Kamis, 29 Januari 2009

Menjadi Jawa dengan Makna

Oleh Siti Aminah

Globalisasi Bukan Sekedar Kemajuan Teknologi
Banyak kalangan berpendapat globalisasi adalah keniscayaan atau sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Bagi kalangan tersebut, globalisasi dianggap sebagai sesuatu yang baik, karena mampu memperkecil jarak dan perbedaan antar bangsa, meluaskan akses informasi, dan meningkatkan perdagangan internasional.


Jika dirunut lebih jauh, arti kata globalisasi sebenarnya lebih banyak merujuk pada ekonomi dan perdagangan dari pada penyatuan bangsa-bangsa di muka bumi seperti yang sering didengungkan. Konsep globalisasi berakar pada pemikiran dan kepentingan negara maju di belahan bumi Utara, sehingga dalam pelaksanaannya sangat bias dengan kepentingan-kepentingan negara Barat atau Utara. Paradigma Barat dianggap global dan universal sementara non-barat dianggap lokal dan primitif. Itulah kenapa globalisasi tidak pernah berjalan secara adil dan setara.

Globalisasi diawali dengan niatan negara Utara membuka pasar di negara Selatan. Bukan hanya pasar untuk produk-produk berteknologi tinggi yang belum mampu diproduksi oleh negara selatan, melainkan juga produk-produk yang telah dapat diproduksi sendiri oleh negara tujuan. Selain perluasan pasar, negara Utara juga berkepentingan untuk mendapat jatah penguasaan sumber daya alam yang saat ini sebagian besar terdapat di Selatan. Tak heran jika kawasan Asia dan Afrika menjadi bulan-bulanan negara besar karena di kedua benua tersebut (terutama Afrika) industri belum cukup maju dan sumber daya alam masih melimpah.

Dengan demikian, globalisasi tak bisa dipisahkan dengan perkembangan paham kapitalisme, yakni terbukanya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan trans nasional yang dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdaganan baru di bawah aturan organisasi perdagangan bebas. Hal lain yang tak dapat dilepaskan dari globalisasi adalah berkembangnya telekomunikasi, elektronika, dan bioteknologi yang juga dikuasai perusahaan transnasional. Dengan segala yang melekat padanya, globalisasi mencoba menyakinkan rakyat miskin di Dunia Ketiga akan kesejahteraan, harapan, dan kebaikan bagi umat manusia. Dalam kenyataannya globalisasi justru lebih banyak melahirkan pemiskinan, marjinalisasi, dan masalah-masalah keadilan sosial.

Cikal bakal globalisasi yang terjadi saat ini sebenarnya sudah muncul sejak akhir perang dunia kedua, dimana ilmuwan-ilmuwan sosial mengembangkan sebuah teori yang sering disebut sebagai teori pembangunan atau developmentalisme. Selain untuk membendung pengaruh dan semangat antikapitalisme, developmentalisme dikembangkan untuk mengganti formasi sosial kolonialisme yang mulai runtuh. Banyak negara jajahan di kawasan Asia dan Afrika memerdekakan diri setelah ratusan tahun menjadi korban ekspansi secara fisik kapitelisme di Eropa. Wacana developmentalisme sendiri pertama kali muncul tahun 1949, saat Presiden Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahnya. Sejak itu developmentalisme resmi menjadi kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Pada masa selanjutnya, para pakar ilmu sosial Amerika mengembangkan dan berhasil menciptakan teori development dan modernisasi (Rostow, McClelland). Salah satu hasil studi penting mereka adalah gagasan pembangunan dan modernisasi harus menjadi pilar utama bagi kebijakan program bantuan dan politik luar negeri Amerika. Sebagai sebuah alat dominasi baru, temuan ini pun segera didesiminasikan ke seluruh negara di Dunia Ketiga yang merupakan target utamanya. Pertama, melalui pengaruh Amerika karena negara besar ini diyakini memiliki pengaruh besar dalam perencanaan politik-ekonomi negara-negara di dunia. Kedua, mendidik para pemimpin Dunia Ketiga melalui serangkaian training atau perjalanan observasi ke Amerika. Ketiga, menggunakan sarana agama. Keempat, menggunakan fungsi riset lembaga-lembaga atau universitas Amerika yang bekerja di luar negeri.

Dengan cara-cara itulah developmentalisme berkembang ke setiap negara hingga ke pelosok-pelosok desa di Indonesia, termasuk pelosok Jawa. Ideologi developmentalisme yang kemudian di Indonesia dikenal dengan pembangunan dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi, sosial, dan politik yang sangat tertata dan terencana.

Namun setelah lebih lima puluh tahun berjalan, ternyata semua pendekatan pembangunan gagal memenuhi janjinya menyejahterakan rakyat di Dunia Ketiga. Pembangunan tidak mampu menjangkau orang miskin di dunia, sekalipun target khusus pembangunan adalah rakyat miskin di Dunia Ketiga. Meski developmentalisme tengah berada dalam masa krisis, namun belum ada teori yang kuat dan mampu menjadi alternatif bagi developmentalisme.

Saat krisis pembangunan belum berakhir, ternyata sebuah pola dominasi baru telah disiapkan. Inilah era baru di mana kita berada saat ini. Sejak tercapainya kesepakatan perdagangan internasional yang dikenal dengan Putaran Uruguay tahun 1994, sebuah rezim baru mulai bercokol di muka bumi ini.

Globalisasi juga dilengkapi dengan seperangkat alat kekuasaan yang satu dengan lainnya tak dapat dipisahkan. Mereka adalah seperangkat kesepakatan dan aturan dagang internasional yang dilembagakan (World Trade Organisation dan organisasi-organisasi sejenis), perusahaan-perusahaan trans nasional (TNCs), dan lembaga keuangan internasional.

Masyarakat Jawa dan Budaya yang Dimatikan
Seperti halnya data kependudukan umumnya, tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Jawa saat ini. Namun beberapa sumber menyebut 40% - 45% penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 235 juta ini adalah etnis Jawa. Sebagian besar dari mereka tinggal di pedesaan dan menjadikan pertanian sebagai tumpuan hidup utama.

Tidak berbeda dengan sektor lain, sektor pertanian juga tak lepas dari agenda ekonomi-politik global. Revolusi Hijau merupakan sebuah contoh bagaimana mesin ekonomi-politik globabal menggilas pertanian di Indonesia, termasuk Jawa. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sebagai pelaksana teknis developmentalisme ini bukanlah program pertanian semata, melainkan sebuah strategi melawan tradisionalisme. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, beragam pengetahuan pertanian manusia di muka bumi mengalami penggusuran besar-besaran dan dijadikan satu pola pertanian saja.

Program modernisasi pertanian didukung oleh lembaga-lembaga penelitian besar seperti International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina dan International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT) di Mexico. Saat ini di dunia terdapat 13 lembaga riset sejenis yang dikelola dan dikembangkan oleh The Consultative Group for International Agricultural Research (CGIAR) yang merupakan tulang Revolusi Hijau.

Akibat dari program ini ribuan varietas tanaman tradisional tergusur. Lebih parah lagi, petani menjadi tergantung pada industri benih dan tak lagi mampu mengontrol serta mereproduksi benihnya sendiri. Benih telah berubah menjadi sumber kentungan dan kontrol karena di tangan lembaga penelitian dan perusahan-perusahaan transnasional benih merupakan komoditi komersial.

Bukan itu saja. Revolusi Hijau ternyata juga menjadi sebuah program untuk menyingkirkan atau melemahkan pengetahuan rakyat. Budaya pemuliaan benih dibabat habis sebagai bentuk kontrol penguasaan pasar. Bahkan tak jarang, petani yang dengan pengetahuan tradisionalnya melakukan pemuliaan benih sendiri dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pembenihan ilegal (kasus Mbah Suko Magelang, Suprapto dan Tukirin). Selain itu Revolusi Hijau juga telah menggusur perempuan dari aktifitas mereka di sektor pertanian. Tipe padi dan teknologi baru yang dikenalkan secara sistematik mengabaikan dan menggusur peran perempuan. Dengan demikian budaya pertanian Jawa sebenarnya telah dimatikan.

Jawa, Pangan, dan Kedaulatan
Dalam hal pangan, negeri kita penuh ironi. Sebagai sebuah negeri dengan tanah yang subur, kaya keragaman hayati, serta sebagian besar rakyatnya hidup dari pertanian, mestinya pangan tidak menjadi masalah di sini. Namun kenyataannya, setiap tahun ada saja persoalan kelangkaan pangan dan kelaparan. Bahkan ketergantungan Indonesia terhadap produksi pangan impor, termasuk beras masih cukup tinggi.

Dalam kenyataannya, kelaparan bukan semata kelangkaan sumberdaya dan teknologi, melainkan sebuah pilihan politik baik nasional maupun global. Negara dapat mengambil keputusan politik untuk memastikan warga negaranya tidak lapar dengan menghidupkan kembali keberagaman dan pengembangan pangan berdasarkan keunggulan lokal.

Banyak kasus kerawanan pangan di Indonesia mengacu pada tercukupinya persediaan beras di suatu wilayah. Jika acuan kecukupan pangan tetap saja digantungkan pada beras, mungkin bangsa Indonesia akan terus dihantui kerawanan pangan karena tidak semua wilayah di Indonesia menghasilkan beras. Bahkan di Jawa yang memiliki produktifitas padi tertinggi di Indonesia (5,2 ton/Ha) tidak semua daerahnya dapat ditanami padi sepanjang tahun. Sementara kecukupan pangan terlanjur ditambatkan pada satu komoditas saja, beras.

Berasisasi yang berjalan seiring dengan Revolusi Hijau bukan saja memunculkan kerawanan pangan, melainkan juga menghabisi kekayaan hayati negeri ini. Berbagai tanaman pangan lokal (umbi-umbian) punah karena dihakimi sebagai sumber pangan yang tidak bergizi. Ketika kerawanan pangan berkali-kali menjadi ancaman, wacana kembali ke pangan lokal baru mulai dimunculkan. Terlanjur rakyat terbiasa dengan beras, sehingga gerakan kembali ke pangan lokal ini tidak cukup mendapat tempat. Apalagi gerakan ini hanya dilakukan setengah hati karena beras sudah menjadi komoditas baik pengadaan benih maupun perdagangannya. Dengan demikian masyarakat Jawa telah kehilangan kedaulatan pangannya. []

0 komentar:

Posting Komentar