Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN TRENGGALEK [5]

Dinas Budaya dan Pariwisata


Saya tahu, di Trenggalek nama dinas ini senyatanya adalah Dinas Pemuda, Olah Raga, Pariwisata, dan Budaya, diakronimkan menjadi: Poraparibud. Saya yakin, nama itu ditentukan agar menjadi enak diakronimkan saja, tidak dibuat berdasarkan urutan alfabetik maupun kepentingannya. Betapa pentingnya urusan kebudayaan itu, beberapa kali ada usulan agar di negri ini ada Departemen Kebudayaan tersendiri. Sebelumnya, ’Kebudayaan’ digandengkan dengan Kementerian Pendidikan (dahulu bernama: Departemen Pendidikan dan kebudayaan). Kali ini, ’Kebudayaan’ benar-benar terdegradasi karena (hanya) digandengkan (walau ditaruh di depan) dengan ’Pariwisata’. Dengan wilayah garapan seluas itu, saya kira, seorang Kepala Dinas Poraparibud di Kabupaten Trenggalek memiliki tugas yang jauh lebih berat daripada bupatinya. Kritik yang sering terlontar kepada Kementerian Budaya dan Pariwisata, seolah-olah ia lebih sebagai ibarat loket penjualan karcis masuk: gua, taman, pantai, candi, dan tempat-tempat wisata lainnya. Seolah ia melupakan pembangunan peradaban bangsa seperti yang diamanatkan oleh nama yang disandangnya: kebudayaan, itu.

Kementerian Budaya dan Pariwisata kita memang antara lain bertugas memromosikan potensi-potensi wisata di seantero negri.



Tetapi, sekali lagi, itu hanyalah salah satu di antara tugas-tugas lain, termasuk menjaga warisan budaya, mengembangkannya, dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat. Saya baru bisa menyebut dua contoh negri yang cukup bagus mengelola potensi wisatanya: Singapura dan Hong Kong. Saya merasakan, di Hong Kong, taman-taman kota, pantai wisata, terasa sekali dibangun dengan tujuan utama sebagai bentuk pelayanan publik. Di Hong Kong ada yang namanya Taman Victoria atau Victoria Park, yang setiap hari ramai dikunjungi orang, baik yang hanya perlu berjalan-jalan, jogging, atau duduk-duduk menikmati suasananya. Pada hari libur, termasuk hari Minggu, ribuan orang, sebagian besar adalah pekerja rumah tangga asal Indonesia tumplek bleg di taman ini.



Saya berani bertaruh, dengan potensi pengunjung seperti itu, seandainya Taman Victoria ada di Indonesia tentulah akan mengundang pihak terkait untuk memasangi loket karcis masuk dan menarik uang retribusi kepada setiap pengunjung. Demikianlah, seolah kita memandang kepariwisataan hanyalah proyek untuk menambah pundi-pundi PAD, dan bukannya sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, memberikan makanan jiwa rakyat, dan akan memetik keuntungan berupa produktivitas yang meningkat ketika jiwa-raga rakyat (masyarakat) menjadi semakin berkualitas karena selain cukup makanan jasmani juga terpenuhi kebutuhan rohani, termasuk rekreasi mereka.

Maka, izinkan saya menceritakan pengalaman saya di wilayah Trenggalek. Pada hari ke-2 atau ke-3 Lebaran tahun lalu, jika tak salah ingat itu hari Minggu, saya iseng-iseng mampir Pantai Pelang (Kecamatan Panggul).



Saya mendapati di kawasan pantai itu, pada hari itu, digelar pertunjukan musik dangdut, dan hanya ada satu pintu baik bagi pengunjung yang datang untuk dangdut dan/atau untuk menikmati pemandangan pantai Pelang saja. Karenanya, setiap pengunjung wajib membayar tiket yang harganya sudah diatur untuk nonton pertunjukan musik sekaligus menikmati pemandangan Pantai Pelang. Saya berpikir, jika saya adalah pengunjung yang senyampang berlebaran di kampung halaman, yang datang jauh-jauh dari Surabaya atau Jakarta, atau bahkan dari pulau lain di tanah air ini, dan ingin bernostalgia di pantai yang indah itu, hak saya sebagai masyarakat telah dirampas atau disandera, atau dipaksa mengeluarkan sejumlah uang (walau jumlahnya kecil) untuk sesuatu (dalam hal ini pertunjukan dangdut) yang tidak saya inginkan. Jadi, cara-cara mendapatkan uang seperti dilakukan oleh ’’Dinas Kebudayaan dan Pariwisata’’ bekerja sama dengan sebuah event organizer seperti itu menurut saya tidaklah fair.

Lagi-lagi, bandingkanlah dengan Taman Victoria di Hong Kong, yang di dalamnya juga tersedia vasilitas WC dan kamar mandi yang sepertinya tidak pernah pesing, dan kita bisa masuk ke dalamnya dalam 24 jam sehari, kapan saja, secara gratis! Saya sempat mengajukan perbandingan ini di pertengahan tahun 2000-an ketika Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Jatim ketika itu berbicara dalam sebuah forum di Hotel Hayam Wuruk (Trenggalek), dan jawabannya antara lain adalah: ’’Belum saatnyalah membandingkan negara kita dengan negara-negara yang sudah maju seperti Hong Kong dan Singapura.’’ Sayangnya, waktu membatasi saya untuk punya kesempatan menimpali jawaban itu. Padahal, saya ingin mengatakan ini, ’’Kalau untuk hal-hal seperti itu kita tidak boleh mengaca ke negara lain yang lebih baik mengelolanya, mohonlah dihentikan saja semua program yang bernama Studi Banding yang biasa dilakukan anggota DPR maupun para pejabat elit di negri ini.’’



Di kampung halaman saya, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, ada seorang bocah yang sudah berprestasi di tataran nasional. Ia seorang siswa SMP, yang ketika di SD sudah mengantongi gelar Juara Dalang kategori Anak-anak (Bocah). Ia sering diundang untuk mendalang di Surabaya, dan bahkan pernah pula ditanggap untuk mendalang di Istana Wakil Presiden di Jakarta di era Pemerintahan SBY-Boediono ini. Kepala Sekolah SD dan SMP bocah dalang ini adalah sahabat saya, dan sering mengungkapkan rasa bangganya atas prestasi anak didiknya ini, serta mengaku bersyukur bahwa pihak-pihak terkait, dari Dinas Pendidikan sampai Pemkab selalu enteng untuk memberikan bantuan dana, minimal dana transportasi ketika Galih, begitulah nama sapaan bocah dalang ini, diundang instansi pemerintah untuk tampil di tataran provinsi atau di atasnya.



Itu hal yang baik. Tetapi, menurut saya masih ada yang dilupakan. Bantuan perangkat fisik berupa gamelan, misalnya pernah diterima sekolah satu atap (SD dan SMP jadi satu manajemen) itu, tetapi saya belum mendengar adanya bantuan berupa buku-buku berkaitan dengan ilmu dan ketrampilan pedalangan atau seni karawitan langsung kepada Galih maupun melalui sekolahnya. Itu juga menunjukkan kesadaran literasi para pemangku kepentingan di kabupaten ini masih jauh dari bagus. Lebih jauh lagi, kita juga layak bertanya, di manakah Perpustakaan Daerah kabupaten Trenggalek? Apakah kita dengan mudah bisa mendapatkan buku-buku bagus yang baru terbit? Kalau yang ’’kebul-kebul’’ belum ada, maka apakah belum ada pula di sana buku sebagus ATLANTIS, Indonesia Ternyata merupakan Cikal-bakal Peradaban Dunia [?]



Untunglah kita memiliki anak muda bernama Nurani Soyomukti, yang dengan segala upayanya telah membangun kesadaran literer di Kabupaten yang kalau terkenal pun sering karena kemiskinan dan keterpencilannya ini, yang membangun dan membangkitkan gairah baca-tulis dengan mendirikan lembaga Quantum Litera Center (QLC), dan menyelenggarakan acara Arisan Sastra sekali dalam sebulan. Tanpa upaya seperti dilakukan orang muda asal Watulimo ini, Trenggalek, pun walau sudah memiliki perguruan tinggi, saya kira akan semakin kokoh sebagai masyarakat ’pendengar’ dan ’penonton’ --aktivitas yang oleh orang kampung asal saya sering diplesetkan menjadi: ’’kelompok pendengor’’ (ndengor = ndomblong).



Lebih mengherankan lagi, di Zaman Blogger, Facebook, dan YouTube ini, banyak orang, pengambil kebijakan, masih memandang Jakarta sebagai pusat segala-galanya. Maka, atas nama memromosikan potensi kesenian dan pariwisata kabupaten kita, uang ratusan juta rupiah dengan enteng dikeluarkan untuk biaya promosi dengan berbondong-bondong ke Jakarta. Sementara itu, kesenian rakyat: kuda lumping, terbang jedhor, dan sejenisnya terengah-engah dan kurang gizi di desa-desa. Adalah mengherankan, ketika membangun dan merawat website Kabupaten Trenggalek dengan segenap potensinya yang barangkali hanya menghabiskan dana puluhan juta rupiah per tahun pun tampaknya keberatan, sedang di sisi lain dengan gampangnya –maaf, menurut saya diplokotho oleh Jakarta, Taman Mini, atau apalah namanya itu-- untuk ditanggap bukan saja secara gratis, tetapi bahkan harus menanggung ongkos ’produksi’ termasuk biaya transportasi yang ratusan juta rupiah itu. Apakah kita perlu menagih janji Pak De Karwo: ’’APBD untuk Rakyat’’ --dan bukan untuk Taman Mini Indonesia yang Tidak Indah itu? Wassalam. [wis/Bonari Nabonenar]

MEMBANGUN TRENGGALEK [4]

Membangun Desa



Agustus 2009 (4 - 5) saya bersama warga Desa Cakul menyelenggarakan Festival Sastra Jawa dan Desa di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Dengan dukungan dana dari Pemprov Jatim, Pemkab Trenggalek, dan swadaya masyarakat Desa Cakul, kami berhasil mengundang para akademisi dari Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Surabaya, wartawan, seniman, budayawan, sastrawan dari berbagai pelosok Jawa, dari Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Ngawi, Madiun, Ponorogo, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Blora, Madura, Jember, Surabaya, Banyuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan tentu saja dari Trenggalek sendiri. Semula, kami hanya ingin menyelenggarakan Festival Sastra Jawa. Tetapi, kemudian terpikir pula untuk menyelenggarakan pula Festival Desa pada saat bersamaan, terutama agar dalam kesempatan yang bagus itu masyarakat desa tidak hanya menjadi penononton, melainkan juga menjadi subyek dan terlibat langsung di dalam kemeriahan festival. Maka, beberapa bulan sebelumnya kami kirimkanlah 5 orang pemuda kampung untuk magang, studi banding, atau apalah istilahnya, di pusat-pusat pertanian modern yang membudidayakan tanaman organik di Yogyakarta untuk hampir sepekan lamanya. Selain belajar bertani secara organik, kelima pemuda ini juga sempat diajak mengunjungi sebuah Sanggar Seni yang dikelola oleh seorang pemuda desa di pinggiran Kabupaten Bantul, yang karena kreativitasnya pernah mendapatkan kunjungan dari luar negri, dan sang pemuda pelopor itu, Kabul namanya, laris diundang menjadi narasumber sesuai dengan bidang garapnya: menggerakkan pemuda desa dengan media: Sanggar Seni.



Untuk Festival Desa, para petani pelopor dan pemuda desa yang kreatif itu pun diundang sebagai narasumber. Sambutan peserta Sarasehan Desa sangat bagus. Terbukti, ada yang kemudian menjadi semakain penasaran dan secara mandiri belajar langsung ke Yogya,mengikuti jejak 5 pemuda kampung yang sebelumnya kami kirimkan.



Banyak pihak menilai Festival Sastra dan Desa sebagai sebuah kegiatan yang bagus, dan hingga kini pun masih ada saja yang melalui telepon atau SMS menanyakan, kapan acara serupa diadakan lagi. Sayang, terlepas dari bantuan dana yang diberikan, Pemkab Trenggalek sepertinya tidak begitu tertarik untuk menangkap gagasan Festival Desa ini sebagai sesuatu terobosan yang menarik, dan, misalnya, lalu menjadikannya kegiatan pelat merah yang digelar oleh Pemkab, dilaksanakan bergiliran dari satu desa ke desa lain setiap tahun di wilayah Kabupaten trenggalek. Bupati Trenggalek Drs. Soeharto berkenan hadir membukanya, dan dan Wakil Bupati Machsun Ismail M.Ag (kala itu) berkenan menutupnya.



Tetapi, Kepala Dinas Pertanian yag secara langsung kami datangi dan kami undang sebagai narasumber untuk Sarasehan Desa, ternyata tidak bisa hadir, tanpa memberikan konfirmasi. Sementara bagian Bagian Humas Pemprov Jatim perlu beberapa kali menelepon panitia untuk menanyakan lokasi festival sampai kemudian terpaksa mengabarkan bahwa Gubernur yang semula sudah menyanggupi untuk membuka acara ini ternyata tidak bisa hadir karena ada kesibukan mendadak di Jakarta.



Saat beraudiensi dengan Komisi D DPRD Trenggalek, ada sebuah pertanyaan tertuju kepada Panitia Festival, ’’mengapa Festival Sastra Jawa dan Desa diselenggarakan di desa yang jauh, dan bukan di pusat kota Trenggalek? Bukankah itu akan membuat peserta enggan datang? Sungguh, itu pertanyaan yang buruk. Tetapi, saya atas nama panitia pun menjawabnya dengan senang hati, ’’Kami tidak khawatir bahwa festival ini akan sepi peserta karena lokasinya yang jauh, sebab undangan dari Jakarta, Semarang, Blora, Yogyakarta, Solo, Banyuwangi, semua antusias untuk hadir. Bahwa warga Trenggalek sendiri merasa enggan karena menganggap Desa Cakul terlalu jauh, dan memutuskan untujk tidak hadir, semoga itu tidak akan mengurangi kemeriahan festival.’’



Mengapa di desa? Itulah pertanyaan yang sering kami terima waktu itu, bukan hanya dari wakil rakyat, tetapi juga dari beberapa teman saya. Apakah termasuk suara yang didengar atau tidak, kalau saya boleh agak pamer (sebab saya tahu kesannnya akan seperti itu), saya adalah salah seorang yang sering mengkritik Taman Budaya Jawa Timur karena terlalu banyaknya agenda kesenian, beberapa festival, dipusatkan di Surabaya. Lalu, lahirlah agenda baru bernama Festival Kesenian Kawasan Selatan (FKKS), sepertinya mengakomodasi usulan itu



Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di desa-desa, termasuk agenda kesenian, festival, dan sejenisnya, sesungguhnyalah merupakan bagian dari upaya pemberdayaan desa itu. Kegiatan berskala kabupaten, provinsi, bahkan nasional yang diselenggarakan di desa yang jauh dari pusat kota, satu hal yang pasti adalah merupakan tindakan tidak membiarkan uang selalu mengalir dari bawah ke atas, dari desa ke kecamatan ke kabupaten ke provinsi dan seterusnya. Demikianlah, secara kelakar kita bisa menyimpulkan tabiat uang kita sekarang ini sebagai: menetes pelan-pelan ke bawah (ke desa) untuk kemudian dengan cepat menyemprot ke atas, ke pusat-pusat kekuasaan.



Festival Desa, sesungguhnya pula bisa dijadikan agenda untuk mengimplementasikan apa yang pada Zaman Pak Basofi Sudirman sebagai Gerakan Kembali ke Desa (GKD). Dan di dalam Seminar Indonesia Kreartif yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jatim 2010 (Hotel Hayam Wuruk, Trenggalek) pun sempat mengemuka bahwa ’’One village one pruduct’’ tidak harus selalu dimaknai setiap desa menghasilkan satu produk (barang) unggulan.



Jika memang sebuah desa tidak memiliki potensi untuk memroduksi barang, ia tidak harus dipaksa-paksa untuk menghasilkan barang, tetapi secara kreatif ia bisa menciptakan iven unggulan. Semangat memroduksi iven inilah yang dalam tataran kota begitu sukses dilakukan di Jember dengan JFC (Jember Fashion Carnival)-nya itu. Atau, kalau kita mau melihat dalam skala negara/pemerintahan, tentu kita bisa melihat Singapura dan Hong Kong, dua negara yang menjadi sebegitu makmur yang terutama bukan karena barang-barangnya, melainkan karena kepiawaiannya mengelola iven, saya kira.



Kita sering hanya secara harfiah membanggaakan Nusantara pernah berjaya di Zaman Majapahit, yang wilayah kekuasaannya terbentang dari Hawai hingga Madagaskar (?), tetapi lupa mengambil pelajaran, atau resep apa yang membuat kebesaran itu terbangun. Wilayah-wilayah yang ditaklukkan Gajah Mada, sesungguhnya bukanlah wilayah yang dicaplok begitu saja, atau dikuasai sebagaimana penjajah pernah memperlakukan kita (Indonesia), melainkan dibiarkan tetap mengelola pemerintahan dalam negrinya dan mengeksploitasi segenap kekayaan alamnya. Pemerintah pusat (Mojokerto) tak sedikit pun mengusik urusan dalam negri masing-masing wialayah raja-raja taklukan itu. Yang menjadi wajib adalah tiap periode tertentu (tahunan?) kerajaan-kerajaan taklukan itu mengirimkan upeti ke pemerintah pusat, Kerajaan Majapahit.



Dan kita mengenal istilah ’’desa warnana’’ (bermacam-macam desa) seperti yang dikisahkan Empu Prapanca dalam Negara Kertagama, Prabu Hayam Wuruk berkunjung dari desa ke desa pada masa pemerintahannya. Para pemimpin di negri ini pun sekarang suka melakukan hal yang sama, sayangnya, bisanya hanya menjelang musim pemilu atau pilkada. Demikianlah, sesungguhnya rapuh dan kokohnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas semua desanya.



