Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN TRENGGALEK [2]

Di tengah-tengah situasi yang serba tidak menentu seperti sekarang ini, jika kita mau berpikir positif, kita akan melihat bahwa ada kreativitas di dalam masyarakat, rakyat yang tetap bisa survive, tak peduli apakah harga bensin akan dinaikkan, apakah tarif dasar lintrik akan semakin tegang (=mahal), apakah pertikaian parpol akan berujung pecah kongsi koalisi, mereka itu, rakyat akar rumput yang saya sebut sebagai para kreator kehidupan (setidaknya kehidupan mereka sendiri) menunjukkan keuletan yang luar biasa. Datanglah ke kampung halaman saya, dan Anda akan menemukan orang-orang, keluarga, yang berdasarkan matematika ekonomi modern seharusnya (berdasarkan pendapatan mereka) telah lama mati, tetapi terbukti masih hidup dan dalam kondisi segar-bugar pula. Ketika tanaman cengkih seolah mogok tumbuh, ketika pohon-pohon tua mati ranggas karena hama, Di Kecamatan Dongko, tiba-tiba pula para petani menyulap pekarangan mereka menjadi ladang nilam. Dan jika saya tidak salah lihat, maraknya budidaya tanaman nilam dengan teknologi penyulingannya, tumbuh di tengah-tengah masyarakat tanpa diinisiasi oleh lembaga-lembaga bergengsi yang bernama: Dinas Pertanian maupun Dinas Perindustrian. Untuk kasus berkembangnya peternakan kambing peranakan etawa di Sumberbening (Kecamatan Dongko), tampaknya juga demikian, tumbuh dari warga masyarakat yang kreatif –saya kenal dahulu ada tokoh bernama Muyono—yang, jika kemudian ada perhatian dari lembaga pemerintah, itu datang seperti polisi di dalam film India: selalu terlambat!

Lalu apa yang diberikan oleh Pemerintah kepada rakyat? Tentu banyak. Apalagi kalau kita menghitungnya dalam rupiah. Sebagai warga desa Cakul, kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, saya mencatat sangat banyak program bantuan (sejak 1970-an hingga 1980-an), dari proyek tanaman terasiring (kalantara, kaliandra, lamtoro gung, rumput gajah) hingga bantuan ternak, baik yang berupa hibah murni kepada petani/peternak hingga yang diberikan dalam format bantuan berguilir. Tetapi, sejauh yang saya lihat hingga sekarang, tidak ada jejak signifikan dari proyek-proyek bantuan itu. Tentu harus diupayakan evalusai terhadap semua itu, agar program-program selanjutnya tidak terjerembab ke dalam jurang kegagalan yang sama.



Ada lagi bentuk kredit supermikro yang pernah digulirkan pada era Orde Baru, namanya KURK (Kredit Usaha Rakyat Kecil) dan berjalan dengan baik di Kecamatan Dongko. Saya tahu cukup banyak mengenai program ini di tingkat implementasinya, karena untuk desa Cakul yang menjadi pengelolanya ada dua orang, dan salah seorang di antaranya ketika itu adalah paman saya (Tukimin, dan jika ada yang bersedia mewawancarainya, ia bisa ditemui di desa Cakul). Tetapi sayang, di tengah-tengah perjalanannya yang semakin menarik hati rakyat, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba pengelolaannya diambil alih dan dilakukan langsung oleh pegawai kecamatan. Maka, pelan tetapi pasti, program yang baik itu pun menguap, hingga akhirnya lenyap tek berbekas.



Untuk sementara saya menyimpulkan, berbagai kegagalan itu disebabkan terutama oleh tidak adanya konsep holistik di dalam pelaksanaannya. Kita bisa dengan gampang menciptakan barang baru, dan tak peduli pada perawatannya. Bantuan diberikan hanya berupa ’’barang telanjang’’ tanpa disertai wawasan yang cukup untuk mengembangkannya. Ibaratnya, kita punya telepon genggam, dari merek terbaru pula, tetapi dalam diri kita tidak pernah ada perangkat kultural mengenai adab atau sopan-santun penggunaannya.



Masyarakat petani kita di pedesaan, berbeda dengan petani di negara maju, pada umumnya adalah masyarakat tradisional, yang secara bawah sadar masih melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai laku upaya bertahan hidup, dan bukannya untuk menaikkan derajatnya menjadi kelas ’’pengusaha’’ walaupun untuk skala pedesaan. Sedangkan kehidupan modern memaksa mereka untuk mendapatkan penghasilan lebih untuk memenuhi tuntutan standar kehidupan modern: mobilitas tinggi, pendidikan, akses informasi, termasuk keharusan adanya pengeluaran rutin setiap bulan seperti kewajiban melunasi tagihan listrik, membayar SPP anak sekolah, dan lain-lain.



Kultur yang tidak dibangun seiring tuntutan zaman modern itu juga tampak pada kenyataan ketika para TKI yang bekerja di luar negri mulai mengantongi modal. Yang biasa mereka bangun pertama kali adalah rumah, yang secara ekonomis adalah barang statis, dan anjlog nilainya begitu didapatkan. Berbeda dengan tanah, misalnya, yang setiap saat bergerak naik nilainya. Uang yang didapat oleh para pekerja kita dari luar negri itu sesungguhnya cukup signifikan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi kita. Gubernur Jawa Timur mengakui, pernah ada masa, tahun, ketika PAD (pendapatan asli daerah Jawa Timur nilainya dikalahkan oleh remiten atau uang yang dibawa ke tanahair oleh para TKI).



Artinya, ini adalah peluang bagi lembaga-lembaga (pembangunan) yang ada di Kabupaten Trenggalek khususnya, untuk mencari terobosan program pembangunan ekonomi yang seiring dengan kebutuhan para TKI/Purna TKI itu, tanpa harus mengintervensi urusan periuk mereka. Dan karenanya saya menganggap sangat lucu pernyataan seorang calon Bpati Ponorogo yang terlontar saat acara Debat Kandidat, lebih kurang begini, ’’Kita akan membantu mereka untuk mengelola modal yang mereka (Para TKI, Bon) dapatkan dari luar negri. Tetapi, itu kalau mereka mau. Kalau mereka tidak mau, ya bagaimana lagi, lha wong itu uang-uang mereka sendiri!’’ Saking lucunya, menurut perasaan saya, hingga kini saya masih menyimpan rekaman suara itu di dalam telepon genggam saya.



Untuk berbagi wawasan dengan para pekerja/mantan pekerja migran itulah antara lain, bersama beberapa teman kini saya sedang terlibat dalam upaya membangun Paguyuban Pekerja/Mantan Pekerja Migran Trenggalek, agar mereka bisa mengakses informasi yang cukup mengenai peluang usaha dan bantuan seperlunya untuk mengelola modal yang mereka dapatkan dari luar negri. [bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar