Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN TRENGGALEK [1]

[1] Pendahuluan



Prof. Dr. Ayu Sutarto memetakan Jawa Timur sebagai provinsi yang multikultur, yang menaungi beberapa kelompok etnik, dan membaginya menjadi 10 subkultur: Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kengean (Ayu Sutarto dan Setyo Yuwono Sudikan, 2004).

Peta Budaya itu penting diketahui oleh para pemangku kepentingan proyek pembangunan bangsa karena seperti halnya jiwa dalam tubuh manusia, kebudayaan memberi informasi mengenai riwayat, termasuk riwayat kelahiran, asal-usul, karakter, dan bahkan ’penyakit’ yang pernah dideritanya, jika ada. Bayangkan, jika seorang dokter harus menangani seorang pasien yang kritis tanpa cukup diagnosis dan riwayat kesehatan si pasien. Potensi untuk terjadi malapraktek sangatlah tinggi. Demikian pulalah ibaratnya yang dapat terjadi di dalam Gerakan Pembangunan.



Akhir 2010 lalu Dewan Kesenian Jawa Timur menggelar Kongres Kebudayaan bertema ’’Dari Jawa Timur untuk Indonesia.’’ Satu hal penting yang mengemuka saat itu, menurut penilaian saya adalah sering dilupakannya pendekatan kebudayaan oleh para pemangku kepentingan pembangunan bangsa (Indonesia). Sesungguhnya itu hanya menegaskan kembali hal yang rasanya sudah terlalu sering diteriakkan oleh kalangan seniman/budayawan di negri ini. Itulah sesungguhnya seruan para seniman/budayawan, yang tampaknya belum benar-benar didengar, atau hanya sekadar didengar dan belum diimplementasikan dengan baik dalam setiap gerak pembangunan.



Pembangunan yang sering hanya berorientasi fisik dan material, sering justru menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Sudah berapa kali ganti rezim sejak Pemerintahan Orde Baru yang panjang, melelahkan, dan membosankan itu hingga kini, dan fakta membuktikan bahwa kita belum juga mendekati sukses mengentaskan bangsa ini dari persoalan kemiskinan. Sementara itu bangsa-bangsa lain, lebih tepatnya negara-negara lain yang pernah mengalami jatuh-bangun akibat penjajahan oleh bangsa lain dan atau perang saudara, kini telah bangkit menjadi bangsa maju, atau menampakkan diri semakin mendekati kualitas untuk berhak menyandang gelar sebagai bangsa atau negara maju.



Indonesia, entah sejak kapan masih saja ’bangga’ menjadi bangsa yang sesungguhnya terbelakang, dan menghibur diri dengan istilah: negara berkembang. Memang berkembang pesat jumlah penduduknya, dan secara gawan bayi Indonesia adalah negara besar dan kaya akan sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Tetapi, kekayaan SDM itu tidak bisa dikelola dengan baik, terbukti banyak orang pintar lebih memilih bekerja di negara lain, kekayaan alam kita justru dikeruk dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan (rakyat) negara lain, dan jumlah penduduk kita yang besar tak lebih dari ’’kue pasar’’ yang diperebutkan para produsen barang-barang, dari yang sesederhana tusuk gigi, jarum penthol, hingga barang-barang elektronika yang canggih.



Celakanya, rakyat kita yang miskin secara harfiah itu, yang berpendidikan rendah, yang pola makannya jauh dari kriteria empat sehat lima sempurna, bahkan yang sudah divonis bergizi buruk alias kurang makan, ketika kepada mereka diberikan sejumlah uang, yang mereka beli pertama kali adalah pulsa! Itulah gambaran betapa ketahanan kulutural kita sangatlah rapuh, dan karenanya dengan gampang dilahap oleh kerakusan bangsa lain. Lagi-lagi, gambaran karikatural tersebut menunjukkan bahwa memanglimakan ekonomi adalah sama buruknya atau tidak lebih baik daripada memanglimakan politik. Mungkin juga kebudayaan tidak harus dijadikan panglima. Tetapi, penting untuk dilaksanakan: pembangunan manusia Indonesia seutuhnya seperti yang pernah digembor-gemborkan sejak era Orde Baru.



Demikianlah, setiap rezim memiliki jargonnya masing-masing. Sedangkan di pelosok-pelosok desa mamupun di tengah-tengah kota yang hiruk, kita masih sering mendengar celetukan polos rakyat bahwa lebih enak hidup di Zaman Orde Baru, atau bahkan, lebih enak ketika dijajah Belanda. Haladalah! Kalau mau berbicara kegagalan kita sebagai bangsa (janganlah selalu menimpukkan seluruh kesalahan kepada pemerintah) sesungguhnya tidak diperlukan penelitian dan angka statistik yang sukar dipahami itu. Datanglah ke warung kopi, ngobrol dengan rakyat jelata sekelas tukang becak, sambil menonton siaran berita televisi. Dengan cara pikir sederhana, kita bisa mengatakan bahwa sekitar 6 juta jiwa rakyat kita (80 % di antaranya bekerja di sektor rumahtangga) tidak perlu berbondong-bondong bertaruh nyawa di negara lain jika sebagai bangsa kita benar-benar bertekat mengupayakan agar apa yang disebut Bung Karno sebagai: ’’berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,’’ itu menjadi kenyataan. Lupakanlah aneka macam hasil pooling, angka-angka statistik, dan lihatlah bahwa semakin derasnya arus pencari kerja ke negara lain, suka atau tidak kita sukai, adalah potret kegagalan kita sebagai bangsa.



Kita pernah merasakan angin segar bertiup sebentar saat Gerakan Reformasi berhasil menumbangkan Rezim Orde Baru. Tetapi, pelahan-lahan harapan itu pupus seiring gerak perpolitikan di tanah air yang hanya semakin gaduh, semakin hiruk-pikuk, seolah-olah para elite politik hanya sibuk berdebat kusir, membangun koalisi, dan khasak-khusuk soal reshuffle kabinet. Rakyat sepertinya hanya dipandang sebagai bidak yang gampang diperalat untuk mendapatkan kursi kekuasaan, yang bisa disuap dengan duapuluh atau tigapuluh ribu rupiah untuk menusuk gambar partai tertentu di bilik suara pemilu. Betapa mengerikannya pula ketika mereka, pejabat/elit politik itu bahkan tak lagi hafal teks Pancasila. Dalam kenyataan seperti itu, apakah kita masih punya harapan pada mereka untuk membuktikan bahwa amanat Pembukaan UUD 45 itu benar-benar mereka upayakan? [bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar