Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN TRENGGALEK [5]

Dinas Budaya dan Pariwisata


Saya tahu, di Trenggalek nama dinas ini senyatanya adalah Dinas Pemuda, Olah Raga, Pariwisata, dan Budaya, diakronimkan menjadi: Poraparibud. Saya yakin, nama itu ditentukan agar menjadi enak diakronimkan saja, tidak dibuat berdasarkan urutan alfabetik maupun kepentingannya. Betapa pentingnya urusan kebudayaan itu, beberapa kali ada usulan agar di negri ini ada Departemen Kebudayaan tersendiri. Sebelumnya, ’Kebudayaan’ digandengkan dengan Kementerian Pendidikan (dahulu bernama: Departemen Pendidikan dan kebudayaan). Kali ini, ’Kebudayaan’ benar-benar terdegradasi karena (hanya) digandengkan (walau ditaruh di depan) dengan ’Pariwisata’. Dengan wilayah garapan seluas itu, saya kira, seorang Kepala Dinas Poraparibud di Kabupaten Trenggalek memiliki tugas yang jauh lebih berat daripada bupatinya. Kritik yang sering terlontar kepada Kementerian Budaya dan Pariwisata, seolah-olah ia lebih sebagai ibarat loket penjualan karcis masuk: gua, taman, pantai, candi, dan tempat-tempat wisata lainnya. Seolah ia melupakan pembangunan peradaban bangsa seperti yang diamanatkan oleh nama yang disandangnya: kebudayaan, itu.

Kementerian Budaya dan Pariwisata kita memang antara lain bertugas memromosikan potensi-potensi wisata di seantero negri.



Tetapi, sekali lagi, itu hanyalah salah satu di antara tugas-tugas lain, termasuk menjaga warisan budaya, mengembangkannya, dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat. Saya baru bisa menyebut dua contoh negri yang cukup bagus mengelola potensi wisatanya: Singapura dan Hong Kong. Saya merasakan, di Hong Kong, taman-taman kota, pantai wisata, terasa sekali dibangun dengan tujuan utama sebagai bentuk pelayanan publik. Di Hong Kong ada yang namanya Taman Victoria atau Victoria Park, yang setiap hari ramai dikunjungi orang, baik yang hanya perlu berjalan-jalan, jogging, atau duduk-duduk menikmati suasananya. Pada hari libur, termasuk hari Minggu, ribuan orang, sebagian besar adalah pekerja rumah tangga asal Indonesia tumplek bleg di taman ini.



Saya berani bertaruh, dengan potensi pengunjung seperti itu, seandainya Taman Victoria ada di Indonesia tentulah akan mengundang pihak terkait untuk memasangi loket karcis masuk dan menarik uang retribusi kepada setiap pengunjung. Demikianlah, seolah kita memandang kepariwisataan hanyalah proyek untuk menambah pundi-pundi PAD, dan bukannya sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, memberikan makanan jiwa rakyat, dan akan memetik keuntungan berupa produktivitas yang meningkat ketika jiwa-raga rakyat (masyarakat) menjadi semakin berkualitas karena selain cukup makanan jasmani juga terpenuhi kebutuhan rohani, termasuk rekreasi mereka.

Maka, izinkan saya menceritakan pengalaman saya di wilayah Trenggalek. Pada hari ke-2 atau ke-3 Lebaran tahun lalu, jika tak salah ingat itu hari Minggu, saya iseng-iseng mampir Pantai Pelang (Kecamatan Panggul).



Saya mendapati di kawasan pantai itu, pada hari itu, digelar pertunjukan musik dangdut, dan hanya ada satu pintu baik bagi pengunjung yang datang untuk dangdut dan/atau untuk menikmati pemandangan pantai Pelang saja. Karenanya, setiap pengunjung wajib membayar tiket yang harganya sudah diatur untuk nonton pertunjukan musik sekaligus menikmati pemandangan Pantai Pelang. Saya berpikir, jika saya adalah pengunjung yang senyampang berlebaran di kampung halaman, yang datang jauh-jauh dari Surabaya atau Jakarta, atau bahkan dari pulau lain di tanah air ini, dan ingin bernostalgia di pantai yang indah itu, hak saya sebagai masyarakat telah dirampas atau disandera, atau dipaksa mengeluarkan sejumlah uang (walau jumlahnya kecil) untuk sesuatu (dalam hal ini pertunjukan dangdut) yang tidak saya inginkan. Jadi, cara-cara mendapatkan uang seperti dilakukan oleh ’’Dinas Kebudayaan dan Pariwisata’’ bekerja sama dengan sebuah event organizer seperti itu menurut saya tidaklah fair.

Lagi-lagi, bandingkanlah dengan Taman Victoria di Hong Kong, yang di dalamnya juga tersedia vasilitas WC dan kamar mandi yang sepertinya tidak pernah pesing, dan kita bisa masuk ke dalamnya dalam 24 jam sehari, kapan saja, secara gratis! Saya sempat mengajukan perbandingan ini di pertengahan tahun 2000-an ketika Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Jatim ketika itu berbicara dalam sebuah forum di Hotel Hayam Wuruk (Trenggalek), dan jawabannya antara lain adalah: ’’Belum saatnyalah membandingkan negara kita dengan negara-negara yang sudah maju seperti Hong Kong dan Singapura.’’ Sayangnya, waktu membatasi saya untuk punya kesempatan menimpali jawaban itu. Padahal, saya ingin mengatakan ini, ’’Kalau untuk hal-hal seperti itu kita tidak boleh mengaca ke negara lain yang lebih baik mengelolanya, mohonlah dihentikan saja semua program yang bernama Studi Banding yang biasa dilakukan anggota DPR maupun para pejabat elit di negri ini.’’



Di kampung halaman saya, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, ada seorang bocah yang sudah berprestasi di tataran nasional. Ia seorang siswa SMP, yang ketika di SD sudah mengantongi gelar Juara Dalang kategori Anak-anak (Bocah). Ia sering diundang untuk mendalang di Surabaya, dan bahkan pernah pula ditanggap untuk mendalang di Istana Wakil Presiden di Jakarta di era Pemerintahan SBY-Boediono ini. Kepala Sekolah SD dan SMP bocah dalang ini adalah sahabat saya, dan sering mengungkapkan rasa bangganya atas prestasi anak didiknya ini, serta mengaku bersyukur bahwa pihak-pihak terkait, dari Dinas Pendidikan sampai Pemkab selalu enteng untuk memberikan bantuan dana, minimal dana transportasi ketika Galih, begitulah nama sapaan bocah dalang ini, diundang instansi pemerintah untuk tampil di tataran provinsi atau di atasnya.



Itu hal yang baik. Tetapi, menurut saya masih ada yang dilupakan. Bantuan perangkat fisik berupa gamelan, misalnya pernah diterima sekolah satu atap (SD dan SMP jadi satu manajemen) itu, tetapi saya belum mendengar adanya bantuan berupa buku-buku berkaitan dengan ilmu dan ketrampilan pedalangan atau seni karawitan langsung kepada Galih maupun melalui sekolahnya. Itu juga menunjukkan kesadaran literasi para pemangku kepentingan di kabupaten ini masih jauh dari bagus. Lebih jauh lagi, kita juga layak bertanya, di manakah Perpustakaan Daerah kabupaten Trenggalek? Apakah kita dengan mudah bisa mendapatkan buku-buku bagus yang baru terbit? Kalau yang ’’kebul-kebul’’ belum ada, maka apakah belum ada pula di sana buku sebagus ATLANTIS, Indonesia Ternyata merupakan Cikal-bakal Peradaban Dunia [?]



Untunglah kita memiliki anak muda bernama Nurani Soyomukti, yang dengan segala upayanya telah membangun kesadaran literer di Kabupaten yang kalau terkenal pun sering karena kemiskinan dan keterpencilannya ini, yang membangun dan membangkitkan gairah baca-tulis dengan mendirikan lembaga Quantum Litera Center (QLC), dan menyelenggarakan acara Arisan Sastra sekali dalam sebulan. Tanpa upaya seperti dilakukan orang muda asal Watulimo ini, Trenggalek, pun walau sudah memiliki perguruan tinggi, saya kira akan semakin kokoh sebagai masyarakat ’pendengar’ dan ’penonton’ --aktivitas yang oleh orang kampung asal saya sering diplesetkan menjadi: ’’kelompok pendengor’’ (ndengor = ndomblong).



Lebih mengherankan lagi, di Zaman Blogger, Facebook, dan YouTube ini, banyak orang, pengambil kebijakan, masih memandang Jakarta sebagai pusat segala-galanya. Maka, atas nama memromosikan potensi kesenian dan pariwisata kabupaten kita, uang ratusan juta rupiah dengan enteng dikeluarkan untuk biaya promosi dengan berbondong-bondong ke Jakarta. Sementara itu, kesenian rakyat: kuda lumping, terbang jedhor, dan sejenisnya terengah-engah dan kurang gizi di desa-desa. Adalah mengherankan, ketika membangun dan merawat website Kabupaten Trenggalek dengan segenap potensinya yang barangkali hanya menghabiskan dana puluhan juta rupiah per tahun pun tampaknya keberatan, sedang di sisi lain dengan gampangnya –maaf, menurut saya diplokotho oleh Jakarta, Taman Mini, atau apalah namanya itu-- untuk ditanggap bukan saja secara gratis, tetapi bahkan harus menanggung ongkos ’produksi’ termasuk biaya transportasi yang ratusan juta rupiah itu. Apakah kita perlu menagih janji Pak De Karwo: ’’APBD untuk Rakyat’’ --dan bukan untuk Taman Mini Indonesia yang Tidak Indah itu? Wassalam. [wis/Bonari Nabonenar]

0 komentar:

Posting Komentar