Kamis, 29 Oktober 2009

BUKU AJAR DAN BAHASA JAWA LISAN

Suparto Brata

Kata Mas Cipto Dosen Uness Semarang ketika menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul Trenggalek 4 Agustus 2009 lalu, untuk menyemarakkan bahasa dan sastra Jawa jangan selalu mengharapkan uluran tangan dari pemerintah melulu. Ini kebutuhan kita, marilah kita berusaha memberdayakannya dengan penuh semangat, seperti halnya ketika para sastrawan dan pemeduli bahasa Jawa menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul ini.


Saya heran sekali. Kata orang sudah diselenggarakan Konggres Bahasa Jawa 4 kali, berjarak lima tahunan selang seli pada tiga propinsi, yaitu Jateng, Jatim, dan DIJ. Niatnya agar bahasa Jawa dan sastra Jawa bisa bersemarak kembali jadi bahasa harian orang Jawa di tiga propinsi itu. Sudah diselenggarakan empat kali, artinya niatan tadi kan sudah berlangsung 20 tahun. Ternyata keadaan bahasa Jawa maupun sastra Jawa sebelum dilaksanakan konggres-konggres dan saat ini sama saja. Bahasa Jawa zaman sekarang juga tidak semarak seperti zaman sebelum diselenggarakannya konggres-konggres. Sastra Jawa, siapapun yang ingin berkarya, maupun siapa pun yang ingin membaca sastra Jawa ya hanya pada majalah bahasa Jawa Penjebar Semangat, Jaya Baya dan Djaka Lodang. Tidak berkembang lagi, bahkan boleh dikatakan surut, karena jumlah pelenggan majalah-majalah tadi kian hari kian surut, sehingga jumlah yang beredar sebelum ada konggres bahasa Jawa lebih banyak daripada masa kini. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil konggres-konggres yang mestinya diikuti langkah-langkah peraturan pemerintah yang seharusnya dipatuhi di tiga propinsi itu, ternyata sangat minim dilakukan. Kalau pun ada Perdanya, juga tidak dipatuhi pelaksanaannya oleh masyarakatnya di tiga propinsi tadi. Sia-sia?

Pengajaran di sekolah kok katanya juga sudah ada. Tapi keluh-kesahnya para pelaksana Perda untuk mematuhi berkumandang jelas. Jam ajarnya terlalu sedikit. Guru bahasa Jawa kurang sekali. Buku ajar bahasa Jawa belum ada. Dilombakan menulis buku ajaran bahasa Jawa di Provinsi/Kabupaten/Kota konon tidak ada pesertanya. Atau ada, tetapi tidak cocok untuk dijadikan buku ajar bahasa Jawa. Kata Mas Ayu Sutarto, di Jember pelajaran bahasa Jawa di sekolahan sangat ditakuti oleh para murid, tetapi pelajaran bahasa Inggris sangat disenangi dan diminati. Sebab untuk bahasa Jawa harus menghafal anak kuda namanya belo, anak cecak namanya sawiyah. Padahal di sana yang biasa berbahasa Madura, menyebut anak kuda ya kuda kecil, anak cecak ya cecak kecil. Lalu kapan harus mengucapkan belo, karena sekarang kuda saja sulit sekali ditemui. Dan cecak sudah tidak pernah diperhatikan orang.

Sungguh, luar biasa sekali sulitnya bangsa Jawa belajar bahasa Jawa! Sudah diselenggarakan konggres bahasa Jawa yang biayanya ratusan juta rupiah, sudah berlangsung selama 20 tahun, pelajaran bahasa Jawa masih sulit dilaksanakan. Sastra Jawa masih tetap tidak semarak. Sulit sekalikah mengajari bahasa Jawa di sekolah?

Saya dulu diajari bahasa Jawa di sekolah gampang sekali. Murid satu kelas 30 orang dibagi buku merata satu-satu. Murid Parto membaca keras-keras, murid lainnya menyemak. Kalau membacanya salah, murid lain berteriak, “Salah!”. Artinya cara membacanya harus diulang dibetulkan. Terkadang di tengah-tengah membaca, dihentikan oleh guru, guru ganti menyuruh murid Sumono melanjutkan membaca. Kalau Sumono tidak bisa meneruskan bacaannya, artinya dia tidak menyemak yang dibaca oleh Parto. Kena hukuman. Jam pelajaran bahasa Jawa selesai, buku dikumpulkan, dan disimpan di almari sekolah. Keesokan harinya, pelajaran bahasa Jawa dimulai dengan membagi buku yang kemarin, dan disuruh baca ganti-ganti seperti kemarin juga.

Begitu tiap hari cara mengajar bahasa Jawa zamanku dahulu.

Kalau murid sekelas semua sudah mendapat giliran membaca keras-keras buku tadi Bab I, lalu jam pelajaran bahasa Jawa selanjutnya juga membagi buku yang itu juga. Tapi tidak disuruh membaca keras-keras dan yang lain menyemaknya. Selama 10 – 15 menit murid-murid disuruh membaca batin Bab II. Selesai, Pak Guru pun bertanya kepada murid-muridnya bergiliran satu per satu, apa saja cerita yang tertulis dalam Bab II. Yang tidak lancar atau bahkan tidak bisa bercerita, pastilah membacanya tidak lancar. Pak Guru lalu selalu membimbing memberi tuntunan, bagaimana caranya membaca buku itu. Misalnya, kalau membaca buku kepalanya jangan ikut geleng-geleng. Bola matanya saja yang bergerak. Dituntun oleh guru tiap kali terdapat kendala pada satu dua muridnya caranya membaca. Dituntun bagaimana membaca buku. Membaca batin, bibirnya jangan ikut bergerak. Bagaimana caranya membaca cepat dan lalu mengerti maknanya, karena membaca cepat juga sangat berguna bagi seorang pemimpin bangsa.

Cara mengajarkan bahasa Jawa seperti itu bukankah sangat mudah? Yang mengajar tidak usah orang yang titelnya S1 atau S2. Seorang kakak perempuan yang umurnya 3 tahun lebih tua, tapi sudah lancar membaca buku, sudah dapat mengajari adiknya membaca buku (ini saya alami sendiri, dan juga pernah saya lihat di siaran TV yang menyiarkan setelah tsunami di Aceh, seorang mbakyu dan adiknya sama-sama membaca buku di tenda pengungsian). Caranya, adiknya disuruh membaca buku keras-keras, si kakak mendengarkan, kalau salah ditegur dan dibetulkan. Gampang sekali.

Buku ajarnya sekarang tidak ada. Pemerintah belum menerbitkan buku ajar seperti itu meskipun konggres-konggres bahasa Jawa sudah berlangsung 20 tahun. Lalu, apakah pengajaran bahasa Jawa di sekolah menunggu diterbitkannya buku-buku ajar di sekolah? La kalau sudah 20 tahun berlangsung konggres-konggres, buku ajar bacaan bahasa Jawa belum ada, apa kira-kira 50 tahun kemudian baru diterbitkan bukunya setelah konggris yang ke 10? Atau, mengamati sudah diselenggarakan konggres 20 tahun tidak terjadi penerbitan buku ajar bahasa Jawa, mungkin akan selamanya konggres dilaksanakan sepanjang zaman tidak juga terbit buku ajar bahasa Jawa? Konggres hanyalah untuk Konggres?

Kata Mas Cipto Dosen Uness Semarang ketika menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul Trenggalek 4 Agustus 2009 lalu, untuk menyemarakkan bahasa dan sastra Jawa jangan selalu mengharapkan uluran tangan dari pemerintah melulu. Ini kebutuhan kita, marilah kita berusaha memberdayakannya dengan penuh semangat, seperti halnya ketika para sastrawan dan pemeduli bahasa Jawa menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul ini.

Jadi, marilah pelajaran bahasa Jawa di sekolah kita lakukan seperti pada zaman saya dahulu. Yaitu membaca ganti-ganti murid satu kelas dengan menyemak apa yang dibaca temannya yang mendapat giliran membaca. Bukunya? Belum tersedia buku, ya cerita di Taman Putra yang dimuat di majalah bahasa Jawa Jaya Baya atau Panjebar Semangat difotocopy sebanyak jumlah murid di kelas, misalnya 30 orang. Dibagi selembar seorang (ongkos fotocopy ditanggung sekolah). Lalu disuruh baca yang keras berganti-ganti. Selesai jam pelajaran, fotocopy dikumpulkan. Keesokan harinya dibagi lagi, dibaca bergiliran lagi. Begitu hingga seluruh kelas sudah membacanya dengan lancar dan semua mengerti benar alur cerita maupun liding dongeng (the moral of the story). Baru ganti cerita Taman Putra (fotocopyan) yang lain.

Begitulah seharusnya pengajaran sastra Jawa di daerah tiga provinsi di Tanah Jawa sebelum buku ajar atau buku bacaan bahasa Jawa terbit. Yang memfotocopy dari Taman Putra (majalah bahasa Jawa) adalah sekolah-sekolah yang bahasa Jawanya cengkok Mataraman (cengkok Surakarta-Jogjakarta). Di daerah Banyumas apa bahasa Taman Putra majalah Jaya Baya bisa diikuti? Karena bahasa Banyumasan lain dengan bahasa Jawa Mataraman. Sulit bagi anak-anak Banyumas yang tiap hari berbicara bahasa Banyumasan disuruh membaca/berbicara bahasa Taman Putra majalah Jaya Baya.

Gampanglah. Ya gurunya saja disuruh mengarang cerita bahasa Banyumasan. Kalau tidak bisa mengarang cerita sendiri, ya minta tolong kepada orang lain. Mosok tidak ada seorang pun di Banyumas yang bisa mengarang cerita dalam bahasa Banyumasan? Sudah ada buku bahasa Banyumasan yang mendapat hadiah Sastra Rancagé kiblat bahasa Jawa, lo! Buku bahasa Banyumasan mendapat hadiah tertinggi buku bahasa Jawa yang diselenggarakan oleh Yayasan Sastra Rancagé pimpinan Ayip Rosidi. Apa ora hebat? Mosok hanya seorang itu yang bisa mengarang (menulis) cerita bahasa Banyumasan? Dan kalau yang seorang itu tidak lagi menulis bahasa Banyumasan, lalu bahasa Jawa Mbanyumasan kukut? Kan kasihan, Pak Ayip Rosidi sudah berjuang menghabiskan dana, enersi dan waktu bertahun-tahun lamanya, masyarakat Jawa Mbanyumasan tidak bisa mensyukuri dan tidak merasa sejahtera. Menunggu hasilnya para caleg pemilihan yang lalu?

Mengarang cerita itu sulit, lo, Pak!

Sudah. Begini saja. Untuk bacaan di kelas bagi murid yang bahasanya Banyumasan, suruh saja Pak Guru menterjemahkan cerita anak dari majalah Bobo. Seperti halnya Taman Putra tadi, cerita anak di majalah Bobo setelah diterjemahkan dalam bahasa Banyumasan, diketik pada komputer, difotocopy sebanyak jumlah murid di klas, lalu dipakai sebagai pelajaran bahasa Jawa Banyumasan. Untuk bacaan di kelas mulai klas satu hingga klas tiga.

Itu yang di Banyumas. Yang di Tegal juga begitu. Cerita kanak majalah Bobo (yang sudah jelas makna dan mutu pendidikannya) diterjemahkan dalam bahasa Tegalan. Yang Banyuwangi bahasa Osingan. Yang Madura bahasa Maduran. Dengan cara begitu, maka pengajaran sastra Jawa menurut daerahnya masing-masing akan lancar. Bukan saja murid dipaksa membaca bahasa daerahnya masing-masing, tetapi yang juga sangat penting, yaitu MEMBACA SASTRA. Bangsa Indonesia sudah sangat kehilangan pembacaan sastra sebagai kiat hidup modern. Bangsa Indonesia 90% tidak punya budaya membaca buku, hidup di zaman modern dengan mengandalkan kiat hidup primitif, bahasa lisan, yaitu melihat dan mendengar saja. Itu kiat hidup orang primitif sejak dulu kala. Oleh karena itu, kalau pelajaran membaca buku dituntun di sekolah seperti pembacaan fotocopy bahasa Banyumasan dan lain-lain tadi, maka MEMBACA SASTRA sudah dimulai lagi di sekolah Indonesia. Setidaknya di tiga provinsi daerah bahasa Jawa. Dengan cara tadi maka mula-mula sejak kelas satu diajari membaca sastra (Jawa), selanjutnya selama 12 tahun bersekolah putera bangsa terbiasa membaca sastra, akhirnya tentu berbudaya membaca sastra, berbudaya membaca (buku) sastra.

Fotocopy terjemahan Taman Putra dan Bobo dijadikan bacaan ajar bahasa Jawa di masing-masing daerah seperti itu hanya berlaku sampai di kelas tiga. Di kelas empat, yang difotocopy lain. Bukan Taman Putra, tapi dari rubrik Roman Sacuwil. Di Banyumas terjemahan diambil dari buku ciklit. Di SMP yang diterjemahkan dan difotocopy sudah crita cekak (cerita pendek bahasa Jawa). Setelah SMA yang jadi bacaan bahasa Jawa sudah buku roman (novel) bahasa Jawa, misalnya Trah atau Dokter Wulandari. Yang diterjemahkan bahasa Osingan, Maduran, Banyumasan sudah buku Ayat-ayat Cinta, atau Raja Minyak karangan Karl May.

Begitulah kalau keadaan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah sampai 12 tahun lagi buku ajar bacaannya belum juga ada. Kalau para sastrawan Jawa semangatnya untuk mengembangkan sastra Jawa seperti yang dijiwai pada Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul Trenggalek tanggal 4 Agustus 2009, 12 tahun lagi sejak sekarang, saya kira para pemerhati dan pengelola sanggar-sanggar sastra Banyumasan, Osingan, Tegalan dan Mataraman sudah pada bersemangat menerbitkan buku-buku cerita bacaan untuk tingkat kelasnya masing-masing. Tidak perlu lagi bacaan fotocopyan. (Jangan melulu menunggu uluran Pemerintah saja, ujar Mas Cipto). Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif (FSJD) yang diselenggarakan di Desa Cakul 4 Agustus 2009 itu dipromotori oleh Ketua Perhimpunan Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Drs Bonari Nabonenar, berhasil menghimpun banyak sekali pengarang sastra Jawa, baik yang muda maupun yang usia lanjut, baik yang pemula maupun yang dedengkot, dari seluruh wilayah Jawa dari Jakarta (Diah Hadaning) sampai Banyuwangi (Drs.Suyanto,MPd), dari mahasiswa bahasa Jawa sampai dekan-dekannya, datang ke Cakul dengan beaya sendiri-sendiri, dan di sana diselenggarakan berbagai pentas tradisional budaya Jawa maupun yang inovatif, serta sidang-sidang diskusi di berbagai tempat dan berbagai waktu, para tamu menginap di rumah-rumah penduduk desa dengan konsumsi dan fasilitas penginapan seadanya. Sungguh-sungguh Jawa dan desa. Namun mereka semangat berdiskusi mengenai sastra Jawa umumnya.

Penyemarakan bahasa dan sastra Jawa kalau semangatnya seperti itu, pastilah akan berhasil. Kalau penyelenggaraan seperti konggres-konggres Bahasa Jawa yang mewah, tetapi tanpa diikuti pelaksanaan hasil konggres, ya 12 tahun lagi keadaan bahasa Jawa dan sastra Jawa ya tetap seperti sekarang ini. Hidupnya penutur dan sastrawan bahasa Jawa seperti hidupnya para petani di desa-desa. Menghasilkan sesuatu yang berguna untuk bangsa, tetapi tetap terbengkalai, dijauhkan dari kesejahteraannya.
Menurut pendapatku, buku ajar bahasa Jawa Mataraman, Osing, Tegalan, Maduran, Banyumasan jangan buku linguistik, melainkan sastra. Jangan disuruh menghafalkan kembang jati itu namanya jangleng, anak babi itu namanya genjik. Jangan seperti itu. Tetapi suruhlah putera bangsa membudayakan membaca cerita: Kancil nyolong timun, Ali Baba karo 40 kecu, cerita-cerita seperti itu. Membaca cerita atau sastra sudah diyakini pasti bisa menyenangkan dan berguna (dulce et utile) untuk kiat hidup modern. Jika cara begini dilaksanakan, 12 tahun lagi putera bangsa yang lulus SMA pasti sudah punya budaya membaca buku sastra, Indonesia khususnya lulusan dari tiga provinsi Jawa, sudah tidak ketinggalan lagi membaca buku kesusastraan. Tidak bodoh, tidak miskin, tidak nelangsa, tetapi sanggup hidup mandiri, banyak kreasinya yang inovatif, membantu kesejahteraan rakyat, (membantu pemerintah, tidak hanya mengharapkan kebahagiaan dari pemerintah).

Pada FSJD Cakul ada lagi yang perlu saya ceritakan. Mas Beni Setia (asal dari Sunda) mengemukakan bahwa sastra Jawa sebetulnya masih terasa hidup semarak sampai sekarang di desa-desa. Bisa dilacak dari masih digemarinya pagelaran (berbahasa Jawa) wayang, ketoprak, ludrug. Juga ketika memperingati sepasaran bayen (lima hari kelahiran bayi) diselenggarakan macapatan. Pada upacara pernikahan pengantin juga dikumandangkan bahasa Jawa yang luhur. Pada peristiwa seperti itu sastra Jawa masih disemarakkan oleh warga desa. Sastra Jawa modern jadi kurang melekat kepada masyarakat Jawa karena tidak berlandaskan suasana kedesaan Jawa. Sastra Jawa modern meninggalkan kejawaannya, kata Mas Beni Setia.

Mas R.M.Yunani terkejut mendengar uraian Mas Beni. Sastra itu ya ditulis. Tidak diucapkan lisan. Memang pada pagelaran yang disebut tadi mengandung bahasa yang adiluhung. Bahasa adiluhung memang jadi salah satu dari panutan wajib ditulis pada sastra. Jika sastra Jawa modern ingin berkembang, ya harus diciptakan secara modern, wacana sastra dunia harus jadi referensinya. Itu bukan berarti sastra Jawa modern meninggalkan asal-usul orang Jawa.

Menurut pendapatku, apabila kita bicara tentang menyemarakkan BAHASA (Jawa), yang paling penting bahasa itu harus sering didengar dan sering diucapkan. Jika Gubernur/Bupati/Kota ingin bahasa Jawa semarak di masyarakat (melaksanakan keputusan Konggres-konggres Bahasa Jawa) diatur saja lewat Peraturan Pemerintah Daerah (Perda), agar bahasa Jawa sering diperdengarkan dan diucapkan. Jadi pagelaran kotoprak atau drama bahasa Jawa sering dipentaskan (misalnya diselenggarakan lomba pentas antarsekolah SMP). Jam-jam siaran radio swasta di daerahnya harus berbahasa daerah, di Madura siaran radio harus bahasa Madura, dan sebagainya. Juga TV lokal, harus berbahasa daerah yang baik, bahasa daerah yang membangun.

Nanti apa ada yang menyetel TV dan radio swasta?

Tergantung acaranya, bisa menarik atau tidak. Andaikata TV lokal menyiarkan telenovela Brasil yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Misalnya Maria Marcedes yang pernah digilai oleh penonton Indonesia sehingga peranan utamanya didatangkan ke Indonesia disiarkan dalam bahasa Jawa. Pasti menarik perhatian baik orang yang di Tanah Jawa, maupun orang Jawa yang merantau di luar Jawa. Mengapa menarik perhatian? Sebab ceritanya memang bagus, tokohnya bule (penonton Indonesia/Jawa masih mengidolakan tokoh bule) tetapi lancar berbahasa Jawa, bahasa Jawa yang bersih, cerdas, terpelajar. Telenovela Brasil atau Meksiko, rata-rata alur ceritanya lebih banyak dituntun dengan bertutur kata (meskipun settingnya tetap di ruangan yang sama) daripada beraksi. Kalau tutur katanya itu dalam bahasa Jawa, maka ceritanya tetap akan menarik. Agak lain dari sinetron Indonesia yang lebih banyak beraksi kekerasan (suka sekali mentayangkan adegan menyiksa, klub malam, rumah sakit dan kuburan), tutur katanya kasar, tidak cerdas, melecehkan orang lain, penuh kebencian, dendam kesumat, cenderung banyak menimbulkan/mempromosikan konflik serta kekerasan dan perpecahan. Persoalannya, apakah TV lokal swasta sanggup menyelenggarakan dubbing bahasa Jawa sebaik itu? Sebab juga dibutuhkan orang Jawa yang pandai berbahasa Jawa. Dengan tutur kata terjemahan dari telenovela Brasil tadi (yang cerdas, bersih dan ceritanya modern) maka akan ternyata bahwa bahasa Jawa bukan bahasa kuna ataupun ndesa. Bahasa Jawa bisa digunakan untuk menampung kehidupan dan pemikiran modern.

Kalau hasrat semangat rakyat atau masyarakat di tiga provinsi Jawa itu seperti para sastrawan FSJD Cakul, pasti bisa terselenggara semaraknya bahasa Jawa yang modern dan terpelajar pascakonggres-konggres bahasa Jawa.

Yayasan Sekolah Karmel Malang, dengan semangat ingin mencerahkan bahasa dan sastra Jawa, tidak saja untuk disiarkan pada murid-murid di sekolahnya, melainkan juga dikembangkan kepada masyarakat umum. Tahun 2006 dan 2008 pernah bekerja sama dengan majalah bahasa Jawa Jaya Baya (Surabaya) mengadakan lomba pengarang geguritan dan crita cekak untuk umum. Pesertanya cukup banyak dari berbagai daerah baik di Jawa Tengah, DIJ dan Jawa Timur. Namun, setelah hasil lomba diumumkan dengan disertai upacara penyerahan 6 pemenangnya yang terima hadiah dan diskusi tentang sastra Jawa (semua para peserta lomba diundang dengan diganti transportasi, konsumsi dan penginapannya ~ tentu saja mereka belum tahu siapa pemenangnya, maka mereka antusias untuk hadir di Malang), serta karya pemenang utama berturut-turut dimuat di majalah mingguan Jaya Baya, maka selesailah kegiatan penyiaran sastra Jawa tersebut. Tidak ada kumandangnya lagi sekarang. Yang paling berhasil dalam lomba itu adalah dibangkitkannya para sastrawan untuk ikut serta lomba menciptakan hasil karyanya. Akan lebih bermanfaat lagi kalau karya hasil lomba itu dihimpun diterbitkan jadi BUKU. Karena sastra adalah buku. Dengan adanya buku sastra Jawa, maka sastra Jawa akan selalu diingat tiap kali dibaca pada bukunya. Sedang kalau disiarkan di majalah atau suratkabar, akan tidak terbaca lagi setelah ada penerbitan majalah nomer yang baru. Nomer yang lama (yang memuat karya sastra) ikut hilang bersama nomer majalah yang lampau, tidak dibaca lagi. Lain kalau diterbitkan jadi buku.

Kalau Yayasan Sekolah Karmel di Malang ingin mengembangkan bahasa Jawa dengan hasil lomba-lombanya tadi, yang pertama mestinya hasil lomba tadi diterbitkan jadi buku. Yang kedua lomba dijadikan agenda dua tahunan, diselenggarakan terus tiap dua tahun sekali. Itu tadi tentang SASTRA Jawa. Yang ketiga, ini untuk menyiarkan agar BAHASA Jawa selalu didengar dan diucapkan, diselenggarakan lomba baca geguritan dan crita cekak antarsekolahnya secara periodik hasil lomba penulisan di majalah yang lalu. Syukur-syukur bisa dilombakan drama bahasa Jawa antarsekolahnya dengan cerita gubahan hasil cipta cerita pendek yang dilombakan di majalah Jaya Baya tahun-tahun lalu. Kalau lomba baca geguritan dan cerita cekak orang hanya mendengarkan sekejab bahasa Jawa, tetapi kalau dipentaskan sebagai drama (bahasa Jawa), penonton/pendengar lebih menjiwai tuturan bahasa Jawa tadi. Berbeda dengan pementasa ketoprak atau ludrug yang telah punya ikatan tradisional (sehingga penontonnya pasti orang yang mengenal pentas tradisional tadi), maka pementasan drama lebih memenuhi kreteria kehidupan masa kini atau bebas dan modern. Sesuai dengan tuntutan menyemarakkan bahasa Jawa saat ini.

Sebetulnya bukan hanya Yayasan Sekolah Karmel Malang saja yang harus menyelenggarakan lomba-lomba bahasa dan sastra Jawa seperti itu. Pemerintah Daerah Provinsi/Kota/Bupati, lembaga swadaya masyarakat seperti penerbitan suratkabar, penyiaran radio, televisi yang memiliki pasarannya dengan didengar dan dibaca, punya kewajiban menyelenggarakan lomba-lomba seperti itu kalau mereka berada di tiga propinsi yang menyelenggarakan Konggres Bahasa Jawa itu.

Jika ingin menyemarakkan BAHASA (Jawa), maka bahasa tadi harus sering diperdengarkan dan diucapkan. Jika ingin menyemarakkan SASTERA (Jawa), maka bahasa tadi harus banyak ditulis pada buku, dan dibaca pada buku. Mestinya itu yang harus diperbuat pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat di tiga propinsi pascakonggres-konggres bahasa Jawa.

Jadi, pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa tidak hanya berkumandang seperti ketika Yayasan Sekolah Karmel di Malang menyelenggarakan lomba mengarang geguritan dan crita cekak, setelah hasil lomba diumumkan bahasa dan sastra Jawa lenyap. Tidak hanya pada saat-saat diselenggarakan Konggres Bahasa Jawa pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa berkumandang, setelah selesai Konggres bahasa dan sastra Jawa sepi. Harus ada perkembangan pengetrapannya selanjutnya.

Begitulah harapan saya. Semoga.

Oct 19th, 2009

Saka: Suparto Brata

0 komentar:

Posting Komentar