Maka, semangat membangun desa ini seharusnya menjadi poin penting dalam upaya pembangunan bangsa kita. Itu tidak harus dengan gagah menggelontor dana Rp 1 milyar/desa/tahun, tetapi, sekali lagi, yang palin penting adalah sebesar apa empati kita kepadanya. Uang bisa menjadi kekuatan luar biasa memang, tetapi yakinlah, itu hanyalah kekuatan yang bersifat instan. [BERSAMBUNG]

MEMBANGUN TRENGGALEK [3]

Kekuatan Seni/Budaya



Sesungghnya masyarakat itu tumbuh di dalam ketegangan terus-menerus antara tradisi dan modernisasi, antara konvensi dan inovasi. Demikian kata teori. Dan di dalam ketegangan yang disadari itulah sesungguhnya ada peluang bagi kreativitas. Kalau kita mau ambil contoh kongkret yang gampang: musik campursari lahir dari ketegangan antara yang tradisi (musik gamelan yang pentatonik) dengan musik modern yang diatonik. Sebagai jenis musik baru, campursari pun dielu-elukan oleh banyak orang, walau tak sedikit pula yang menilai ia destruktif bagi kesenian itu sendiri.

Itu persoalan di luar pokok bahasan kita. Tetapi, esensinya adalah, upaya pembangunan yang berhasil biasanya dilakukan dengan memperhatikan gerak budaya masyarakat yang bersangkutan, dan oleh karenanya suara rakyat perlu benar-benar didengar hingga ke desahnya yang paling lembut agar berbagai program atau kebijakan bisa mereka terima dengan sungguh-sungguh dan berkembang sesuai harapan. Dengan kata yang jelas, Pemerintah atau lembaga lain yang berkeinginan memajukan masyarakat haruslah mendasari segenap upayanya dengan penuh empati, dan bukannya sebatas simpati seperti halnya kita memberikan recehan kepada pengemis di pinggir jalan. Karena itulah, setiap kali Pak De Karwo yang Gubernur Jawa Timur itu mengulang-ulang kalimat ini, ’’Ajaklah mereka (rakyat, Bon) bicara.’’



Kesenian, terutama kesenian rakyat, sesungguhnya bukanlah hanya bisa dipandang sebagai sebentuk hiburan atau media ekspresi semata-mata. Ia juga mengusung suara-suara berisi pesan kultural dari masa lampau, dari nenek moyang, yang dijunjung tinggi hingga batas kemampuan. Yang kadang dilupakan, tetapi pada suatu ketika sebegitu dirindukan. Seni sesungguhnya bisa pula menjadi semacam tombol untuk menggerakkan mayarakat menuju hari depan mereka yang lebih baik. Saya akan memberikan sedikit gambaran pengalaman pribadi saya, mengenai apa yang terjadi di Desa Cakul ketika tahun lalu saya memenuhi permintaan sekelompok anak muda yang didorong oleh sekelompok orang tua untuk membangun sebuah sanggar seni, yang, walau belum berakta notaris, sudah kami beri nama Sasangka Kumenyar.



Sejauh yang saya ketahui, di kampung halaman itu masyarakat terkotak-kotak ke dalam kelompok-kelompok yang secara diam-diam bersitegang karena faktor politis, ekonomis, ataupun karena faktor-faktor lain yang berorientasi kepentingan jangka pendek. Dusun Nglaran (Desa Cakul, Kecamatan Dongko) tempat sanggar Sasangka Kumenyar kami bangun, konon pada tahun 50 – 60-an berjaya berbagai jenis kesenian tradisional, ketoprak, ludruk, wayang orang, kuda lumping, dan terutama karawitan. Seni Tayub pun berkembang di wilayah ini, sampai-sampai ada semacam aturan tidak tertulis, laki-laki dari luar kampung yang hendak menikah dengan perempuan kampung ini haruslah pandai, atau setidaknya dapat langen-beksa (menari tayub). Lalu berbagai jenis kesenian tradisional itu pupus hingga mnyaris tak berbekas. Jika ada yang boleh disebut sebagai sisa jejaknya adalah seperangkat gamelan laras slendro yang nyaris tak dapat digunakan lagi karena sudah terlalu usang.



Begitu sanggar mulai beroperasi, ada latihan karawitan, dan sempat diliput TVRI-Jatim untuk program siaran acara Dua Arah, tak saya sangka-sangka, berbagai tokoh kampung yang semula seperti membangun jarak karena apa yang saya sebut sebagai faktor kepentingan jangka pendek itu tiba-tiba saja dapat duduk melingkar, dalam suasana yang sangat akrap, dan bersama-sama berembug untuk merencanakan gerak selanjutnya Sanggar Seni Sasangka Kumenyar tersebut. Ada seorang ketua RT yang tiba-tiba mengatakan kesiapannya menggerakkan warganya membenahi fasilitas tempat berlatih yang dipandangnya kurang memadai. Ada yang menawarkan ini dan itu, dan yang paling penting dan menyentuh perasaan adalah: semua itu dikemukakan dengan ketulusan hati mereka.



Lalu, saya menawarkan, jika disepakati, sanggar ini kelak bisa dikembangkan bukan hanya sebagai sanggar seni, tetapi juga sebagai sanggar budaya, dimana orang kampung bisa hadir di sini untuk berkesenian, membaca buku-buku sesuai dengan minat mereka untuk menambah wawasan dan mengembangkan ketrampilan mereka di bidang pertanian, peternakan, pertukangan, dan lain-lain. Mereka pun menyambut tawaran demikian dengan suka-cita.



Itulah sebabnya saya berani mengatakan bahwa menyentuh hati rakyat melalui kesenian mereka adalah sangat bagus, dan kesenian rakyat sungguh dapat menjadi tombol untuk mengeksplorasi segenap potensi mereka. [teriring atur panuwun kepada Pak Suko Widodo/bersambung]

MEMBANGUN TRENGGALEK [2]

Di tengah-tengah situasi yang serba tidak menentu seperti sekarang ini, jika kita mau berpikir positif, kita akan melihat bahwa ada kreativitas di dalam masyarakat, rakyat yang tetap bisa survive, tak peduli apakah harga bensin akan dinaikkan, apakah tarif dasar lintrik akan semakin tegang (=mahal), apakah pertikaian parpol akan berujung pecah kongsi koalisi, mereka itu, rakyat akar rumput yang saya sebut sebagai para kreator kehidupan (setidaknya kehidupan mereka sendiri) menunjukkan keuletan yang luar biasa. Datanglah ke kampung halaman saya, dan Anda akan menemukan orang-orang, keluarga, yang berdasarkan matematika ekonomi modern seharusnya (berdasarkan pendapatan mereka) telah lama mati, tetapi terbukti masih hidup dan dalam kondisi segar-bugar pula. Ketika tanaman cengkih seolah mogok tumbuh, ketika pohon-pohon tua mati ranggas karena hama, Di Kecamatan Dongko, tiba-tiba pula para petani menyulap pekarangan mereka menjadi ladang nilam. Dan jika saya tidak salah lihat, maraknya budidaya tanaman nilam dengan teknologi penyulingannya, tumbuh di tengah-tengah masyarakat tanpa diinisiasi oleh lembaga-lembaga bergengsi yang bernama: Dinas Pertanian maupun Dinas Perindustrian. Untuk kasus berkembangnya peternakan kambing peranakan etawa di Sumberbening (Kecamatan Dongko), tampaknya juga demikian, tumbuh dari warga masyarakat yang kreatif –saya kenal dahulu ada tokoh bernama Muyono—yang, jika kemudian ada perhatian dari lembaga pemerintah, itu datang seperti polisi di dalam film India: selalu terlambat!

Lalu apa yang diberikan oleh Pemerintah kepada rakyat? Tentu banyak. Apalagi kalau kita menghitungnya dalam rupiah. Sebagai warga desa Cakul, kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, saya mencatat sangat banyak program bantuan (sejak 1970-an hingga 1980-an), dari proyek tanaman terasiring (kalantara, kaliandra, lamtoro gung, rumput gajah) hingga bantuan ternak, baik yang berupa hibah murni kepada petani/peternak hingga yang diberikan dalam format bantuan berguilir. Tetapi, sejauh yang saya lihat hingga sekarang, tidak ada jejak signifikan dari proyek-proyek bantuan itu. Tentu harus diupayakan evalusai terhadap semua itu, agar program-program selanjutnya tidak terjerembab ke dalam jurang kegagalan yang sama.



Ada lagi bentuk kredit supermikro yang pernah digulirkan pada era Orde Baru, namanya KURK (Kredit Usaha Rakyat Kecil) dan berjalan dengan baik di Kecamatan Dongko. Saya tahu cukup banyak mengenai program ini di tingkat implementasinya, karena untuk desa Cakul yang menjadi pengelolanya ada dua orang, dan salah seorang di antaranya ketika itu adalah paman saya (Tukimin, dan jika ada yang bersedia mewawancarainya, ia bisa ditemui di desa Cakul). Tetapi sayang, di tengah-tengah perjalanannya yang semakin menarik hati rakyat, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba pengelolaannya diambil alih dan dilakukan langsung oleh pegawai kecamatan. Maka, pelan tetapi pasti, program yang baik itu pun menguap, hingga akhirnya lenyap tek berbekas.



Untuk sementara saya menyimpulkan, berbagai kegagalan itu disebabkan terutama oleh tidak adanya konsep holistik di dalam pelaksanaannya. Kita bisa dengan gampang menciptakan barang baru, dan tak peduli pada perawatannya. Bantuan diberikan hanya berupa ’’barang telanjang’’ tanpa disertai wawasan yang cukup untuk mengembangkannya. Ibaratnya, kita punya telepon genggam, dari merek terbaru pula, tetapi dalam diri kita tidak pernah ada perangkat kultural mengenai adab atau sopan-santun penggunaannya.



Masyarakat petani kita di pedesaan, berbeda dengan petani di negara maju, pada umumnya adalah masyarakat tradisional, yang secara bawah sadar masih melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai laku upaya bertahan hidup, dan bukannya untuk menaikkan derajatnya menjadi kelas ’’pengusaha’’ walaupun untuk skala pedesaan. Sedangkan kehidupan modern memaksa mereka untuk mendapatkan penghasilan lebih untuk memenuhi tuntutan standar kehidupan modern: mobilitas tinggi, pendidikan, akses informasi, termasuk keharusan adanya pengeluaran rutin setiap bulan seperti kewajiban melunasi tagihan listrik, membayar SPP anak sekolah, dan lain-lain.



Kultur yang tidak dibangun seiring tuntutan zaman modern itu juga tampak pada kenyataan ketika para TKI yang bekerja di luar negri mulai mengantongi modal. Yang biasa mereka bangun pertama kali adalah rumah, yang secara ekonomis adalah barang statis, dan anjlog nilainya begitu didapatkan. Berbeda dengan tanah, misalnya, yang setiap saat bergerak naik nilainya. Uang yang didapat oleh para pekerja kita dari luar negri itu sesungguhnya cukup signifikan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi kita. Gubernur Jawa Timur mengakui, pernah ada masa, tahun, ketika PAD (pendapatan asli daerah Jawa Timur nilainya dikalahkan oleh remiten atau uang yang dibawa ke tanahair oleh para TKI).



Artinya, ini adalah peluang bagi lembaga-lembaga (pembangunan) yang ada di Kabupaten Trenggalek khususnya, untuk mencari terobosan program pembangunan ekonomi yang seiring dengan kebutuhan para TKI/Purna TKI itu, tanpa harus mengintervensi urusan periuk mereka. Dan karenanya saya menganggap sangat lucu pernyataan seorang calon Bpati Ponorogo yang terlontar saat acara Debat Kandidat, lebih kurang begini, ’’Kita akan membantu mereka untuk mengelola modal yang mereka (Para TKI, Bon) dapatkan dari luar negri. Tetapi, itu kalau mereka mau. Kalau mereka tidak mau, ya bagaimana lagi, lha wong itu uang-uang mereka sendiri!’’ Saking lucunya, menurut perasaan saya, hingga kini saya masih menyimpan rekaman suara itu di dalam telepon genggam saya.



Untuk berbagi wawasan dengan para pekerja/mantan pekerja migran itulah antara lain, bersama beberapa teman kini saya sedang terlibat dalam upaya membangun Paguyuban Pekerja/Mantan Pekerja Migran Trenggalek, agar mereka bisa mengakses informasi yang cukup mengenai peluang usaha dan bantuan seperlunya untuk mengelola modal yang mereka dapatkan dari luar negri. [bersambung]

MEMBANGUN TRENGGALEK [1]

[1] Pendahuluan



Prof. Dr. Ayu Sutarto memetakan Jawa Timur sebagai provinsi yang multikultur, yang menaungi beberapa kelompok etnik, dan membaginya menjadi 10 subkultur: Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kengean (Ayu Sutarto dan Setyo Yuwono Sudikan, 2004).

Peta Budaya itu penting diketahui oleh para pemangku kepentingan proyek pembangunan bangsa karena seperti halnya jiwa dalam tubuh manusia, kebudayaan memberi informasi mengenai riwayat, termasuk riwayat kelahiran, asal-usul, karakter, dan bahkan ’penyakit’ yang pernah dideritanya, jika ada. Bayangkan, jika seorang dokter harus menangani seorang pasien yang kritis tanpa cukup diagnosis dan riwayat kesehatan si pasien. Potensi untuk terjadi malapraktek sangatlah tinggi. Demikian pulalah ibaratnya yang dapat terjadi di dalam Gerakan Pembangunan.



Akhir 2010 lalu Dewan Kesenian Jawa Timur menggelar Kongres Kebudayaan bertema ’’Dari Jawa Timur untuk Indonesia.’’ Satu hal penting yang mengemuka saat itu, menurut penilaian saya adalah sering dilupakannya pendekatan kebudayaan oleh para pemangku kepentingan pembangunan bangsa (Indonesia). Sesungguhnya itu hanya menegaskan kembali hal yang rasanya sudah terlalu sering diteriakkan oleh kalangan seniman/budayawan di negri ini. Itulah sesungguhnya seruan para seniman/budayawan, yang tampaknya belum benar-benar didengar, atau hanya sekadar didengar dan belum diimplementasikan dengan baik dalam setiap gerak pembangunan.



