Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN TRENGGALEK [3]

Kekuatan Seni/Budaya



Sesungghnya masyarakat itu tumbuh di dalam ketegangan terus-menerus antara tradisi dan modernisasi, antara konvensi dan inovasi. Demikian kata teori. Dan di dalam ketegangan yang disadari itulah sesungguhnya ada peluang bagi kreativitas. Kalau kita mau ambil contoh kongkret yang gampang: musik campursari lahir dari ketegangan antara yang tradisi (musik gamelan yang pentatonik) dengan musik modern yang diatonik. Sebagai jenis musik baru, campursari pun dielu-elukan oleh banyak orang, walau tak sedikit pula yang menilai ia destruktif bagi kesenian itu sendiri.

Itu persoalan di luar pokok bahasan kita. Tetapi, esensinya adalah, upaya pembangunan yang berhasil biasanya dilakukan dengan memperhatikan gerak budaya masyarakat yang bersangkutan, dan oleh karenanya suara rakyat perlu benar-benar didengar hingga ke desahnya yang paling lembut agar berbagai program atau kebijakan bisa mereka terima dengan sungguh-sungguh dan berkembang sesuai harapan. Dengan kata yang jelas, Pemerintah atau lembaga lain yang berkeinginan memajukan masyarakat haruslah mendasari segenap upayanya dengan penuh empati, dan bukannya sebatas simpati seperti halnya kita memberikan recehan kepada pengemis di pinggir jalan. Karena itulah, setiap kali Pak De Karwo yang Gubernur Jawa Timur itu mengulang-ulang kalimat ini, ’’Ajaklah mereka (rakyat, Bon) bicara.’’



Kesenian, terutama kesenian rakyat, sesungguhnya bukanlah hanya bisa dipandang sebagai sebentuk hiburan atau media ekspresi semata-mata. Ia juga mengusung suara-suara berisi pesan kultural dari masa lampau, dari nenek moyang, yang dijunjung tinggi hingga batas kemampuan. Yang kadang dilupakan, tetapi pada suatu ketika sebegitu dirindukan. Seni sesungguhnya bisa pula menjadi semacam tombol untuk menggerakkan mayarakat menuju hari depan mereka yang lebih baik. Saya akan memberikan sedikit gambaran pengalaman pribadi saya, mengenai apa yang terjadi di Desa Cakul ketika tahun lalu saya memenuhi permintaan sekelompok anak muda yang didorong oleh sekelompok orang tua untuk membangun sebuah sanggar seni, yang, walau belum berakta notaris, sudah kami beri nama Sasangka Kumenyar.



Sejauh yang saya ketahui, di kampung halaman itu masyarakat terkotak-kotak ke dalam kelompok-kelompok yang secara diam-diam bersitegang karena faktor politis, ekonomis, ataupun karena faktor-faktor lain yang berorientasi kepentingan jangka pendek. Dusun Nglaran (Desa Cakul, Kecamatan Dongko) tempat sanggar Sasangka Kumenyar kami bangun, konon pada tahun 50 – 60-an berjaya berbagai jenis kesenian tradisional, ketoprak, ludruk, wayang orang, kuda lumping, dan terutama karawitan. Seni Tayub pun berkembang di wilayah ini, sampai-sampai ada semacam aturan tidak tertulis, laki-laki dari luar kampung yang hendak menikah dengan perempuan kampung ini haruslah pandai, atau setidaknya dapat langen-beksa (menari tayub). Lalu berbagai jenis kesenian tradisional itu pupus hingga mnyaris tak berbekas. Jika ada yang boleh disebut sebagai sisa jejaknya adalah seperangkat gamelan laras slendro yang nyaris tak dapat digunakan lagi karena sudah terlalu usang.



Begitu sanggar mulai beroperasi, ada latihan karawitan, dan sempat diliput TVRI-Jatim untuk program siaran acara Dua Arah, tak saya sangka-sangka, berbagai tokoh kampung yang semula seperti membangun jarak karena apa yang saya sebut sebagai faktor kepentingan jangka pendek itu tiba-tiba saja dapat duduk melingkar, dalam suasana yang sangat akrap, dan bersama-sama berembug untuk merencanakan gerak selanjutnya Sanggar Seni Sasangka Kumenyar tersebut. Ada seorang ketua RT yang tiba-tiba mengatakan kesiapannya menggerakkan warganya membenahi fasilitas tempat berlatih yang dipandangnya kurang memadai. Ada yang menawarkan ini dan itu, dan yang paling penting dan menyentuh perasaan adalah: semua itu dikemukakan dengan ketulusan hati mereka.



Lalu, saya menawarkan, jika disepakati, sanggar ini kelak bisa dikembangkan bukan hanya sebagai sanggar seni, tetapi juga sebagai sanggar budaya, dimana orang kampung bisa hadir di sini untuk berkesenian, membaca buku-buku sesuai dengan minat mereka untuk menambah wawasan dan mengembangkan ketrampilan mereka di bidang pertanian, peternakan, pertukangan, dan lain-lain. Mereka pun menyambut tawaran demikian dengan suka-cita.



Itulah sebabnya saya berani mengatakan bahwa menyentuh hati rakyat melalui kesenian mereka adalah sangat bagus, dan kesenian rakyat sungguh dapat menjadi tombol untuk mengeksplorasi segenap potensi mereka. [teriring atur panuwun kepada Pak Suko Widodo/bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar