Minggu, 02 Agustus 2009

FSJ 2009 dan Subversi Budaya

Oleh Beni Setia

Setelah lama diimpikan, bahkan menjadi duri friksi dalam Kongres Basa Jawa di Semarang, akhirnya perfoming sastra Jawa yang sama sekali bebas dari dominasi basa Jawa bisa dilaksanakan. Setelah ditangguhkan dari rencana awal, 17-18 Juni 2009, Festival Sastra Jawa 2009 positif akan diselenggarakan pada 4-5 Agustus 2009 di Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek.


Sebuah undangan, yang secara sadar menekankan peta dan petunjuk teknis rute untuk mencapai lokasi acara dari segala arah, secara surealistis mengingatkan saya pada teks revolusi kebudayaan model Mao di China. Faktanya, para intelektual dan budayawan kota, yang dianggap Mao terlalu teoretis berdasarkan buku teks, dipaksa meninggalkan kota dan hidup praktis sebagai petani desa.

Festival Sastra Jawa (FSJ) 2009 akan menyelenggarakan seminar dan penampilan sastra, workshop untuk guru, dan sarasehan (antar) desa yang merupakan pendekatan penyuluhan untuk semua kerajinan serta hasil bumi yang akan dipamerkan selama acara itu menohokkan referensi tersirat itu. Pengakuan akan sastra Jawa modern, yang sifatnya tertulis di media massa dan didukung sastrawan yang rata-rata masuk kelas menengah dan hidup dalam tradisi budaya tulis. Kini para dosen dan guru, yang secara teknis harus berjenjang DIV atau S1, serta wartawan harus datang dan menginap di rumah petani Trenggalek yang secara budaya masih di taraf lisan.

Itu merupakan tonjokan buat melakukan retreat sekaligus retrospeksi: fakta bahwa mereka berkesenian secara tertulis dengan memanfaatkan khazanah sastra dunia dan minimal sastra Indonesia, sementara itu kebanyakan orang Jawa yang diandaikan akan menjadi apresiator karya mereka tidak pernah benar-benar beranjak dari budaya lisan, yakni menyimak TV, radio, kaset/VCD, kabar burung, petuah sesepuh, dan taklimat dari pamong rendahan. Karena itu, mereka mirip sang intelektual yang hidup dengan buku dengan angan-angan dan asumsi eksklusifnya, yang menyebabkan sastra Jawa modern tulis terpisah dari komunitasnya yang masih berbudaya lisan. Meski demikian, tradisi lisan itu pada dasarnya lebih disebabkan fakta mereka adalah petani marginal subsistensial pedesaan, yang tidak punya sisa uang untuk berbuat mewah membeli majalah Jawa.

Celakanya, hilangnya guru pelanggan setia di pedesaan itu tidak bisa diganti atau tergantikan kaum terdidik kota, baik yang terbiasa membaca karena suntuk dalam budaya tulis maupun yang sok modern tetapi tidak terbiasa membaca dan hidup dalam budaya lisan. Bagi sebagian kaum terdidik kota, pilihan tidak berlangganan media massa Jawa lebih disebabkan fakta pragmatik informasi lebih cepat didapat di media massa Indonesia atau Inggris ketimbang media massa Jawa. Mengapa?

Semua paket informasi itu sudah dikemas dan siap dikomunikasikan dalam bahasa Indonesia atau Inggris sehingga harus diterjemahkan dahulu ke bahasa Jawa. Ada rantai penyampaian yang menyebabkan informasi itu terlambat, selain tidak banyak intelektual Jawa yang mau bekerja sebagai penerjemah di media massa Jawa sehingga terpaksa memakai penerjemah otodidak atau yang tidak menguasai kaidah bahasa Jawa dan menerjemahkan teks secara harfiah. Fakta yang bertriwikrawa menjadi hujatan sekaligus gugatan agar intelektual Jawa, minimal sastrawan Jawa, kembali ke desa.

Kembali eling kang weruh bahwa komunitas Jawa di pedesaan masih ada dan hidup dengan tradisi budaya lisan dengan bahasa Jawa yang mungkin teramat ngoko pinggiran-egaliter tidak perlu menekankan tata hegemoni bahasa yang mengutamakan klan priayi-pangagung-pinisepuh, yang menurut Antonio Gramsci merupakan cara halus untuk mengekalkan kekuasaan dan penguasaan.

Sebuah ajakan untuk kembali ke tradisi lisan untuk menciptakan teks sastra yang media publikasinya adalah radio, TV, kaset/VCD, dan perjalanan keliling membaca sastra lisan, yang di Jawa Barat sudah lama dirintis Lembaga Basa Jeung Sastra Sunda dengan biaya pribadi. Maka pada masa depan, sastra Jawa tidak sepenuhnya terletak di PS atau JB, yang seharusnya resmi dilanggan setiap sekolah dengan dana BOS, tetapi dalam pasemon bulanan yang amat intim, seperti komunitas macapat klasik pedesaan yang menghidupkan sastra (lisan) Jawa.

Beni Setia Pengarang

Kompas -Jarim, Jumat, 31 Juli 2009 | 15:44 WIB

0 komentar:

Posting Komentar