Senin, 30 Januari 2012

Gagrag Bonarian

Oleh Sucipto Hadi Purnomo



BERCERITA tentang sastra Jawa masa kini, saya merasa mesti berkisah soal Bonari. Bonari Nabonenar lengkapnya. Apa istimewanya? Bonari, jelas nama Jawa, berkesan ndesa pula. Tapi Nabonenar, rasa-rasanya belum pernah ada anak Jawa yang diberi nama itu. Bukan Jawa? Entahlah. Toh saya tak hendak menyoal lebih jauh ikhwal nama, kecuali saya anggap ia bisa menjadi pambukaning warana untuk menyibak gambaran sebagian dari kehidupan sastra Jawa masa kini.
Saya mengenal Bonari kali pertama bukan sebagai sastrawan Jawa. Saya dengar nama itu ketika gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman mampir ke kampus saya, IKIP Semarang di Sampangan, tahun 1990. Saya tak ingat benar, dia datang atau tidak, apalagi dengan paras seperti apa. Yang saya ingat, dia salah satu dari sederetan anak muda-sastrawan yang tengah melawan hegemoni pusat dalam hal bersastra.

Dari majalah berbahasa Jawa "Panjebar Semangat", sepanjang dekade 90-an, saya makin mengenal nama itu sebagai penulis geguritan dan cerita cekak (cerkak). Saya mengenalnya sebagai sastrawan Jawa, hingga pada tahun 2001 di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta, saya tahu dialah salah satu dari penggerak Kongres Sastra Jawa (KSJ). Konon nama lain yang berada di barisan ini adalah Keliek SW, Daniel Tito, Dhanu Priyo Prabowo, dan sejumlah nama lain.

Sungguh saya jatuh hati pada KSJ I "pada pandangan pertama". Bukan saja pada spirit perlawanan yang diusung, tetapi pada keguyuban yang kemudian membangun kemandirian.

Betapa tidak, ketika Kongres Bahasa Jawa (KBJ) dihelat dengan biaya miliaran rupiah dari pemerintah, KSJ justru hadir dari hasil "bantingan". Alih-alih mendapatkan honorarium, para penyelanggara justru harus "cucul dhuwit" untuk transportasi, akomodasi, konsumsi, dan berbagai kepentingan lain. Tak hanya penyelenggara, para peserta, bahkan pembicara pun harus menjalani nasib serupa.

Namun justru di situlah kemandirian terbangun. Justru karena itulah, KSJ mampu hadir sebagai ajang konsolidasi bagi para sastra Jawa, baik muda maupun senior, untuk terus menghidup-hidupi "tlatah cengkar" ini.

Tanpa bermaksud mengecilkan peran yang lainnya, Mas Bon --begitu biasa saya menyebutnya-- pantas mendapatkan catatan secara khusus. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya (kini Unesa) ini hampir selalu saya jumpai dalam setiap pertemuan sastra Jawa. Mulai dari Semarang, Ungaran, Yogyakarta, Solo, Bojonegoro, Surabaya, Trenggalek, hingga Tulungagung.

Dari setiap pertemuan, saya makin tahu, dialah pejuang terdepan untuk mengupayakan pertemuan dan penerbitan buku-buku sastra Jawa. Saya tak melihat sama sekali upaya "mbathi" dari usaha itu, kecuali malah "nomboki", setidaknya untuk diri sendiri.

Jujur, ketika saya bersedia menerima tongkat komando pada KSJ II di Semarang, salah satunya karena "iri" pada Mas Bon. Saya ingin belajar darinya untuk turut berbuat bagi sastra Jawa. Begitu pula tatkala diamanahi teman-teman sastrawan untuk memimpin Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) bersamanya.

Ketika saya merasa tak banyak berbuat, saya justru melihat upaya gigih Mas Bon untuk terus-menerus membangun jejaring dengan teman-teman sastrawan dan pencinta sastra Jawa. Penerbitan buku sastra Jawa senantiasa ia upayakan, kegiatan sastra Jawa juga ia dedikasikan.

Festival Sastra Jawa di Desa, yang digelar di Desa Cakul, Dongko, Trenggalek, Jawa Timur 2009 lalu, salah satunya. Saya lihat dalam kegiatan itu, Mas Bon mendedikasikan dirinya "luar-dalam". Lagi-lagi ya saksikan suasana yang nyaris sama dengan KSJ.

Namun Anda akan keliru jika menganggap Mas Bon hanya "memainkan" sastra Jawa hanya pada wilayah "ndesa" atau pada ranah domestik belaka. Tidak. Mas Bonlah yang pantas disebut sebagai penggerak utama sasatra Jawa di dunia maya.

Ketika dunia ini menawarkan fasilitas jejaring sosial, Mas Bon membuat grup Sastra Jawa Gagrag Anyar (SGJA). Ribuan orang bergabung di sini. Sebagiannya menjadi kreator sastra Jawa di situ, sebagian yang lainnya menjadi komentator, sedangkan sisanya memilih jadi pembaca pasif.

Saya melihat kekuatan dahsyat di sana. Nama-nama baru bermunculan. Sejumlah geguritan yang diunggah bahkan makin membelalakkan mata saya, betapa karya-karya itu memiliki capaian estetis di atas rerata karya-karya yang dimuat di berbagai majalah berbaha Jawa, bahkan yang telah diterbitkan dalam bentuk buku sekalipun.

Grup SGJA saya lihat sebagai sebuah terobosan cerdas, sekaligus bangunan kemandirian, buat sastra Jawa. Keluh kesah tentang sedikitnya publikasi dan penerbitan buku sastra Jawa, sebagiannya telah dijawab oleh forum ini. Sekaligus di sana, tegur sapa kreatif senantiasa terjalin.

Ya, pada Mas Bon saya melihat daya jelajah itu: desa dan kota, penerbitan dan gerilya, juga nyata dan maya. Mas Bon telah dengan nyata menyuguhkan sebuah gagrag dalam memperjuangkan sastra Jawa. Izinkanlahn saya menyebutnya sebagai gagrag bonarian. [suara merdeka, minggu, 30 Oktober 2011)

0 komentar:

Posting Komentar