Selasa, 15 September 2009

Mengangkat Ketela dari ’’Kelas Dua’’

Sebelum tahun 1970-an ketela merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah kering. Tanaman ini dikenal mudah dibudidayakan karena tidak memerlukan perawatan dan jenis lahan khusus. Jika dilihat dari kandungan energinya, ketela memang lebih rendah (338 kal/100 gr) dibanding beras (360 gr/100 gr). Namun ketela memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi (81,3 gr/100 gr) dibanding beras (79,9 gr/100 gr). Sementara kadungan lemak kedua bahan tersebut sama.

Dengan kandungan gizi seperti itu, sebenarnya ketela tidaklah terlalu berbeda dengan beras. Artinya nasi tiwul seperti yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di daerah kering, tak serta-merta dapat dinilai tidak memenuhi kebutuhan gizi. ’’Kalau lauknya bagus, itu sudah sama dengan nasi (beras)’’, kata Khudori.

Di luar makanan pokok, ketela selama ini dikenal sebagai bahan baku tepung tapioka. Belakangan ketika krisis energi merebak, ketela menjadi salah satu bahan energi alternatif yang paling dicari. Di luar itu ketela ternyata memiliki kemanfaatan dalam dunia industri yang demikian besar. Sektor industri non-pangan membutuhkan ketela sebagai bahan dasar untuk pasta gigi, kosmetik, pemutih kertas, serta campuran kertas. Sementara industri pangan menjadikan ketela sebagai bahan gula rendah kalori, gula-gula, susu bubuk, maupun pakan ternak. Belum lagi berbagai jenis makanan baik yang diproduksi oleh industri besar maupun rumahan yang berbahan ketela maupun turunannya.

Beragamnya kebutuhan industri terhadap ketela semestinya menjadikan nilai jual komoditas tersebut meningkat. Ternyata tidak demikian. Ketela tetap menjadi koditas yang terpuruk harganya, sehingga petani hanya membudidayakannya sebagai sambilan saja. Jika digarap secara serius, ketela sebenarnya dapat menjadi jawaban terhadap ketergantungan tepung terigu yang selama ini hampir 100% diimpor oleh pemerintah Indonesia.

Dalam bentuk tepung, ketela lebih fleksibel. Selain dapat diolah menjadi berbagai bentuk makanan, tepung ketela juga akan lebih mudah disimpan dan tahan lama. Khudori menambahkan, pemasyarakatan ketela sebagai bahan pangan andalan ini juga sangat tergantung terhadap kemauan politik pemerintah. Ia mencontohkan bagaimana tepung terigu, membutuhkan proses dan waktu cukup lama hingga menjadi bahan pangan yang dibutuhkan banyak orang di Indonesia seperti saat ini. Bahkan sebagian telah menjadikan bahan pangan yang tak dapat tumbuh dengan baik di iklim tropis seperti Indonesia ini, sebagai bahan pangan utama.

Jika diupayakan dengan sungguh-sungguh, tentunya ketela mampu menjadi bahan alternatif terigu. Sehingga pemerintah tak perlu mengimpor lagi dan anggaran negara dapat dihemat. Syaratnya bahan itu harus tersedia secara cukup, ada di setiap tempat, dan bisa didapatkan setiap saat. Itu juga yang menjadi kunci keberhasilan kampanye terigu nasional. [sta]

Apa yang Salah dengan Ketela?

Ketela pohon atau kasava merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang cukup dikenal dan mudah didapatkan di negeri kita. Tanaman ini dapat hidup di berbagai tempat, bahkan di daerah kering sekalipun. Itulah sebabnya di kawasan pegunungan kapur dimana air sulit didapat, ketela pohon menjadi tanaman yang banyak dibudidayakan.

Trenggalek, sebuah kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang 70 persen wilayahnya terdiri dari pegunungan, ketela pohon adalah komoditas yang sangat dikenal. Bagi sebagian besar masyarakat Trenggalek yang tinggal di pedesaan dan menggantungkan hidup dari sektor pertanian, ketela pohon menjadi makanan andalan. Dapat dikatakan, para pegawai dan pengusaha saja yang dalam kesehariannya mengkonsumsi nasi beras. Sedangkan para petani, sehari-hari lebih akrab dengan nasi tiwul (dari bahan ketela pohon).

Ini disebabkan kondisi alam di daerah tersebut yang bergunung-gunung tidak memungkinkan padi tumbuh dengan baik. Hanya pada puncak musim penghujan saja padi dibudidayakan di sini. Itu pun tidak di semua lahan. Sehingga padi yang mereka hasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sepanjang tahun.

Paeran, warga Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek menuturkan, nasi tiwul merupakan makanan pokok bagi keluarganya dan sebagian besar keluarga lain di desanya. Sebab ketela pohon lebih mudah didapatkan di tempat tinggalnya. Sementara untuk dapat mengkonsumsi nasi beras, ia harus menukarkan terlebih dahulu hasil bumi yang dimiliki. ’’Lima puluh kilo ketela, mendapat tiga kilo beras,’’ katanya.

Itu pun jika harga beras Rp 5.000 per kilogram, sebab setiap kilogram ketela pohon hanya dihargai Rp 300 rupiah dari para petani. Saat harga rata-rata beras mencapai Rp 5.500 per kilonya seperti saat ini, harga ketela ternyata tak juga beranjak. Sehingga nilai tukar ketela terhadap beras semakin rendah.

Kondisi ini mencerminkan bahwa petani tidak memiliki posisi tawar terhadap harga komoditas yang mereka hasilkan. Terlebih komoditas tersebut selama ini mendapat label sebagai komoditas ’pinggiran’. Tak hanya di daerah perkotaan atau daerah penghasil beras saja ketela dianggap makanan kelas dua. Masyarakat yang tinggal di daerah kering dimana padi tidak dimungkinkan tumbuh dengan baik pun memiliki perasaan serupa. Tak heran jika sering dijumpai masyarakat di daerah ini merasa malu mengakui nasi tiwul sebagai makanan pokok sehari-hari.

Pengamat sosial ekonomi pertanian, Khudori, mengemukakan bahwa hal itu disebabkan oleh rekayasa negara lewat pembangunan pertanian dan adopsi Revolusi Hijau. Akibatnya pola makan masyarakat Indonesia yang unik dan beragam, tergantung dari potensi alam masing-masing, secara perlahan bergeser ke satu jenis pangan: beras.

Pergeseran dari berbagai jenis bahan pangan menjadi satu jenis saja yaitu beras pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Salah satunya kerawanan pangan yang berkali-kali terjadi di negeri kita. Permasalahan ini muncul karena saat ini hampir 100% masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras. Sementara tidak di semua daerah padi cocok untuk dibudidayakan.

Lebih jauh Khudori menandaskan, perubahan ini merupakan warisan Orde Baru yang menyandera pemerintah yang tengah berkuasa. Warisan tersebut memaksa pemerintah selalu siap menyediakan beras dalam jumlah yang cukup sepanjang tahun, di seluruh pelosok negeri dengan harga yang terjangkau oleh semua orang. Termasuk orang miskin sekali pun. Ini memunculkan berbagai persoalan ikutan. Ketika harga beras melonjak, pemerintah dianggap tak mampu menstabilkan harga kebutuhan pangan pokok. Sebaliknya jika harga beras anjlok, pemerintah dinilai tidak memiliki keberpihakan terhadap petani. Keduanya sama-sama berpotensi mengancam kestabilan negeri ini. [sta]

Air, antara Kebutuhan dan Ancaman

Hari Air Sedunia diperingati tanggal 22 Maret. Tema peringatan tahun ini (2009), Berbagi Air, Berbagi Peluang untuk Hidup meneguhkan betapa sangat pentingnya air untuk kehidupan makhluk di bumi ini. Dapat dikatakan air merupakan sumber kehidupan, karena segenap makhluk hidup tidak mungkin melepaskan ketergantungan mereka terhadap air.

Begitu tingginya ketergantungan hidup makhluk di bumi ini terhadap air, sehingga krisis air yang sekarang terjadi, menjadi perhatian banyak negara di dunia ini. Dalam Forum Air Sedunia yang dilangsungkan di Istanbul, Turki, 16 Maret 2009, dipaparkan bahwa populasi dunia saat ini lebih dari 6,5 miliar jiwa. Diperkirakan jumlah ini meningkat menjadi 9 miliar pada pertengahan abad ke-21. Dengan jumlah populasi sebesar itu kemungkinan jumlah penduduk dunia yang mengalami kekurangan air akan meningkat menjadi 3,9 miliar jiwa pada 2030 (Koran Tempo, 23/3/09).

Seiring dengan laju pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi, krisis air tak dapat dihindari. Terlebih persediaan air bersih semakin berkurang akibat pencemaran lingkungan. Berkurangnya daerah resapan juga turut memperparah keadaan. Tak hanya kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya saja yang mengalami masalah dengan air. Kota-kota kecil seperti Puncak dan Trawas, yang merupakan tempat peristirahatan masyarakat perkotaan menghadapi masalah serupa.

Berdirinya hotel atau vila dan tempat-tempat hiburan lain menjadikan kebutuhan air bersih meningkat. Bahkan di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, perebutan air dari sumber Dlundung terjadi secara terbuka (Kompas, 16/3/09). Dalam kondisi demikian, masyarakat setempat menjadi pihak pertama yang merasakan dampak krisis karena kalah oleh pengusaha hotel maupun tempat hiburan yang memiliki modal kuat untuk mengakses sumber-sumber air yang ada.

Pada saat pembicaraan tentang krisis air serta berbagi air untuk kehidupan hangat bergulir, bangsa Indonesia dikejutkan oleh sebuah musibah. Tanggul Situ Gintung, Tangerang Selatan, Banten, jebol Jumat 27 Maret 2009 lalu dan menewaskan 100 warga yang bertempat tinggal di sekitar situ. Musibah ini begitu menyentak terlebih segenap bangsa Indonesia tengah memusatkan perhatiannya pada pemilu legislatif 9 April 2009 nanti.

Sekalipun Indonesia dikenal sebagai negeri bencana karena kondisi alam dan perilaku masyarakatnya, kejadian ini di luar dugaan banyak kalangan. Apalagi puncak musim hujan yang biasanya jatuh pada bulan Desember-Januari telah berlalu. Ini semakin menguatkan catatan bahwa di samping sebagai sumber kehidupan, air juga ancaman terhadap kehidupan.

Musibah tersebut segera saja menggiring perhatian masyarakat pada persoalan-persoalan air di negeri ini. Utamanya daerah resapan dan penampungan air di Jakarta dan sekitarnya yang semakin lama semakin merana. Menurut siaran pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Walhi (28/3/09), dari 193 situ di wilayah Jabodetabek 68% di antaranya dalam keadaan rusak. Sebagian bahkan telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, kawasan bisnis, dan tempat pembuangan sampah. Tentu saja ini dapat mengancam keamaan warga sekitar. Mengingat fungsi situ adalah sebagai tempat penampungan dan persediaan air, sehingga daerah tersebut akan terbebas dari banjir ketika musim penghujan datang dan menjadi cadangan air bersih saat kemarau tiba.

Ratusan jiwa hilang. Saatnya kita, semua pihak, menjadi lebih peduli, mengambil pelajaran dari peristiwa yang menelan ratusan jiwa itu. Lalu berbuat, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, termasuk, terutama, yang selama ini seolah atau memang terlupakan. [am]

Senin, 07 September 2009

Menuju Kedaulatan Pangan

Seperti halnya data kependudukan umumnya, tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Jawa saat ini. Namun, beberapa sumber menyebut 40% - 45% penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 235 juta ini adalah etnis Jawa. Sebagian besar dari mereka tinggal di pedesaan dan menjadikan pertanian sebagai tumpuan hidup utama.

Tidak berbeda dengan sektor lain, sektor pertanian juga tak lepas dari agenda ekonomi-politik global. Revolusi Hijau merupakan sebuah contoh bagaimana mesin ekonomi-politik globabal menggilas pertanian di Indonesia, termasuk Jawa. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sebagai pelaksana teknis developmentalisme ini bukanlah program pertanian semata, melainkan sebuah strategi melawan tradisionalisme. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, beragam pengetahuan pertanian manusia di muka bumi mengalami penggusuran besar-besaran dan dijadikan satu pola pertanian saja.

Program modernisasi pertanian didukung oleh lembaga-lembaga penelitian besar seperti International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina dan International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT) di Mexico. Saat ini di dunia terdapat 13 lembaga riset sejenis yang dikelola dan dikembangkan oleh The Consultative Group for International Agricultural Research (CGIAR) yang merupakan tulang Revolusi Hijau.

Akibat program ini ribuan varietas tanaman tradisional tergusur. Lebih parah lagi, petani menjadi tergantung pada industri benih dan tak lagi mampu mengontrol serta mereproduksi benihnya sendiri. Benih telah berubah menjadi sumber kentungan dan kontrol karena di tangan lembaga penelitian dan perusahan-perusahaan transnasional benih merupakan komoditi komersial.

Bukan itu saja. Revolusi Hijau ternyata juga menjadi sebuah program untuk menyingkirkan atau melemahkan pengetahuan rakyat. Budaya pemuliaan benih dibabat habis sebagai bentuk kontrol penguasaan pasar. Bahkan, tak jarang petani yang dengan pengetahuan tradisionalnya melakukan pemuliaan benih sendiri dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pembenihan ilegal (kasus Mbah Suko Magelang, Suprapto dan Tukirin).

Selain itu Revolusi Hijau juga telah menggusur perempuan dari aktivitas mereka di sektor pertanian. Tipe padi dan teknologi baru yang dikenalkan secara sistematik mengabaikan dan menggusur peran perempuan. Dengan demikian budaya pertanian Jawa sebenarnya telah dimatikan.

Penuh Ironi

Dalam hal pangan, negeri kita penuh ironi. Sebagai sebuah negeri dengan tanah yang subur, kaya keragaman hayati, serta sebagian besar rakyatnya hidup dari pertanian, mestinya pangan tidak menjadi masalah di sini. Namun, kenyataannya setiap tahun ada saja persoalan kelangkaan pangan dan kelaparan. Bahkan, ketergantungan Indonesia terhadap produksi pangan impor, terigu, berbagai jenis buah, dan bahkan beras masih cukup tinggi.

Dalam kenyataannya, biang kelaparan bukan semata kelangkaan sumberdaya dan teknologi, melainkan sebuah pilihan politik baik nasional maupun global. Negara dapat mengambil keputusan politik untuk memastikan warga negaranya tidak lapar dengan menghidupkan kembali keberagaman dan pengembangan pangan berdasarkan keunggulan lokal.

Banyak kasus kerawanan pangan di Indonesia mengacu pada tercukupinya persediaan beras di suatu wilayah. Jika acuan kecukupan pangan tetap saja digantungkan pada beras, mungkin bangsa Indonesia akan terus dihantui kerawanan pangan karena tidak semua wilayah di Indonesia menghasilkan beras. Bahkan, di Jawa yang memiliki produktivitas padi tertinggi di Indonesia (5,2 ton/Ha) tidak semua daerahnya dapat ditanami padi sepanjang tahun. Sementara kecukupan pangan telanjur ditambatkan pada satu komoditas saja: beras.

Berasisasi yang berjalan seiring dengan Revolusi Hijau bukan saja memunculkan kerawanan pangan, melainkan juga menghabisi kekayaan hayati negeri ini. Berbagai tanaman pangan lokal (umbi-umbian) punah karena dihakimi sebagai sumber pangan yang tidak bergizi.

Ketika kerawanan pangan berkali-kali menjadi ancaman, wacana kembali ke pangan lokal baru mulai dimunculkan. Telanjur rakyat terbiasa dengan beras, sehingga gerakan kembali ke pangan lokal ini tidak cukup mendapat tempat. Apalagi gerakan ini hanya dilakukan setengah hati karena beras sudah menjadi komoditas baik pengadaan benih maupun perdagangannya.

Selain merupakan tawaran bisnis yang prospektif, kali ini kita turunkan laporan mengenai upaya mengembalikan harkat bahan pangan lokal (ketela), sebagai salah satu upaya mempercepat langkah menuju kedaulatan pangan itu. [siti aminah]

Kadiyem: 42 Tahun Menjaga Warung Nasi (3)

Beli Tanah

Sebenarnya selain membantu istrinya jualan di warung nasinya kegiatan lain yang dilakukan oleh Sumardi ini adalah petani. Saat ini lahan pertaniannya cukup luas,dan menurut penuturannya semua itu awalnya dia beli dari hasil usaha warungnya. ’’Ya saya akui memang apa yang saya miliki sekeluarga awalnya dari hasil yang saya sisihkan sedikit demi sedikit. Kalau ingat kadang saya tertawa sendiri tapi kadang trenyuh juga. Ceritanya setiap hari pasaran saya sisihkan selembar uang kertas entah nilainya berapa saya lupa. Tapi yang jelas saya linting sampai kecil dan saya masukkan dalam stagen yang telah saya jarum seperti dompet, jadi seperti itu cara nabung saya yang paling aman, karena tidak pernah lepas dari badan kecuali saat mandi,’’ tutur Kadiyem sambil tertawa.


Masih menurut penuturannya saat ada orang yang menjual sebidang tanah yang telah ada tanaman cengkehnya maka Kadiyem bersama suaminya membuka tabungan yang tak pernah lepas dari tubuhnya tersebut dan ternyata tabungannya masih kurang untuk membayar harga tanah tersebut. Maka mau tak mau Kadiyem terpaksa menjual satu-satunya cincin miliknya.

Kemudian dari hasil ladang tersebut ditambah dengan hasil warung nasinya setiap ada orang yang menawari tanah selama harganya masih terjangkau Sumardi maka ia membelinya sampai saat ini telah 7 bidang tanah yang telah dibelinya.

Saat ini setelah ketiga anaknya telah berkeluarga semua dan telah memiliki usaha sendiri-sendiri, ia hanya berdua dengan istrinya masih setia mengelola rumah sekaligus warung nasi ramesnya.

Hanya saja berhubung tenaganya tidak seperti waktu masih muda ia tidak lagi menggunakan daging kambing sebagai lauk nasi ramesnya, namun beralih dengan daging ayam.

’’Memang, sejak 1990 saya tidak menyembelih kambing lagi mengingat tenaga mulai berkurang maka lebih praktis menggunakan daging ayam. Dan alhamdulillah pembeli tidak ada penyusutan bahkan sampai saat ini tetap lumayan,’’ tutur Sumardi.

Saat ditanya siapa nanti yangb meneruskan usahanya Kadiyem menjelaskan bahwa kemungkinan tidak ada karena anak perempuannya kelihatannya tidak berminat.

’’Entah nanti lha wong Sufat anak perempuan saya, kelihatannya enggan karena melihat bagaimana repotnya saya ketika mempersiapkan dagangan dari mulai awal memasak sampai menyajikan pada pembeli,’’ tutur kadiyem. ’’Tapi nggak tahu lagi setelah saya tak lagi kuat untuk mengelola warung ia tergerak untuk meneruskan,’’ tambahnya.

Telaten

Ketika ditanya apa kiatnya sehingga ia tetap setia pada usahanya dan mampu bertahan sampai saat ini justru semakin ramai.

’’Apa kiatnya tidak ada, tapi yang penting kita telaten dan tahan godaan, tidak gampang menyerah. Usaha seperti ini harus tahan banting. Ibunya itu (istrinya- Red) orangnya tak pernah mengeluh, memang kelihatanya kalau sudah diniati apa pun resikonya harus tabah menghadapi,’’ tutur Sumardi.

’’Jualan makanan itu banyak resikonya kalau pas ramai dagangan habis yang jangan terlalu senang tapi kalau tidak laku ya jangan lekas patah arang, Lha wong rezeki sudah ada yang ngatur,’’ tambah Kadiyem menimpali suaminya.

’’Tapi, yang pasti karena yang kita jual adalah makanan yang jelas harus bersih, baik makanannya maupun tempatnya. Cara melayani pembeli harus supel, setiap pembeli harus kita layani dengan ramah, harga yang kita buat jangan mahal-mahal yang penting kita masih ada sedikit untung. Dan yang tidak kalah penting adalah jangan sekali-kali membedakan pembeli baik pegawai, orang kaya maupung, orang miskin harus kita layani dengan sama,’’ pungkas kadiyem. Perempuan itu beranjak melayani pembeli yang baru datang.

Sementara Sumardi setelah membantu istrinya segera menghampiri dan asyik merawat burung perkutut peliharaannya.[pur

Kadiyem: 42 Tahun Menjaga Warung Nasi (2)

Mula-mula hanya Lodeh Tewel


Menurut penuturannya ia sebetulnya sejak masih bujang sudah biasa berjualan makanan mulai dari singkong rebus sampai ikut membantu ibunya jualan nasi lodeh (nasi dengan sayur lodeh yang tempe lamtara). ’’Saya jualan nasi ini sejak tahun 1966 setelah saya menikah. Jalan raya depan rumah ini masih berupa jalan batu. Kendaraan belum ada, paling-paling seminggu sekali ada satu dua yang lewat. Jadi, para pedagang yang perempuan sambil menggedong dan yang laki-laki memikul dagangannya semua jalan kaki dari Panggul sampai Pasar Kampak sejauh 35 km. Sampai di sini (Pasar Talun), dulu masih pasar templek, mereka istirahat sambil sarapan. Yang tidak membawa bekal sendiri mereka sarapan di warung saya,’’ tutur Kadiyem.


’’Saat itu yang saya jual adalah nasi dengan sayur lodeh tewel, rebung, dan tempe gabus (tempe dari biji lamtara, Red). Itulah permulaan saya buka warung,’’ lanjut Kadiyem.

Masih menurut penuturannya jualan nasi lodeh tersebut dijalani sampai tahun 1975. Baru setelah pembeli semakin ramai dan ekonomi masyarakat mengalami perkembangan ia menambah menunya dengan nasi rames. Namun, lauknya masih berupa tempe kedelai dan rempeyek.

Tahun 1980 ia mulai jualan nasi rames dengan lauk daging kambing dengan cara ia mengambil daging kambing dari pedagang daging dengan cara bayar belakangan (setelah habis terjual).

Setelah dihitung-hitung hasilnya cukup lumayan, kemudian menyembelih kambing sendiri. Sang suami kebagian tugas menyembelih kambing itu.

Bila dilihat dari cukup ramainnya pembeli pastilah penghasilan dari buka warungnya cukup lumayan besar.

’’Saya ini kok tidak pernah menghitung penghasilan atau pemasukan dari warung. Tapi, yang jelas bisa saya makan sekeluarga, sedikit-sedikit nicil membuat rumah, yang dulunya masih berdinding gedhek sekarang ya seperti ini,’’ tuturnya.

’’Untuk ragat (biaya) sekolah ketiga anak saya ya cukup dari warung bahkan sekarang sudah mentas semua dan masing-masing sudah saya kasih sedikit modal bila mau buka usaha,’’ tambahnya.

Berkat ketekunan dan kesabaran yang dilakukan Kadiyem ternyata dipetik pada masa tuanya. Meskipun sampai saat ini ia masih setia menggeluti usahanya namun dibanding saat masih dalam masa perjuangannya sangat jauh berbeda.

’’Kebanyakan orang itu kalau melihat hanya suksesnya saja, tanpa melihat bagaimana susahnya untuk menuju kesuksesan tersebut. Banyak contohnya sekarang kan banyak yang mencoba buka usaha tanpa dipikirkan lebih dahulu kendala terburuknya. Maunya yang penting punya modal, buka usaha dan dalam bayangan mereka cepat besar, kadang mereka lupa pada apa itu? Sikon? Jelasnya kalau saya amati kebanyakan sama latah. Satu buka usaha dan kelihatan jalan maka baramai-ramai buka usaha yang sejenis,’’ tutur Sumardi.

’’Saya dulu saat masih manten anyar tidak punya apa-apa. Bahkan, saat jualan nasi lodeh modalnya dari orang lain tapi berupa barang. Seperti beras saya ambil dari orang lain kemudian karena berasnya dari hasil tumbukan tangan dan masih kotor maka oleh istri saya dibersihkan sendiri. Setelah, setelah nasi lodeh habis terjual, baru kami bayar. Itu saya alami hampir 10 tahunan,’’ lanjut Sumardi mengenang masa lalunya.[pur]

Kadiyem: 42 Tahun Menjaga Warung Nasi [1]

Ini kisah tentang bagaimana sebuah ketekunan, ketelatenan, membuahkan hasil. Hasil yang tak harus diukur dengan berapa omzet sebuah usaha atau berapa besar keuntungannya. Menu yang disajikan di warung makan milik pasangan Sumardi (60) dengan Kadiyem (56) ini termasuk sederhana, yaitu nasi rames dengan lauk ayam goreng. Namun, karena hanya menyediakan satu jenis menu tersebut warung ini justru menjadi jujugan para pelanngannya.

Dengan hanya mengandalkan menu nasi rames tersebut ternyata setiap harinya bisa menghabiskan rata-rata 25 kg daging ayam. Itu angka yang fantastis untuk sebuah warung, walau di tepi jalan raya terbilang jauh dari kota (7 km dari Kantor Kecamatan, sekitar 40 km dari kota kabupaten).

Satu hal yang menguntungkan adalah letaknya yang, selain di tepi jalan raya, berada di dekat pasar desa yaitu Pasar Talun, Desa Pandean, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Tepatnya di km 41 jalan raya Trenggalek - Pacitan.

Biarpun statusnya hanya pasar desa, setiap lima hari sekali yaitu setiap Pahing pasar tersebut penggunjungnya cukup ramai, didatangijuga oleh para pedagannya dari berbagai daerah seperti TulungAgung dan Trenggalek.

Faktor lokasi yang strategis itulah tampaknya yang membuat warung ini cukup ramai. Selain itu warung ini dari segi harga termasuk murah. Satu porsi nasi rames dengan lauk ikan ayam beserta minuman baik kopi atau teh cukup dengan Rp 5.000.

Dari segi rasa juga cukup lumayan serta pelayanannya pun cukup memuaskan. Setiap harinya mulai dari memasak nasi hingga lauknya sampai masakan siap disajikan pada pembeli Kadiyem dibantu suami dan dua orang perempuan yang khusus dibayar untuk itu. Warung dibuka setiap hari mulai pukul 7 pagi sampai pukul 17.00 dan setiap hari buka kecuali hari Jumat ia tidak membuka warungnya.

Selain melayani pembeli ia juga sering menerima pesanan untuk berbagai acara yang diadakan baik oleh desa maupun instansi pemerintah, yang biasanya berupa nasi kotak/bungkus.[pur]

Rabu, 02 September 2009

Aturipun Ketua Panitia FSJ-D 2009

Panjenenganipun Bupati Trenggalek, Kanjeng Raden Harya H Soeharto Hadiningrat ingkang dhahat kinurmatan. Para nayakaning praja ing tataran Kabupaten Trenggalek, Kecamatan Dongko, lan Dhusun Cakul, para sesepuh, pinisepuh, para rawuh sedaya ingkang dhahat kinurmatan. Para sastrawan, seniman, akademisi ingkang kawula tresnani, ingkang tansah ngudi amrih lestari lan tumangkaripun sastra Jawi.

Syukur alhamdulillah, dinten menika…. kula panjenengan sami nampi kanugrahaning Gusti arupi kekiyatan, kalodhangan, kepanggih ing tlatah pareden ingkang bebasan cedhak watu adoh ratu menika, kangge amiwiti kajat andrawina Sastra Jawa lan Desa, utawi Festival Sastra Jawa lan Desa Taun 2009.

Festival Sastra Jawa lan Desa Taun 2009 ingkang kagelar ing Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek menika dipunpadhegani dening Organisasi Pengarang Sastra Jawa kaliyan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, makarya sesarengan kaliyan Sanggar Triwida, Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro, Sanggar Sastra Jawa Banyuwangi, sinengkuyung dening Pamarentah Provinsi Jawa Timur, Pamarentah Kabupaten Trenggalek, Fakultas Bahasa lan Seni Unesa, Jurusan Bahasa Jawa Uneversitas Negeri Semarang, SMP Satu Atap 2 Dongko, Komunitas Pemuda Nglaran Kita, sarta para warga Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek.

Pak Bupati, lan para priyagung ingkang tansah paring panjurung dhumateng sedaya pakarti anggayuh kasaenaning bebrayan agung. Upamia winastanan andrawina utawi kembul suka, Festival menika boten ngungalaken raos suka ingkang tlonjongipun dhumateng pegating kaprayitnan, ananging suka ingkang mijil saking raos syukur dhumateng kanugrahaning Gusti. Saestu, para warga ingkang mapan ing tlatah pareden menika, para warga Desa Cakul, Kecamatan Dongko, sumrambahipun dhumateng Kabupaten Trengalek sakukuban, bebasan kabanjiran samodra madu, kajugrugan gunung menyan. Rawuhipun para pangembating praja ing dhusun menika lajeng ngemutaken dhumateng lekasipun Prabu Hayam Wuruk ing Jaman Majapahit duking uni, ingkang angrawuhi dhusun-dhusun kadosdene ingkang lajeng sinerat ing Kitab Negara Kertagama. Boten kok ngemungaken titah ingkang winastan jalma manungsa, wit-witan sami tumiyung, rerambatan sami amanglung, sesekaran sami mekar ambabar arum sajak asung pakurmatan dhumateng para pangarsaning praja ingkang saweg jengkar saking pandhapa agung saperlu angluberaken sih dhumateng para kawula dasih.

Para rawuh ingkang dahat kinurmatan
Ing Festival Sastra Jawa lan Desa Taun 2009 menika kagelar: Sarasehan Pamulangan Basa Jawa ingkang suwau kaangkah kangge para guru ing tlatah Kabupaten Trenggalek sakanan-keringipun, nanging pranyata wonten ingkang purun keraya-raya rawuh saking Surabaya, Banyuwangi, menapadene Bojonegoro. Wonten malih Sarasehan Desa kangge para kadang tani ingkang adreng angenipun badhe nyinau kadospundi cak-cakanipun ulah tetanen ingkang langkung sae, ingkang saget nanem menapa ingkang saget dipunsade lan boten namung nyade ingkang saget dipuntanem. Boten kantun Sarasehan Sastra ingkang dipunrawuhi para pengarang, sastrawan Jawa, boten ngemungaken saking wewengkon Jawa Timur, nanging ugi saking Surakarta, Ngayogyakarta, Jakarta, Semarang, lan kitha-kitha sanesipun.

Ing swasana suka ingkang mijil saking raos syukur menika mangke ugi badhe kagelar manekawarni kesenian tradisional ingkang kalebet ing kukubanipun kabudayan Jawa.

Festival Sastra Jawa lan Desa menika sanes kalih bab ingkang waton dipungandhengaken. Panitia percados mbokbilih lunturing kabudayan Jawa boten namung saget katitik saking sangsaya sudanipun kasagetanipun para kawula wawan-gunem ngginakaken basa Jawa, ananging ugi saget katitik saking kanyatan: para taruna wekdal menika sami rumaos onjo mbokbilih saget angrahapi tetedhan utawi inuman merek manca nagari sanadyan ta tetadhan lan inuman wedalan dhusun langkung sae daya pangaribawanipun tumrap kasantosaning jiwa-raga.

Bapak Bupati lan para rawuh ingkang kinurmatan, kadospundia kemawon kawontenanipun, Festival Sastra Jawa lan Desa Taun 2009 menika mletik saking adrenging kekajengan tumtut-tumut anggayuh lestarinipun kabudayan Jawa minangka salah satunggaling adeg-adeg kangge angluhuraken kawibawanipun Negari Indonesia. Syukur bage mbokbilih mangke saget dados agendha tahunan, saget dipunsengkakaken dados Festival Sastra Etnik Nusantara minangka sarana silaturahmi budaya ing tataran ingkang langkung omber tebanipun.

