Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN TRENGGALEK [4]

Membangun Desa



Agustus 2009 (4 - 5) saya bersama warga Desa Cakul menyelenggarakan Festival Sastra Jawa dan Desa di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Dengan dukungan dana dari Pemprov Jatim, Pemkab Trenggalek, dan swadaya masyarakat Desa Cakul, kami berhasil mengundang para akademisi dari Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Surabaya, wartawan, seniman, budayawan, sastrawan dari berbagai pelosok Jawa, dari Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Ngawi, Madiun, Ponorogo, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Blora, Madura, Jember, Surabaya, Banyuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan tentu saja dari Trenggalek sendiri. Semula, kami hanya ingin menyelenggarakan Festival Sastra Jawa. Tetapi, kemudian terpikir pula untuk menyelenggarakan pula Festival Desa pada saat bersamaan, terutama agar dalam kesempatan yang bagus itu masyarakat desa tidak hanya menjadi penononton, melainkan juga menjadi subyek dan terlibat langsung di dalam kemeriahan festival. Maka, beberapa bulan sebelumnya kami kirimkanlah 5 orang pemuda kampung untuk magang, studi banding, atau apalah istilahnya, di pusat-pusat pertanian modern yang membudidayakan tanaman organik di Yogyakarta untuk hampir sepekan lamanya. Selain belajar bertani secara organik, kelima pemuda ini juga sempat diajak mengunjungi sebuah Sanggar Seni yang dikelola oleh seorang pemuda desa di pinggiran Kabupaten Bantul, yang karena kreativitasnya pernah mendapatkan kunjungan dari luar negri, dan sang pemuda pelopor itu, Kabul namanya, laris diundang menjadi narasumber sesuai dengan bidang garapnya: menggerakkan pemuda desa dengan media: Sanggar Seni.



Untuk Festival Desa, para petani pelopor dan pemuda desa yang kreatif itu pun diundang sebagai narasumber. Sambutan peserta Sarasehan Desa sangat bagus. Terbukti, ada yang kemudian menjadi semakain penasaran dan secara mandiri belajar langsung ke Yogya,mengikuti jejak 5 pemuda kampung yang sebelumnya kami kirimkan.



Banyak pihak menilai Festival Sastra dan Desa sebagai sebuah kegiatan yang bagus, dan hingga kini pun masih ada saja yang melalui telepon atau SMS menanyakan, kapan acara serupa diadakan lagi. Sayang, terlepas dari bantuan dana yang diberikan, Pemkab Trenggalek sepertinya tidak begitu tertarik untuk menangkap gagasan Festival Desa ini sebagai sesuatu terobosan yang menarik, dan, misalnya, lalu menjadikannya kegiatan pelat merah yang digelar oleh Pemkab, dilaksanakan bergiliran dari satu desa ke desa lain setiap tahun di wilayah Kabupaten trenggalek. Bupati Trenggalek Drs. Soeharto berkenan hadir membukanya, dan dan Wakil Bupati Machsun Ismail M.Ag (kala itu) berkenan menutupnya.



Tetapi, Kepala Dinas Pertanian yag secara langsung kami datangi dan kami undang sebagai narasumber untuk Sarasehan Desa, ternyata tidak bisa hadir, tanpa memberikan konfirmasi. Sementara bagian Bagian Humas Pemprov Jatim perlu beberapa kali menelepon panitia untuk menanyakan lokasi festival sampai kemudian terpaksa mengabarkan bahwa Gubernur yang semula sudah menyanggupi untuk membuka acara ini ternyata tidak bisa hadir karena ada kesibukan mendadak di Jakarta.



Saat beraudiensi dengan Komisi D DPRD Trenggalek, ada sebuah pertanyaan tertuju kepada Panitia Festival, ’’mengapa Festival Sastra Jawa dan Desa diselenggarakan di desa yang jauh, dan bukan di pusat kota Trenggalek? Bukankah itu akan membuat peserta enggan datang? Sungguh, itu pertanyaan yang buruk. Tetapi, saya atas nama panitia pun menjawabnya dengan senang hati, ’’Kami tidak khawatir bahwa festival ini akan sepi peserta karena lokasinya yang jauh, sebab undangan dari Jakarta, Semarang, Blora, Yogyakarta, Solo, Banyuwangi, semua antusias untuk hadir. Bahwa warga Trenggalek sendiri merasa enggan karena menganggap Desa Cakul terlalu jauh, dan memutuskan untujk tidak hadir, semoga itu tidak akan mengurangi kemeriahan festival.’’