Pembangunan yang sering hanya berorientasi fisik dan material, sering justru menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Sudah berapa kali ganti rezim sejak Pemerintahan Orde Baru yang panjang, melelahkan, dan membosankan itu hingga kini, dan fakta membuktikan bahwa kita belum juga mendekati sukses mengentaskan bangsa ini dari persoalan kemiskinan. Sementara itu bangsa-bangsa lain, lebih tepatnya negara-negara lain yang pernah mengalami jatuh-bangun akibat penjajahan oleh bangsa lain dan atau perang saudara, kini telah bangkit menjadi bangsa maju, atau menampakkan diri semakin mendekati kualitas untuk berhak menyandang gelar sebagai bangsa atau negara maju.



Indonesia, entah sejak kapan masih saja ’bangga’ menjadi bangsa yang sesungguhnya terbelakang, dan menghibur diri dengan istilah: negara berkembang. Memang berkembang pesat jumlah penduduknya, dan secara gawan bayi Indonesia adalah negara besar dan kaya akan sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Tetapi, kekayaan SDM itu tidak bisa dikelola dengan baik, terbukti banyak orang pintar lebih memilih bekerja di negara lain, kekayaan alam kita justru dikeruk dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan (rakyat) negara lain, dan jumlah penduduk kita yang besar tak lebih dari ’’kue pasar’’ yang diperebutkan para produsen barang-barang, dari yang sesederhana tusuk gigi, jarum penthol, hingga barang-barang elektronika yang canggih.



Celakanya, rakyat kita yang miskin secara harfiah itu, yang berpendidikan rendah, yang pola makannya jauh dari kriteria empat sehat lima sempurna, bahkan yang sudah divonis bergizi buruk alias kurang makan, ketika kepada mereka diberikan sejumlah uang, yang mereka beli pertama kali adalah pulsa! Itulah gambaran betapa ketahanan kulutural kita sangatlah rapuh, dan karenanya dengan gampang dilahap oleh kerakusan bangsa lain. Lagi-lagi, gambaran karikatural tersebut menunjukkan bahwa memanglimakan ekonomi adalah sama buruknya atau tidak lebih baik daripada memanglimakan politik. Mungkin juga kebudayaan tidak harus dijadikan panglima. Tetapi, penting untuk dilaksanakan: pembangunan manusia Indonesia seutuhnya seperti yang pernah digembor-gemborkan sejak era Orde Baru.



Demikianlah, setiap rezim memiliki jargonnya masing-masing. Sedangkan di pelosok-pelosok desa mamupun di tengah-tengah kota yang hiruk, kita masih sering mendengar celetukan polos rakyat bahwa lebih enak hidup di Zaman Orde Baru, atau bahkan, lebih enak ketika dijajah Belanda. Haladalah! Kalau mau berbicara kegagalan kita sebagai bangsa (janganlah selalu menimpukkan seluruh kesalahan kepada pemerintah) sesungguhnya tidak diperlukan penelitian dan angka statistik yang sukar dipahami itu. Datanglah ke warung kopi, ngobrol dengan rakyat jelata sekelas tukang becak, sambil menonton siaran berita televisi. Dengan cara pikir sederhana, kita bisa mengatakan bahwa sekitar 6 juta jiwa rakyat kita (80 % di antaranya bekerja di sektor rumahtangga) tidak perlu berbondong-bondong bertaruh nyawa di negara lain jika sebagai bangsa kita benar-benar bertekat mengupayakan agar apa yang disebut Bung Karno sebagai: ’’berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,’’ itu menjadi kenyataan. Lupakanlah aneka macam hasil pooling, angka-angka statistik, dan lihatlah bahwa semakin derasnya arus pencari kerja ke negara lain, suka atau tidak kita sukai, adalah potret kegagalan kita sebagai bangsa.



Kita pernah merasakan angin segar bertiup sebentar saat Gerakan Reformasi berhasil menumbangkan Rezim Orde Baru. Tetapi, pelahan-lahan harapan itu pupus seiring gerak perpolitikan di tanah air yang hanya semakin gaduh, semakin hiruk-pikuk, seolah-olah para elite politik hanya sibuk berdebat kusir, membangun koalisi, dan khasak-khusuk soal reshuffle kabinet. Rakyat sepertinya hanya dipandang sebagai bidak yang gampang diperalat untuk mendapatkan kursi kekuasaan, yang bisa disuap dengan duapuluh atau tigapuluh ribu rupiah untuk menusuk gambar partai tertentu di bilik suara pemilu. Betapa mengerikannya pula ketika mereka, pejabat/elit politik itu bahkan tak lagi hafal teks Pancasila. Dalam kenyataan seperti itu, apakah kita masih punya harapan pada mereka untuk membuktikan bahwa amanat Pembukaan UUD 45 itu benar-benar mereka upayakan? [bersambung]