di wilayah Kabupaten Trenggalek untuk menggantikan model ”Safari Kesenian” made in Orde Baru itu, alangkah bagusnya, ya?* [bonari nabonenar/foto: Pakdhe Uban]

Minggu, 08 Januari 2012

PENIPUAN MODUS BARU

BI sdh memblokir 1.702 rekening yg disinyalir merupakan rekening utk menampung hasil kejahatan dengan nilai Rp 3.2 milliar (baca detik.com)

1. Sms minta pulsa, sms transfer ke rekening tertentu ini sdh ber-evolusi menjadi sms masuk dgn kalimat : hi ini siapa ya? Atau sms minta nama & alamat seolah mau kirim undangan nikah, yg membuat org iseng sms balik utk tanya balik dan dgn otomatis akan register content 2rb/sms tiap hr kena potong.

2. Sms nawarin e-ticket pesawat dgn harga murah: jika kita terjebak, mrk akan tanya nama, umur, tujuan & data detail, mrk akan book sesuai permintaan & akan minta kita check sendiri ke maskapai utk menyakinkan nama kita sdh ter-booked di slh satu penerbangan, setlh kita check & mmg bnr sdh ter-booked, mrk akan minta kita bayar, setlh bayar maka mrk akan lgsg cancel ke maskapai yg sdh kita book, akhirnya kita tdk akan dpt ticket tsb

3. Sms penawaran hp/electronic murah: sama modus nya, begitu kita reply sms nya kita akan otomatis ter-register content & akan terpotong 2 rb/sms tiap hr kena potong.

4. Pura2 ☎ slh sambung & missed call, mrk akan sms minta maaf salah ☎, kalo kita iseng ladenin sms bilang : g>:/ pa2, maka otomatis akan ter-register content lg yg kena 2 rb/ sms setiap hr kena potong ( ZR ) met pagi man teman.. Have a nice day..... salam*


Informasi buat teman semua yg saya copy dari teman di FB (Yuntri Djunaedi), mudah2an ada manfaatnya.

--dikopipaste dari FB Pak DH Abadinar

AKU RINDU

aku rindu
tumbuh pohon jambu
di depan rumahku
dan angin mengelus kembang
sambil bersiul


aku rindu
pohon-pohon kembali tumbuh
di bukit di hutan mengepung kampungku
aku rindu santhiyet dan markisah menjalar
liar!

aku rindu
pohon dan perdu tumbuh berpacu
sebab di ditulah aku membaca kemerdekaan
bukan di rimbun pinus yang dipaksakan
atas nama keberlangsungan
industri pengolahana getah itu

aku rindu
hutan tempat aku bermain
sambil belajar merasakan tusukan
dan barutan duri semak
di antara hidup yang keras dan yang lunak
yang indah dan yang menantang

kapan hutan dikembalikan
dari lipatan
untuk menambal peta
kawasan bencana dan terdampak

bergegaslah
sebelum kota-kota yang kaubangun
tenggelam ketika kau nyenyak
hingga rinduku pun kehilangan alamat
ketika kelak semua lumat

Sawojajar, 2012

Rabu, 04 Januari 2012

S A N T H I Y E T

Maka ketahuilah, salah satu tanda bahwa hutan kita sudaha begitu parah adalah ketika anak-anak kita sudah tidak kenal lagi dengan “Santhiyet”. Anda bisa menjadi salah seorang penyelamat dengan cara menanam di pekarangan, di pagar atau di mana. Buahnya rasanya manis. Kambing pun begitu menyukai daunnya!

RATU THE GRIP: wahahahahahaha.. jenenge santhiyet tho... wakakakakakk.. bbrp hari lalu q juga lihat di hutan. cm g tau nama nya.. tapi q tau enak di makan.. q suka skali

ANA SEPTIANINGRUM: nggen kula nek ngarani pelikethek..amargi pliket2

WAHYU SUSILO:
Neng kampungku jenenge "konth*l jemb*ten" hehehe…

HADI UTOMO:
Wonten daerah Tegal dipun wastani "ciplukan". Kalebet taneman liar, thukul piyambak wonten pekawisan ingkang rungkut.Menawi sampun mateng werninipun jene utawi abrit nem,raosipun manis radi kecut.Panci leres,lare2 alit remen madosi.

TRI ENDAH EW:
wonten Jombang diwastani rombusa, wonten ugi ingkang mastani rembusa.

DJOKO PRAKOSA:
itu namanya buah kontholangin....dinggo tambah anyang-anyangen

NANIK AGUSTIN:
ndek bantur jenenge cimplonan,legi bnget lek wis mateng.

IIN RACHMAWATI ABAD:
Santhiet ingkang kados menika tasik wonten ing pekarangan wingking griya kula :) –omahe Watulimo, peny.

MEILASARI:
menawi ing desa kula, Genteng-Banyuwangi, menika dipun sebat "cemplukan dhor" :D

--Terima kasih kepada kawan-kawan Facebooker, yang telah sudi berkomentar. [bonari]