Mengapa di desa? Itulah pertanyaan yang sering kami terima waktu itu, bukan hanya dari wakil rakyat, tetapi juga dari beberapa teman saya. Apakah termasuk suara yang didengar atau tidak, kalau saya boleh agak pamer (sebab saya tahu kesannnya akan seperti itu), saya adalah salah seorang yang sering mengkritik Taman Budaya Jawa Timur karena terlalu banyaknya agenda kesenian, beberapa festival, dipusatkan di Surabaya. Lalu, lahirlah agenda baru bernama Festival Kesenian Kawasan Selatan (FKKS), sepertinya mengakomodasi usulan itu



Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di desa-desa, termasuk agenda kesenian, festival, dan sejenisnya, sesungguhnyalah merupakan bagian dari upaya pemberdayaan desa itu. Kegiatan berskala kabupaten, provinsi, bahkan nasional yang diselenggarakan di desa yang jauh dari pusat kota, satu hal yang pasti adalah merupakan tindakan tidak membiarkan uang selalu mengalir dari bawah ke atas, dari desa ke kecamatan ke kabupaten ke provinsi dan seterusnya. Demikianlah, secara kelakar kita bisa menyimpulkan tabiat uang kita sekarang ini sebagai: menetes pelan-pelan ke bawah (ke desa) untuk kemudian dengan cepat menyemprot ke atas, ke pusat-pusat kekuasaan.



Festival Desa, sesungguhnya pula bisa dijadikan agenda untuk mengimplementasikan apa yang pada Zaman Pak Basofi Sudirman sebagai Gerakan Kembali ke Desa (GKD). Dan di dalam Seminar Indonesia Kreartif yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jatim 2010 (Hotel Hayam Wuruk, Trenggalek) pun sempat mengemuka bahwa ’’One village one pruduct’’ tidak harus selalu dimaknai setiap desa menghasilkan satu produk (barang) unggulan.



Jika memang sebuah desa tidak memiliki potensi untuk memroduksi barang, ia tidak harus dipaksa-paksa untuk menghasilkan barang, tetapi secara kreatif ia bisa menciptakan iven unggulan. Semangat memroduksi iven inilah yang dalam tataran kota begitu sukses dilakukan di Jember dengan JFC (Jember Fashion Carnival)-nya itu. Atau, kalau kita mau melihat dalam skala negara/pemerintahan, tentu kita bisa melihat Singapura dan Hong Kong, dua negara yang menjadi sebegitu makmur yang terutama bukan karena barang-barangnya, melainkan karena kepiawaiannya mengelola iven, saya kira.



Kita sering hanya secara harfiah membanggaakan Nusantara pernah berjaya di Zaman Majapahit, yang wilayah kekuasaannya terbentang dari Hawai hingga Madagaskar (?), tetapi lupa mengambil pelajaran, atau resep apa yang membuat kebesaran itu terbangun. Wilayah-wilayah yang ditaklukkan Gajah Mada, sesungguhnya bukanlah wilayah yang dicaplok begitu saja, atau dikuasai sebagaimana penjajah pernah memperlakukan kita (Indonesia), melainkan dibiarkan tetap mengelola pemerintahan dalam negrinya dan mengeksploitasi segenap kekayaan alamnya. Pemerintah pusat (Mojokerto) tak sedikit pun mengusik urusan dalam negri masing-masing wialayah raja-raja taklukan itu. Yang menjadi wajib adalah tiap periode tertentu (tahunan?) kerajaan-kerajaan taklukan itu mengirimkan upeti ke pemerintah pusat, Kerajaan Majapahit.



Dan kita mengenal istilah ’’desa warnana’’ (bermacam-macam desa) seperti yang dikisahkan Empu Prapanca dalam Negara Kertagama, Prabu Hayam Wuruk berkunjung dari desa ke desa pada masa pemerintahannya. Para pemimpin di negri ini pun sekarang suka melakukan hal yang sama, sayangnya, bisanya hanya menjelang musim pemilu atau pilkada. Demikianlah, sesungguhnya rapuh dan kokohnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas semua desanya.



Maka, semangat membangun desa ini seharusnya menjadi poin penting dalam upaya pembangunan bangsa kita. Itu tidak harus dengan gagah menggelontor dana Rp 1 milyar/desa/tahun, tetapi, sekali lagi, yang palin penting adalah sebesar apa empati kita kepadanya. Uang bisa menjadi kekuatan luar biasa memang, tetapi yakinlah, itu hanyalah kekuatan yang bersifat instan. [BERSAMBUNG]

0 komentar:

Posting Komentar