Kamis, 29 Oktober 2009

BUKU AJAR DAN BAHASA JAWA LISAN

Suparto Brata

Kata Mas Cipto Dosen Uness Semarang ketika menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul Trenggalek 4 Agustus 2009 lalu, untuk menyemarakkan bahasa dan sastra Jawa jangan selalu mengharapkan uluran tangan dari pemerintah melulu. Ini kebutuhan kita, marilah kita berusaha memberdayakannya dengan penuh semangat, seperti halnya ketika para sastrawan dan pemeduli bahasa Jawa menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul ini.


Saya heran sekali. Kata orang sudah diselenggarakan Konggres Bahasa Jawa 4 kali, berjarak lima tahunan selang seli pada tiga propinsi, yaitu Jateng, Jatim, dan DIJ. Niatnya agar bahasa Jawa dan sastra Jawa bisa bersemarak kembali jadi bahasa harian orang Jawa di tiga propinsi itu. Sudah diselenggarakan empat kali, artinya niatan tadi kan sudah berlangsung 20 tahun. Ternyata keadaan bahasa Jawa maupun sastra Jawa sebelum dilaksanakan konggres-konggres dan saat ini sama saja. Bahasa Jawa zaman sekarang juga tidak semarak seperti zaman sebelum diselenggarakannya konggres-konggres. Sastra Jawa, siapapun yang ingin berkarya, maupun siapa pun yang ingin membaca sastra Jawa ya hanya pada majalah bahasa Jawa Penjebar Semangat, Jaya Baya dan Djaka Lodang. Tidak berkembang lagi, bahkan boleh dikatakan surut, karena jumlah pelenggan majalah-majalah tadi kian hari kian surut, sehingga jumlah yang beredar sebelum ada konggres bahasa Jawa lebih banyak daripada masa kini. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil konggres-konggres yang mestinya diikuti langkah-langkah peraturan pemerintah yang seharusnya dipatuhi di tiga propinsi itu, ternyata sangat minim dilakukan. Kalau pun ada Perdanya, juga tidak dipatuhi pelaksanaannya oleh masyarakatnya di tiga propinsi tadi. Sia-sia?

Pengajaran di sekolah kok katanya juga sudah ada. Tapi keluh-kesahnya para pelaksana Perda untuk mematuhi berkumandang jelas. Jam ajarnya terlalu sedikit. Guru bahasa Jawa kurang sekali. Buku ajar bahasa Jawa belum ada. Dilombakan menulis buku ajaran bahasa Jawa di Provinsi/Kabupaten/Kota konon tidak ada pesertanya. Atau ada, tetapi tidak cocok untuk dijadikan buku ajar bahasa Jawa. Kata Mas Ayu Sutarto, di Jember pelajaran bahasa Jawa di sekolahan sangat ditakuti oleh para murid, tetapi pelajaran bahasa Inggris sangat disenangi dan diminati. Sebab untuk bahasa Jawa harus menghafal anak kuda namanya belo, anak cecak namanya sawiyah. Padahal di sana yang biasa berbahasa Madura, menyebut anak kuda ya kuda kecil, anak cecak ya cecak kecil. Lalu kapan harus mengucapkan belo, karena sekarang kuda saja sulit sekali ditemui. Dan cecak sudah tidak pernah diperhatikan orang.

Sungguh, luar biasa sekali sulitnya bangsa Jawa belajar bahasa Jawa! Sudah diselenggarakan konggres bahasa Jawa yang biayanya ratusan juta rupiah, sudah berlangsung selama 20 tahun, pelajaran bahasa Jawa masih sulit dilaksanakan. Sastra Jawa masih tetap tidak semarak. Sulit sekalikah mengajari bahasa Jawa di sekolah?

Saya dulu diajari bahasa Jawa di sekolah gampang sekali. Murid satu kelas 30 orang dibagi buku merata satu-satu. Murid Parto membaca keras-keras, murid lainnya menyemak. Kalau membacanya salah, murid lain berteriak, “Salah!”. Artinya cara membacanya harus diulang dibetulkan. Terkadang di tengah-tengah membaca, dihentikan oleh guru, guru ganti menyuruh murid Sumono melanjutkan membaca. Kalau Sumono tidak bisa meneruskan bacaannya, artinya dia tidak menyemak yang dibaca oleh Parto. Kena hukuman. Jam pelajaran bahasa Jawa selesai, buku dikumpulkan, dan disimpan di almari sekolah. Keesokan harinya, pelajaran bahasa Jawa dimulai dengan membagi buku yang kemarin, dan disuruh baca ganti-ganti seperti kemarin juga.

Begitu tiap hari cara mengajar bahasa Jawa zamanku dahulu.

