Selasa, 15 September 2009

Air, antara Kebutuhan dan Ancaman

Hari Air Sedunia diperingati tanggal 22 Maret. Tema peringatan tahun ini (2009), Berbagi Air, Berbagi Peluang untuk Hidup meneguhkan betapa sangat pentingnya air untuk kehidupan makhluk di bumi ini. Dapat dikatakan air merupakan sumber kehidupan, karena segenap makhluk hidup tidak mungkin melepaskan ketergantungan mereka terhadap air.

Begitu tingginya ketergantungan hidup makhluk di bumi ini terhadap air, sehingga krisis air yang sekarang terjadi, menjadi perhatian banyak negara di dunia ini. Dalam Forum Air Sedunia yang dilangsungkan di Istanbul, Turki, 16 Maret 2009, dipaparkan bahwa populasi dunia saat ini lebih dari 6,5 miliar jiwa. Diperkirakan jumlah ini meningkat menjadi 9 miliar pada pertengahan abad ke-21. Dengan jumlah populasi sebesar itu kemungkinan jumlah penduduk dunia yang mengalami kekurangan air akan meningkat menjadi 3,9 miliar jiwa pada 2030 (Koran Tempo, 23/3/09).

Seiring dengan laju pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi, krisis air tak dapat dihindari. Terlebih persediaan air bersih semakin berkurang akibat pencemaran lingkungan. Berkurangnya daerah resapan juga turut memperparah keadaan. Tak hanya kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya saja yang mengalami masalah dengan air. Kota-kota kecil seperti Puncak dan Trawas, yang merupakan tempat peristirahatan masyarakat perkotaan menghadapi masalah serupa.

Berdirinya hotel atau vila dan tempat-tempat hiburan lain menjadikan kebutuhan air bersih meningkat. Bahkan di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, perebutan air dari sumber Dlundung terjadi secara terbuka (Kompas, 16/3/09). Dalam kondisi demikian, masyarakat setempat menjadi pihak pertama yang merasakan dampak krisis karena kalah oleh pengusaha hotel maupun tempat hiburan yang memiliki modal kuat untuk mengakses sumber-sumber air yang ada.

Pada saat pembicaraan tentang krisis air serta berbagi air untuk kehidupan hangat bergulir, bangsa Indonesia dikejutkan oleh sebuah musibah. Tanggul Situ Gintung, Tangerang Selatan, Banten, jebol Jumat 27 Maret 2009 lalu dan menewaskan 100 warga yang bertempat tinggal di sekitar situ. Musibah ini begitu menyentak terlebih segenap bangsa Indonesia tengah memusatkan perhatiannya pada pemilu legislatif 9 April 2009 nanti.

Sekalipun Indonesia dikenal sebagai negeri bencana karena kondisi alam dan perilaku masyarakatnya, kejadian ini di luar dugaan banyak kalangan. Apalagi puncak musim hujan yang biasanya jatuh pada bulan Desember-Januari telah berlalu. Ini semakin menguatkan catatan bahwa di samping sebagai sumber kehidupan, air juga ancaman terhadap kehidupan.

Musibah tersebut segera saja menggiring perhatian masyarakat pada persoalan-persoalan air di negeri ini. Utamanya daerah resapan dan penampungan air di Jakarta dan sekitarnya yang semakin lama semakin merana. Menurut siaran pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Walhi (28/3/09), dari 193 situ di wilayah Jabodetabek 68% di antaranya dalam keadaan rusak. Sebagian bahkan telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, kawasan bisnis, dan tempat pembuangan sampah. Tentu saja ini dapat mengancam keamaan warga sekitar. Mengingat fungsi situ adalah sebagai tempat penampungan dan persediaan air, sehingga daerah tersebut akan terbebas dari banjir ketika musim penghujan datang dan menjadi cadangan air bersih saat kemarau tiba.

Ratusan jiwa hilang. Saatnya kita, semua pihak, menjadi lebih peduli, mengambil pelajaran dari peristiwa yang menelan ratusan jiwa itu. Lalu berbuat, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, termasuk, terutama, yang selama ini seolah atau memang terlupakan. [am]

0 komentar:

Posting Komentar