Selasa, 15 September 2009

Mengangkat Ketela dari ’’Kelas Dua’’

Sebelum tahun 1970-an ketela merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah kering. Tanaman ini dikenal mudah dibudidayakan karena tidak memerlukan perawatan dan jenis lahan khusus. Jika dilihat dari kandungan energinya, ketela memang lebih rendah (338 kal/100 gr) dibanding beras (360 gr/100 gr). Namun ketela memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi (81,3 gr/100 gr) dibanding beras (79,9 gr/100 gr). Sementara kadungan lemak kedua bahan tersebut sama.

Dengan kandungan gizi seperti itu, sebenarnya ketela tidaklah terlalu berbeda dengan beras. Artinya nasi tiwul seperti yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di daerah kering, tak serta-merta dapat dinilai tidak memenuhi kebutuhan gizi. ’’Kalau lauknya bagus, itu sudah sama dengan nasi (beras)’’, kata Khudori.

Di luar makanan pokok, ketela selama ini dikenal sebagai bahan baku tepung tapioka. Belakangan ketika krisis energi merebak, ketela menjadi salah satu bahan energi alternatif yang paling dicari. Di luar itu ketela ternyata memiliki kemanfaatan dalam dunia industri yang demikian besar. Sektor industri non-pangan membutuhkan ketela sebagai bahan dasar untuk pasta gigi, kosmetik, pemutih kertas, serta campuran kertas. Sementara industri pangan menjadikan ketela sebagai bahan gula rendah kalori, gula-gula, susu bubuk, maupun pakan ternak. Belum lagi berbagai jenis makanan baik yang diproduksi oleh industri besar maupun rumahan yang berbahan ketela maupun turunannya.

Beragamnya kebutuhan industri terhadap ketela semestinya menjadikan nilai jual komoditas tersebut meningkat. Ternyata tidak demikian. Ketela tetap menjadi koditas yang terpuruk harganya, sehingga petani hanya membudidayakannya sebagai sambilan saja. Jika digarap secara serius, ketela sebenarnya dapat menjadi jawaban terhadap ketergantungan tepung terigu yang selama ini hampir 100% diimpor oleh pemerintah Indonesia.

Dalam bentuk tepung, ketela lebih fleksibel. Selain dapat diolah menjadi berbagai bentuk makanan, tepung ketela juga akan lebih mudah disimpan dan tahan lama. Khudori menambahkan, pemasyarakatan ketela sebagai bahan pangan andalan ini juga sangat tergantung terhadap kemauan politik pemerintah. Ia mencontohkan bagaimana tepung terigu, membutuhkan proses dan waktu cukup lama hingga menjadi bahan pangan yang dibutuhkan banyak orang di Indonesia seperti saat ini. Bahkan sebagian telah menjadikan bahan pangan yang tak dapat tumbuh dengan baik di iklim tropis seperti Indonesia ini, sebagai bahan pangan utama.

Jika diupayakan dengan sungguh-sungguh, tentunya ketela mampu menjadi bahan alternatif terigu. Sehingga pemerintah tak perlu mengimpor lagi dan anggaran negara dapat dihemat. Syaratnya bahan itu harus tersedia secara cukup, ada di setiap tempat, dan bisa didapatkan setiap saat. Itu juga yang menjadi kunci keberhasilan kampanye terigu nasional. [sta]

0 komentar:

Posting Komentar