Jumat, 21 Oktober 2011

Momentum untuk Seni Tradidional [1]

Pengantar

Banyak pihak merasa getir dengan keberadaan kesenian tradisional di negeri ini, yang dipandangnya sebagai kerakap di atas batu (hidup segan mati tak mau) di tengah-tengah pertarungan global, atau di tengah-tengah gempuran arus globalisasi. Pihak lainnya, ada yang dengan senang menyiasatinya, mengawinkannya (sering juga dengan kawin paksa) dengan unsur-unsur modern, mengikuti arus globalisasi, dan tak sedikit pula yang, ’’Mbuh kono, karepmu, ra ngurus!’’
Globalisasi memang dapat dilihat dari berbagai sudut. Ia dapat didefinisikan sebagai keniscayaan akibat dari kemajuan zaman, terutama kemajuan bidang perhubungan: transportasi dan terutama telekomunikasi. Begitulah, ketika telepon genggam, Iphone, Ipad, berada di tangan, serta-merta kita menjadi pemilik cupumanik astagina, menguasai aji pameling. Dunia ada di genggaman kita. Dan jangan lupa, gara-gara cupumanik astagina itulah Sugriwa dan Subali berubah jadi kera. Dari sudut lain, adalah kenyataan bahwa globalisasi juga merupakan gerakan negara-negara adidaya untuk menguasai dunia melalui kekuatan modal, yang sesungguhnya sudah menimpa kita sebagai bangsa sejak Zaman V.O.C. Transnasionalisasi perusahaan-perusahaan besar, semakin meningkatnya modal asing di dalam negri, hingga tergusurnya pasar-pasar tradisional dari benteng-benteng terakhir pertahanan mereka di kampung-kampung adalah bukti betapa kuatnya gempuran globalisasi dalam pengertian ini (gerakan negara-negara adidaya untuk menguasai dunia melalui kekuatan modal). –Untuk selanjutnya globalisasi dalam pengertian terakhir inilah yang dimaksud dalam kaitan dengan ’’gempuran atau gilasan’ tak kunjung henti yang harus diderita oleh kesenian (dan bahkan semua hal yang bersifat-) tradisional, termasuk sistem pertanian tradisional.

Revolusi Hijau merupakan sebuah contoh bagaimana mesin ekonomi-politik globabal menggilas pertanian di Indonesia, termasuk Jawa. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sebagai pelaksana teknis developmentalisme ini bukanlah program pertanian semata, melainkan sebuah strategi melawan tradisionalisme. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, beragam pengetahuan pertanian manusia di muka bumi mengalami penggusuran besar-besaran dan dijadikan satu pola pertanian saja.

Akibat dari program ini ribuan varietas tanaman tradisional tergusur. Lebih parah lagi, petani menjadi tergantung pada industri benih dan tak lagi mampu mengontrol serta mereproduksi benihnya sendiri. Benih telah berubah menjadi sumber kentungan dan kontrol karena di tangan lembaga penelitian dan perusahan-perusahaan transnasional benih merupakan komoditi komersial.Revolusi Hijau ternyata juga menjadi sebuah program untuk menyingkirkan atau melemahkan pengetahuan rakyat. Budaya pemuliaan benih dibabat habis sebagai bentuk kontrol penguasaan pasar. Bahkan, tak jarang petani yang dengan pengetahuan tradisionalnya melakukan pemuliaan benih sendiri dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pembenihan ilegal (kasus Mbah Suko Magelang). Budaya (tradisi) pertanian kita telah dimatikan. Demikianlah Globalisasi menggempur budaya tradisional di muka bumi ini.

Kebudayaan, kesenian, itu bersifat hidup. Artinya, ia tumbuh, berproses. Dalam proses itulah terjadi dialog, bahkan juga tarik-menarik antara yang lama dengan yang baru, antara yang tradisi dengan yang modern. Pertanyaannya kemudian, mengapa ada pihak, dan bahkan selayaknya kita berada di antaranya, tidak merelakan begitu saja yang tradisional tergerus oleh modernisasi? Ketika modernisasi tumbuh secara alamiah, mungkin kita tidak perlu terlalu gelisah.

Tetapi, seperti sudah digambarkan tadi, ada kekuatan yang dengan sengaja menciptakan mesin-mesin pelumat kebudayaan, kesenian tradisional itu. Sebenarnya, motivasi utama penggilas itu bukanlah pada urusan kesenian itu sendiri, melainkan motiv penguasaan aset atau modal. Ketika semua orang memiliki selera yang (relatif) sama, adalah sangat gampang bagi mereka untuk menyediakan (memroduksi) segala kebutuhan, baik barang atau jasa. Bukannya tumbuh dan berkembangnya tradisionalisme yang tidak disukai oleh pemilik modal transnasional itu, melainkan adalah: hak patennya tidak berada di tangan mereka.

Sebagai gambaran, ketika generasi terkini kita menganggap karawitan adalah musik bergengsi rendah, identik dengan kaum tua yang tidak mengikuti kemajuan zaman, para akademisi asing, dari negara-negara maju berbondong-bondong memelajarinya ke negri kita ini. Dan pada saatnya kelak, bisa jadi kita yang harus balik memelajarinya ke negri mereka, dengan harga pembelian yang jauh berlipat-ganda dibandingkan dengan saat kita ”menjual”-nya. Bahkan, sudah terjadi sekarang, banyak akademisi kita harus mau berjauh-jauh ke Negeri Belanda untuk mendapatkan S-3 bidang sastra/budaya Jawa.

Lebih menggelikan lagi adalah pengalaman Ki Manteb Sudarsono Si Dalang Setan itu. Ketika wayang diakui sebaga Warisan Budaya Dunia ia dapat kesempatan ndhalang di beberapa negara Eropa. Di Perancis, didapatinya ’’Dharma Wanita’’ KBRI setempat berlatih karawitan, dan pelatihnya adalah ’’asli tiyang Perancis.’’ [bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar