Senin, 07 September 2009

Menuju Kedaulatan Pangan

Seperti halnya data kependudukan umumnya, tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Jawa saat ini. Namun, beberapa sumber menyebut 40% - 45% penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 235 juta ini adalah etnis Jawa. Sebagian besar dari mereka tinggal di pedesaan dan menjadikan pertanian sebagai tumpuan hidup utama.

Tidak berbeda dengan sektor lain, sektor pertanian juga tak lepas dari agenda ekonomi-politik global. Revolusi Hijau merupakan sebuah contoh bagaimana mesin ekonomi-politik globabal menggilas pertanian di Indonesia, termasuk Jawa. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sebagai pelaksana teknis developmentalisme ini bukanlah program pertanian semata, melainkan sebuah strategi melawan tradisionalisme. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, beragam pengetahuan pertanian manusia di muka bumi mengalami penggusuran besar-besaran dan dijadikan satu pola pertanian saja.

Program modernisasi pertanian didukung oleh lembaga-lembaga penelitian besar seperti International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina dan International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT) di Mexico. Saat ini di dunia terdapat 13 lembaga riset sejenis yang dikelola dan dikembangkan oleh The Consultative Group for International Agricultural Research (CGIAR) yang merupakan tulang Revolusi Hijau.

Akibat program ini ribuan varietas tanaman tradisional tergusur. Lebih parah lagi, petani menjadi tergantung pada industri benih dan tak lagi mampu mengontrol serta mereproduksi benihnya sendiri. Benih telah berubah menjadi sumber kentungan dan kontrol karena di tangan lembaga penelitian dan perusahan-perusahaan transnasional benih merupakan komoditi komersial.

Bukan itu saja. Revolusi Hijau ternyata juga menjadi sebuah program untuk menyingkirkan atau melemahkan pengetahuan rakyat. Budaya pemuliaan benih dibabat habis sebagai bentuk kontrol penguasaan pasar. Bahkan, tak jarang petani yang dengan pengetahuan tradisionalnya melakukan pemuliaan benih sendiri dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pembenihan ilegal (kasus Mbah Suko Magelang, Suprapto dan Tukirin).

Selain itu Revolusi Hijau juga telah menggusur perempuan dari aktivitas mereka di sektor pertanian. Tipe padi dan teknologi baru yang dikenalkan secara sistematik mengabaikan dan menggusur peran perempuan. Dengan demikian budaya pertanian Jawa sebenarnya telah dimatikan.

Penuh Ironi

Dalam hal pangan, negeri kita penuh ironi. Sebagai sebuah negeri dengan tanah yang subur, kaya keragaman hayati, serta sebagian besar rakyatnya hidup dari pertanian, mestinya pangan tidak menjadi masalah di sini. Namun, kenyataannya setiap tahun ada saja persoalan kelangkaan pangan dan kelaparan. Bahkan, ketergantungan Indonesia terhadap produksi pangan impor, terigu, berbagai jenis buah, dan bahkan beras masih cukup tinggi.

Dalam kenyataannya, biang kelaparan bukan semata kelangkaan sumberdaya dan teknologi, melainkan sebuah pilihan politik baik nasional maupun global. Negara dapat mengambil keputusan politik untuk memastikan warga negaranya tidak lapar dengan menghidupkan kembali keberagaman dan pengembangan pangan berdasarkan keunggulan lokal.

Banyak kasus kerawanan pangan di Indonesia mengacu pada tercukupinya persediaan beras di suatu wilayah. Jika acuan kecukupan pangan tetap saja digantungkan pada beras, mungkin bangsa Indonesia akan terus dihantui kerawanan pangan karena tidak semua wilayah di Indonesia menghasilkan beras. Bahkan, di Jawa yang memiliki produktivitas padi tertinggi di Indonesia (5,2 ton/Ha) tidak semua daerahnya dapat ditanami padi sepanjang tahun. Sementara kecukupan pangan telanjur ditambatkan pada satu komoditas saja: beras.

Berasisasi yang berjalan seiring dengan Revolusi Hijau bukan saja memunculkan kerawanan pangan, melainkan juga menghabisi kekayaan hayati negeri ini. Berbagai tanaman pangan lokal (umbi-umbian) punah karena dihakimi sebagai sumber pangan yang tidak bergizi.

Ketika kerawanan pangan berkali-kali menjadi ancaman, wacana kembali ke pangan lokal baru mulai dimunculkan. Telanjur rakyat terbiasa dengan beras, sehingga gerakan kembali ke pangan lokal ini tidak cukup mendapat tempat. Apalagi gerakan ini hanya dilakukan setengah hati karena beras sudah menjadi komoditas baik pengadaan benih maupun perdagangannya.

Selain merupakan tawaran bisnis yang prospektif, kali ini kita turunkan laporan mengenai upaya mengembalikan harkat bahan pangan lokal (ketela), sebagai salah satu upaya mempercepat langkah menuju kedaulatan pangan itu. [siti aminah]

0 komentar:

Posting Komentar