Jumat, 21 Oktober 2011

Momentum untuk Seni Tradidional [3]

Kesenian Tradisional

Berbagai jenis kesenian tradisional kita keadaannya semakin menyedihkan. Di Surabaya, ludruk sudah hampir tamat. Untung masih cukup berjaya di Mojokerto, Jombang, dan sekitarnya. Ketoprak juga nyaris, kalau bukannya sudah: tamat. Dan sekian banyak jenis kesenian tradisional, seperti: kentrung, terbang jedhor, kuda lumping, reog, dongkrek, dan sebagainya, seolah-olah sudah tinggal serpih atau cuilan-cuilan fosil di dalam museum tanpa perawatan yang memadai. Tragisnya lagi, museum itu bernama: masyarakat pendukungnya sendiri!
Lalu, sebagian seniman (tradisional) mengatasi ketersisihan itu dengan melakukan ’inovasi’ membuat lebih banyak orang melirik dan menyukainya, tetapi tak jarang pula membuat pihak lain menyumpahinya sebagai tak lebih hanya merendahkan kualitas kesenian dan kesenimanannya hanya demi uang, hanya –meminjam istilah yang marak di kalangan masyarakat kita-- waton payu (asal laku). Jika kita saksikan di beberapa kasus, tudingan ’’waton payu’’ itu memang sangat beralasan.

Munculnya kelompok-kelompok jaranan campursari (jaranan atau seni kuda lumping yang dikemas dengan ramuan lagu-lagu campursari) adalah bukti betapa ruh ’tradisional’: sakralitas, kewibawaan, hilang dari jaranan. Kegelisahan semacam itu bahkan terjadi pula di kalangan pecinta seni pedhalangan (wayang kulit) ketika untuk merebut perhatian penonton banyak dalang melakukan ’terobosan’ yang kebablas sampai pada wilayah sensualitas yang vulgar, atau terlalu banyak menampilkan pelawak yang mengeskploitasi keseronokan atau ’kelemahan fisik’ untuk bahan lawakan-lawakan yang dangkal. Pada tahap ini, tontonan yang seharusnya sekaligus menjadi tuntunan nyaris hilang.

Dalam situasi seperti itu, adalah sangat tidak adil jika kita hanya menuding senimannya. Dan itu hanya aan menambah perlakuan tidak adil terhadap para seniman tradisional itu. Mereka, para seniman tradisional di desa-desa, di kota-kota kecil, sering dikerahkan untuk bekerjabakti untuk memeriahkan hari-hari besar nasional seperti Agustusan. Tetapi, giliran kabupaten/kota atau provinsi berulangtahun atau punya hajat dengan anggaran besar, yang ditampilkan adalah seniman-seniman paling ngetop dengan honor selangit, dari desa lain, kabupaten/kota lain, dari provinsi lain.

Pemerintah melalui kementerian/dinas terkait sering menyelenggarakan kegiatan untuk ’mengangkat’ kesenian tradisional, misalnya dalam format festival, dengan membawa mereka ke etalase-etalase yang sepi. Menyelenggarakan festival Ludruk di tengah Kota Surabaya, adalah tindakan yang kurang tepat, mengingat kesenian ini sekarang tumbuh di pinggiran kota, terutama di wilayah Mojokerto dan Jombang.

Akibatnya, ketika ludruk dikemas sebagai tontonan indoor, di dalam gedung (Cak Durasim, misalnya) ia sering sepi penonton. Lalu para pengamat berteriak, ’’Ludruk sudah tidak disukai lagi!’’ Dan ketika teriakan itu dimuat di koran dan ditayangkan televisi, serta-merta menjelma mantra kutukan, menyugesti masyarakat bahwa Ludruk tidak populer lagi, dan lebih-lebih: tidak bergengsi.

Pada tataran konsep pemberdayaan, sering juga terjadi ’’salah kaprah’’ ketika seniman (bukan hanya seniman tradisional) mengajukan permontaan bantuan kepada Bupati atau Walikota, untuk berproduksi atau menghadiri kegiatan-kegiatan inspiratif di kota lain, pulau lain, atau bahkan negara lain, dana bantuan lalu dicairkan melalui Biro Kesra.

Kesannya kemudian, seniman itu seperti dipandang sebagai fakir miskin atau korban bencana alam. Boleh saja hal seperti ini tidak terlalu dipersoalkan. Tetapi, harus diingat bahwa suka atau tidak suka, itulah gambaran ’ketidakjelasan’ yang diberikan kepada masyarakat oleh Pemerintah melalui birokrasinya.

Penggilasan terhadap kesenian tradisional juga nyata-nyata didukung oleh Regulasi yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan memberikan hadiah "kejutan" hingga ratusan juta, bahkan milyaran rupiah kepada orang-orang yang tidak (perlu) berprestasi, cukup dengan hanya menjadi konsumen yang setia. Karena itu kita sering melihat seniman tradisional tetap miskin hingga akhir hayat, sementara di sekitar mereka banyak orang mendadak kaya hanya karena memenangkan lomba egolan yang diseponsori perusahaan besar. [bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar