Selasa, 15 September 2009

Apa yang Salah dengan Ketela?

Ketela pohon atau kasava merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang cukup dikenal dan mudah didapatkan di negeri kita. Tanaman ini dapat hidup di berbagai tempat, bahkan di daerah kering sekalipun. Itulah sebabnya di kawasan pegunungan kapur dimana air sulit didapat, ketela pohon menjadi tanaman yang banyak dibudidayakan.

Trenggalek, sebuah kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang 70 persen wilayahnya terdiri dari pegunungan, ketela pohon adalah komoditas yang sangat dikenal. Bagi sebagian besar masyarakat Trenggalek yang tinggal di pedesaan dan menggantungkan hidup dari sektor pertanian, ketela pohon menjadi makanan andalan. Dapat dikatakan, para pegawai dan pengusaha saja yang dalam kesehariannya mengkonsumsi nasi beras. Sedangkan para petani, sehari-hari lebih akrab dengan nasi tiwul (dari bahan ketela pohon).

Ini disebabkan kondisi alam di daerah tersebut yang bergunung-gunung tidak memungkinkan padi tumbuh dengan baik. Hanya pada puncak musim penghujan saja padi dibudidayakan di sini. Itu pun tidak di semua lahan. Sehingga padi yang mereka hasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sepanjang tahun.

Paeran, warga Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek menuturkan, nasi tiwul merupakan makanan pokok bagi keluarganya dan sebagian besar keluarga lain di desanya. Sebab ketela pohon lebih mudah didapatkan di tempat tinggalnya. Sementara untuk dapat mengkonsumsi nasi beras, ia harus menukarkan terlebih dahulu hasil bumi yang dimiliki. ’’Lima puluh kilo ketela, mendapat tiga kilo beras,’’ katanya.

Itu pun jika harga beras Rp 5.000 per kilogram, sebab setiap kilogram ketela pohon hanya dihargai Rp 300 rupiah dari para petani. Saat harga rata-rata beras mencapai Rp 5.500 per kilonya seperti saat ini, harga ketela ternyata tak juga beranjak. Sehingga nilai tukar ketela terhadap beras semakin rendah.

Kondisi ini mencerminkan bahwa petani tidak memiliki posisi tawar terhadap harga komoditas yang mereka hasilkan. Terlebih komoditas tersebut selama ini mendapat label sebagai komoditas ’pinggiran’. Tak hanya di daerah perkotaan atau daerah penghasil beras saja ketela dianggap makanan kelas dua. Masyarakat yang tinggal di daerah kering dimana padi tidak dimungkinkan tumbuh dengan baik pun memiliki perasaan serupa. Tak heran jika sering dijumpai masyarakat di daerah ini merasa malu mengakui nasi tiwul sebagai makanan pokok sehari-hari.

Pengamat sosial ekonomi pertanian, Khudori, mengemukakan bahwa hal itu disebabkan oleh rekayasa negara lewat pembangunan pertanian dan adopsi Revolusi Hijau. Akibatnya pola makan masyarakat Indonesia yang unik dan beragam, tergantung dari potensi alam masing-masing, secara perlahan bergeser ke satu jenis pangan: beras.

Pergeseran dari berbagai jenis bahan pangan menjadi satu jenis saja yaitu beras pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Salah satunya kerawanan pangan yang berkali-kali terjadi di negeri kita. Permasalahan ini muncul karena saat ini hampir 100% masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras. Sementara tidak di semua daerah padi cocok untuk dibudidayakan.

Lebih jauh Khudori menandaskan, perubahan ini merupakan warisan Orde Baru yang menyandera pemerintah yang tengah berkuasa. Warisan tersebut memaksa pemerintah selalu siap menyediakan beras dalam jumlah yang cukup sepanjang tahun, di seluruh pelosok negeri dengan harga yang terjangkau oleh semua orang. Termasuk orang miskin sekali pun. Ini memunculkan berbagai persoalan ikutan. Ketika harga beras melonjak, pemerintah dianggap tak mampu menstabilkan harga kebutuhan pangan pokok. Sebaliknya jika harga beras anjlok, pemerintah dinilai tidak memiliki keberpihakan terhadap petani. Keduanya sama-sama berpotensi mengancam kestabilan negeri ini. [sta]

0 komentar:

Posting Komentar