Wusana, Panitia namung saget ngaturaken agunging panuwun dhumateng:
Bapak Gubernur Jawa Timur
Bapak Bupati Trenggalek
Kepala Dinas Poraparibud Kab Trenggalek
Kepala Dinas Pendidikan Kab Trenggalek
Dekan FBS Unesa Prof DR Setya Yuwana Sudikan
Ketua Jurusan Bahasa Jawa Unnes
Bapak Camat Dongko
Bapak Arswendo Atmowiloto
Bapak Kepala Desa sarta para pamong Desa Cakul
Kepala SMP Satu Atap 2 Dongko
Komunitas Pemuda Nglaran Kita
Warga Masyarakat lan para paraga ingkang boten cekap wekdalipun bilih kula sebat mbaka setunggal.

Peparing biyantu ingkang arupi beya, tenaga, pamanggih, lan sanes-sanesipun ingkang sampun dipuntampi Panitia mugi kacatheta lan ugi katampi dening Gusti Allah kadidene amal sae panjenengan sami.

Wusana, mbokbilih pranyata kirang gupuh, kirang suguh, lan sarwa cingkrang ing samukawisipun kalebet anggenipun saget caos papan inggih namung sawontenipun, Panitia nyuwun lumunturing sih samodra pangaksami.

Mugia Gusti Allah tansah paring karahayon dhumateng kula panjenengan. Rahayu!

Cakul, 4 Agustus 2009

Selasa, 01 September 2009

FSJ-D 2009: Dari Juni ke Agustus

Pada awalnya, FSJ-D 2009 dijadwalkan 17 – 18 Juni 2009. Tetapi, kemudian ternyata hari itu bertepatan dengan pelaksanaan ujian sekolah. Padahal, salah satu tempat (utama) pelaksanaan FSJ-D adalah sekolah (SMP Negeri Satu Atap 2 Dongko di Desa Cakul). Selain itu, sebagian besar personal yang terlibat di dalam kepanitiaan adalah para guru termasuk kepala sekolahnya. Maka, setelah melalui pencarian yang cukup a lot ditetapkanlah pengunduran pelaksanaan festival ke tanggal 4 – 5 Agustus 2009.

Mengenai pengunduran itu, seorang wartawan mengajukan pertanyaan yang agak sinis. Kira-kira begini, ’’Saya mengikuti perkembangan informasi mengenai festival ini dari blog Nglarankita (www.nglarankita.blogspot.com, Bon). Dan terkait pengunduran jadwalnya itu saya punya pertanyaan, apakah hanya karena tunduk kepada kemauan birokrasi, sehingga Panitia FSJ-D 2009 yang mestinya independent itu masih mau didikte, bahkan untuk urusan tanggal pelaksanaannya?’’

Beruntunglah saya bisa bertemu muka dengan wartawan ini, dan kemudian saya klarifikasi soal pengunduran jadwal festival itu. Saya katakan, tidak ada pihak yang mendikte ataupun didikte dalam hal itu. Bahkan, Panitia merasa diuntungkan dengan pengunduran itu, terkait kesiapan dan banyak hal lain. Bahkan, mundurnya pun terbilang cukup jauh, dari Juni ke Agustus.

Saya paparkan pula bahwa Panitia tidak bisa memutuskan sendiri hari pelaksanaan itu. Ada banyak komunitas pendukung di berbagai wilayah: Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bojonegoro, Tulungagung, dan lain-lain yang harus didengar suara mereka. Bahkan, juga pertimbangan warga. Karena dilaksanakan di desa dengan segenap adat-istiadatnya, Panitia harus juga mendengarkan suara warga. Festival tidak mungkin dilaksanakan, misalnya, ketika ada warga di sekitar lokasi yang sedang punya hajat.

Terasa ada yang mengatur selain Panitia sendiri. Mengapa? Seandainya tidak ada benturan waktu itu, seandainya tidak ada pengunduran jadwal, tidak bisa dibayangkan betapa akan kalang-kabutnya Panitia karena banyak hal belum benar-benar siap, dari joglo yang belum selesai pengerjaannya hingga --dan ini yang terutama-- persoalan dana. Bahkan, soal dana itu ternyata kemudian belum bisa benar-benar tuntas setelah acara yang sangat membanggakan itu terlaksana.

Pada akhirnya Panitia harus mengakui bahwa ternyata telah menggelar acara yang boleh disebut kegedhen empyak kurang cagak. Terlalu bonek. Mengangankan sesuatu yang jauh lebih besar dari kapasitasnya. Sangat berisiko, itu pasti. Tetapi, kami bersyukur semuanya berlalu. Ada kritik memang, yang justru menambah kebanggaan kami. FSJD 2009 memang telah diberi sangat banyak oleh para tamu, dan ampun beribu ampun, panitia sebegitu demam panggung. []