Minggu, 02 Agustus 2009

Pergelaran

Oleh: Beni Setia

PADA peta dengan skala 1:10.000.000, Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, yang terletak di jalur antara Trenggalek-Pacitan, mungkin hanya titik seukuran mikron -tak perlu diterakan- tak terlihat ada. Tapi, dalam Festival Sastra Jawa (FSJ) 2009 yang akan diselenggarakan pada 3-4 Agustus besok, tempat itu akan menjadi sumber pembuktian bahwa sastra Jawa masih ada dan bisa bertriwikrama menyatakan diri sehat setelah selama ini hanya diam di majalah bahasa Jawa dan tradisi tutur macapat atau wayang kulit.


Bukan cuma menunjukkan masih ada kemauan buat meneruskan energi kreatif dengan melakukan eksplorasi demi pencapaian estetika serta ekspresi baru, seperti yang ditunjukkan banyak sastrawan Jawa modern di ranah sastra Jawa tulis. Yang lebih diakui dan dianggap sebagai representasi sastra Jawa adalah hadirnya geguritan, cerkak, dan roman di majalah bahasa Jawa dan buku sastra yang dianugerahi Rancage Award dan dipergelarkan di forum FSJ 2009. Tetapi, juga upaya sadar untuk melihat dan menghadirkan lagi sastra lama Jawa, sastra tradisional lisan, yang selama bertahun-tahun selalu dihadirkan dalam wujud pergelaran macapat atau pentas wayang kulit.

Selain itu, akan menjadi tetenger dari upaya untuk menunjukkan bahwa sastra Jawa masih layak ditengok dan sekaligus mempunyai pendukung yang menikmati, tapi tak pernah menyuarakan pengamatannya. Mereka adalah para kritikus bisu di pedesaan. Yang bukan priayi baru, para pangreh praja, yang mengasah budi pekerti dengan membaca sastra di majalah atau dalam wujud buku, tapi wong desa yang diam-diam ambil bagian, meski hanya dengan menyimak pergelaran wayang kulit di panggung, live di TV, atau dalam kemasan audio kaset atau audiovisual VCD dan DVD. Mereka masih nguri-nguri dan mengapresiasi sastra Jawa. Sayang, FSJ 2009 tak melangkah lebih jauh dengan menghadirkan revitalisasi wayang -yang versi teksnya selalu hadir di Jawa Pos Minggu dan kemudian dibukukan itu- yang dikolaborasikan dengan disiplin kesenian lain dalam wujud pentas wayang suket Slamet Gundono.

Sempat terpikir: alangkah indahnya kalau launching buku dan pentas wayang suket Slamet Gundono itu tak dilakukan di Taman Budaya Surakarta, 26 Juli lalu, melainkan dalam FSJ 2009 di Trenggalek, 3-4 Agustus besok. Kenapa? Sebab, ada kesan wayang suket itu pergelaran sastra pertunjukan yang dirancang sebagai eksplorasi personal dan cuma diperuntukkan bagi kalangan terdidik, yang terlatih menikmati ekspresi kreatif orisinal, tampilan alternatif yang untuk mengapresiasinya dibutuhkan limit referensi sastra dan seni tertentu. Dan wong desa, yang hanya pasif partisipatif menikmati sajian sastra pergelaran, tak akan mampu memaknai kehadiran yang menyimpang dari yang baku -''cakrawala harapan'' dalam termin estetika resepsi- dan karena itu tak boleh atau belum waktunya untuk diberi sajian eksperimental. Ini pendekatan yang muncul dari sindrom priayi anyar (kaum terdidik), yang menulis sastra Jawa baru dan dipublikasikan dalam bentuk teks di majalah atau buku, yang harus diapresiasi secara personal.

Penyepelean yang muncul dari fakta: sastra Jawa bagi wong desa dan seperti yang tampak dalam fenomena sastra Jawa tradisional, senantiasa tampil dalam wujud pergelaran sastra pertunjukan -macapat, wayang, atau dongeng/babad/hikayat- meski ada yang berbentuk teks dan disimpan sebagai pusaka keraton. Ketika sastra hanya tampil dalam pergelaran, penontonnya cukup datang untuk duduk manis tanpa harus membayar karcis atau membeli teks, tanpa perlu membawa referensi seni dan sastra apa pun karena semua penafsiran dan kelihaian untuk menghidupkannya menjadi tanggung jawab si penampil, dalang atau the story teller. Modalnya cuma ada waktu senggang atau berani menyisihkan kegiatan lain demi untuk menonton dan terhibur. Tertawa, keplok-keplok.

Sastra modern tertulis tak bisa mengambil alih fungsi inklusif sastra tradisional lisan (Jawa). Karena itu, mereka jadi pekerjaan serius di antara kelompok eksklusif kaum terdidik, yang malah minoritas di tengah kaum terdidik lain yang lebih peduli pada lifestyle hidup konsumtif perkotaan. Lantas, mereka menafsirkan sastra tradisional Jawa dan menganggapnya bukan pencapaian personal. Secara penulisan teks, memang tak ada eksplorasi. Tapi dalam penampilannya sebagai sastra pergelaran, para dalang atau the story teller itu -seperti Slamert Gundono atau Jayus Pete- adalah eksplorator yang gigih dan terbukti bisa menemukan alternatif pementasan dan sangat peka-lihai saat memanipulasi suasana dengan improvisasi genial yang menyebabkan pergelaran lebih memikat-orisinal dari tampilan teks.



Pada faktanya, para sastrawan Jawa modern yang rancak melakukan eksplorasi fantasi dan imajinasi teks selalu terbata-bata bila menampilkan teks itu dalam disiplin happening art, kecuali Slamet Gundono atau Jayus Pete. Bagi saya, itu merupakan indikasi bahwa sastra Jawa hadir dalam dua wajah. Pertama, yang tekstual di media massa cetak dan karena itu menuntut kemampuan membelinya dan mengapresiasinya dengan referensi yang cocok dengan niat menulis si kreator. Kedua, yang live bersifat pergelaran (happening art), bergantung pada kemampuan si dalang untuk menghidupkan teks di panggung supaya memuaskan penonton yang datang tanpa beli karcis dan perlengkapan apresiasi referensi dakik-dakik.

Entah bagaimana kita fokus pada yang pertama. Mulai subsidi menerbitkan buku sastra, hadiah buku sastra tahunan, hingga gerakan resmi menyebarkan ke daerah dengan mendirikan banyak perpustakaan daerah dan sekolah.

Tapi, kenapa tidak ada yang tertarik menyelenggarakan lomba macapat tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, dan internasional, seperti Festival Gamelan Internasional yang dirintis almarhum Sapto Rahardjo di Jogjakarta? Sementara itu, festival wayang disederhanakan jadi lomba mendalang, cenderung dipadatkan dan direduksi jadi hanya penilaian pada aspek-aspek elementer dari mendalang. Sehingga, hakikat pergelaran wayang sebagai sebuah pergelaran sastra pertunjukan yang sangat mengandalkan kemampuan seni pertunjukan sesuai kaidah happening art dilupakan. Aspek kenyamanan menonton, keterikatan penonton pada pergelaran, serta derajat keterhiburan menonton jadi acuan. Kita jadi tidak bisa fokus menilai sampai sejauh mana penonton (baca: kritikus, juri) mengapresiasi dan menarik makna dari pergelaran, yang bermula dari disiplin sastra tertulis yang butuh derajat keterdidikan tinggi dan inisiatif meluaskan wawasan personal itu.

Dengan kata lain, menghidupkan sastra Jawa itu bermakna berusaha agar kita menyadari adanya proporsi, menjadi bijak, dan proporsional dengan tidak memakai kaidah sastra tertulis -yang diakomodasi dan diadaptasi dari sastra modern Barat dan Indonesia- untuk menghakimi representasi sastra tradisional lisan Jawa yang selalu tampil dan ditampilkan dalam kaidah happening art seni pertunjukan. Dengan itu, kita menjadikan sastra tradisional lisan Jawa terpinggirkan, dimarginalkan sebagai yang tidak menantang, yang tak memungkinkan eksplorasi kreatif demi sesuatu yang orisinal. Dengan kaidah seni pertunjukan yang menghadirkan teks sastra sebagai sastra pertunjukan, tantangan untuk melakukan eksplorasi tetap ada. Celakanya, kita abai sejak memilih menghadirkan sastra Jawa modern tertulis. Memang. (*)

*) Beni Setia, pengarang

[Jawa Pos, Minggu, 02 Agustus 2009 ]

0 komentar:

Posting Komentar