Senin, 29 Desember 2008

Menjadi Pengusaha Mebel di Kampung


Antara Tradisi Sambatan dan Cari Untung



Muntoha dan Sukirno, dua kakak beradik warga Rt 29 Rw 15 Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek ini semula tak pernah bercita-cita menjadi tukang mebel.
Ketrampilan membuat mebel yang dimilikinya pun diperoleh karena mereka sering ikut sambatan (bekerja hanya dengan diupah makan, Red) di tetangga-tetangganya. Lalu mereka mulai bisa membuat pintu, meja, kursi, almari dan lain-lain untuk kebutuhan rumah sendiri.



Setelah masyarakat di lingkungannya banyak yang tahu bahwa hasil garapan mereka cukup bagus, seorang-dua orang tetangga lalu minta tolong untuk membuatkan mebel. Ada yang bahannya diantarkan ada juga yang menyuruh mengerjakan di rumah yang membutuhkan.

Pekerjaan ini sudah dijalani hampir 8 tahun. Awalnya, peralatan yang digunakan cukup seadanya. Namun, seiring dengan semakin meningkatnya order maka dibelilah peralatan yang menggunakan listrik, antara lain gergaji, dan ketam.

Pekerjaan yang bisa dilayani adalah pembuatan gawang pintu beserta daun pintunya, meja-kursi, almari, jendela, dipan dan lain-lain.

’’Tergantung dari pemesannya. Jenis apa saja asal ada gambar atau contoh serta ukurannya kalau saya bisa pasti saya kerjakan, yang penting bahannya di antar ke sini,’’ ujar Sukirno.

’’Pesanan biasanya berganti-ganti, kalau pas banyak orang yang membuat rumah kebanyakan pesanannya adalah membuat kerangka pintu dan jendela serta daunnya, selain itu ada saja orang menyuruh membuatkan meja atau almari,’’ tambahnya.

Pada bulan Puasa yang lalu Muntoha mengaku dapat order 5 buah dipan, 15 jendela, dan 8 buah daun pintu.

’’Pesanan untuk bulan ini semuan bahannya sudah diantarkan dan mereka rata-rata minta diselesaikan sebelum hari raya, makanya mau-tidak mau harus saya lembur,’’ ujar Sukirno.

Biaya atau ongkos mengerjakan masing-masing pesanan tidak sama tergantung dari jenisnya. Menurut penuturannya ia hanya mengambil ongkos kerjanya saja sedangkan bahan-bahan semua dari pemesan.

Ongkos pembuatan Almari ukuran kecil 120 x 180 Rp 250.000 untuk yang ukuran 16 x 180 ditarik Rp 300.000, daun pintu Rp 150.000, dipan Rp 150.000, jendela Rp 50.000/ daun. Gawang Rp 20.000/plong.
Semua itu hanya ongkosnya saja sampai selesai, sedangkan pembelian bahan-bahan untuk finishing yang beli adalah pemesannya.

Sampai saat ini Muntoha dan Sukirno ini hanya menyediakan jasa saja. Mereka belum bisa memenuhi pesanan barang jadi, karena belum bisa menyiapkan bahan baku (kayu)-nya.

’’Kendala utama bila ada orang yang ingin membeli mebel adalah saya tidak punya kayunya (bahannya), makanya saya hanya sebatas membuatkan,’’ tutur Muntoha.

Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan 1 buah almari bila dikerjakan 2 orang adalah 5 hari, daun pintu 2 hari kerangka pintu rata-rata 2 buah/hari, sedangkan jenis lain rata-rata 2 hari.

Bila tidak ada orang yang memmbutuhkan jasanya pekerjaan lain dari dua kakak beradik ini adalah bercocok tanam selain memelihara beberapa ekor kambing. Dari hasil usahanya ini menurut Sukirno cukup bisa membantu ekonomi keluarganya.

’’Bila sedang sepi terkadang saya tinggal merantau. Biasanya ke Kalimantan untuk jangka 3 sampai 5 bulan untuk bekerja di bangunan atau di perkebunan sawit, tapi saya lakukan bergantian dengan kakak saya. Soalnya untuk njagani (berjaga) kalau ada orang memerlukan, salah seorang dari kami ada yang bisa melayani,’’ tutur Muntoha.

Kini, biarpun kakak-beradik ini telah menjalankan bisnis, bila dibutuhkan oleh tetangga-tetangganya untuk membantu pekerjaan yang ada kaitannya dengan urusan pertukangan ia tidak akan menolak. Masalahnya, tradisi sambatan di daerahnya masih tetap terjaga. [PUR]

0 komentar:

Posting Komentar