Kalau murid sekelas semua sudah mendapat giliran membaca keras-keras buku tadi Bab I, lalu jam pelajaran bahasa Jawa selanjutnya juga membagi buku yang itu juga. Tapi tidak disuruh membaca keras-keras dan yang lain menyemaknya. Selama 10 – 15 menit murid-murid disuruh membaca batin Bab II. Selesai, Pak Guru pun bertanya kepada murid-muridnya bergiliran satu per satu, apa saja cerita yang tertulis dalam Bab II. Yang tidak lancar atau bahkan tidak bisa bercerita, pastilah membacanya tidak lancar. Pak Guru lalu selalu membimbing memberi tuntunan, bagaimana caranya membaca buku itu. Misalnya, kalau membaca buku kepalanya jangan ikut geleng-geleng. Bola matanya saja yang bergerak. Dituntun oleh guru tiap kali terdapat kendala pada satu dua muridnya caranya membaca. Dituntun bagaimana membaca buku. Membaca batin, bibirnya jangan ikut bergerak. Bagaimana caranya membaca cepat dan lalu mengerti maknanya, karena membaca cepat juga sangat berguna bagi seorang pemimpin bangsa.

Cara mengajarkan bahasa Jawa seperti itu bukankah sangat mudah? Yang mengajar tidak usah orang yang titelnya S1 atau S2. Seorang kakak perempuan yang umurnya 3 tahun lebih tua, tapi sudah lancar membaca buku, sudah dapat mengajari adiknya membaca buku (ini saya alami sendiri, dan juga pernah saya lihat di siaran TV yang menyiarkan setelah tsunami di Aceh, seorang mbakyu dan adiknya sama-sama membaca buku di tenda pengungsian). Caranya, adiknya disuruh membaca buku keras-keras, si kakak mendengarkan, kalau salah ditegur dan dibetulkan. Gampang sekali.

Buku ajarnya sekarang tidak ada. Pemerintah belum menerbitkan buku ajar seperti itu meskipun konggres-konggres bahasa Jawa sudah berlangsung 20 tahun. Lalu, apakah pengajaran bahasa Jawa di sekolah menunggu diterbitkannya buku-buku ajar di sekolah? La kalau sudah 20 tahun berlangsung konggres-konggres, buku ajar bacaan bahasa Jawa belum ada, apa kira-kira 50 tahun kemudian baru diterbitkan bukunya setelah konggris yang ke 10? Atau, mengamati sudah diselenggarakan konggres 20 tahun tidak terjadi penerbitan buku ajar bahasa Jawa, mungkin akan selamanya konggres dilaksanakan sepanjang zaman tidak juga terbit buku ajar bahasa Jawa? Konggres hanyalah untuk Konggres?

Kata Mas Cipto Dosen Uness Semarang ketika menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul Trenggalek 4 Agustus 2009 lalu, untuk menyemarakkan bahasa dan sastra Jawa jangan selalu mengharapkan uluran tangan dari pemerintah melulu. Ini kebutuhan kita, marilah kita berusaha memberdayakannya dengan penuh semangat, seperti halnya ketika para sastrawan dan pemeduli bahasa Jawa menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul ini.

Jadi, marilah pelajaran bahasa Jawa di sekolah kita lakukan seperti pada zaman saya dahulu. Yaitu membaca ganti-ganti murid satu kelas dengan menyemak apa yang dibaca temannya yang mendapat giliran membaca. Bukunya? Belum tersedia buku, ya cerita di Taman Putra yang dimuat di majalah bahasa Jawa Jaya Baya atau Panjebar Semangat difotocopy sebanyak jumlah murid di kelas, misalnya 30 orang. Dibagi selembar seorang (ongkos fotocopy ditanggung sekolah). Lalu disuruh baca yang keras berganti-ganti. Selesai jam pelajaran, fotocopy dikumpulkan. Keesokan harinya dibagi lagi, dibaca bergiliran lagi. Begitu hingga seluruh kelas sudah membacanya dengan lancar dan semua mengerti benar alur cerita maupun liding dongeng (the moral of the story). Baru ganti cerita Taman Putra (fotocopyan) yang lain.

Begitulah seharusnya pengajaran sastra Jawa di daerah tiga provinsi di Tanah Jawa sebelum buku ajar atau buku bacaan bahasa Jawa terbit. Yang memfotocopy dari Taman Putra (majalah bahasa Jawa) adalah sekolah-sekolah yang bahasa Jawanya cengkok Mataraman (cengkok Surakarta-Jogjakarta). Di daerah Banyumas apa bahasa Taman Putra majalah Jaya Baya bisa diikuti? Karena bahasa Banyumasan lain dengan bahasa Jawa Mataraman. Sulit bagi anak-anak Banyumas yang tiap hari berbicara bahasa Banyumasan disuruh membaca/berbicara bahasa Taman Putra majalah Jaya Baya.

Gampanglah. Ya gurunya saja disuruh mengarang cerita bahasa Banyumasan. Kalau tidak bisa mengarang cerita sendiri, ya minta tolong kepada orang lain. Mosok tidak ada seorang pun di Banyumas yang bisa mengarang cerita dalam bahasa Banyumasan? Sudah ada buku bahasa Banyumasan yang mendapat hadiah Sastra Rancagé kiblat bahasa Jawa, lo! Buku bahasa Banyumasan mendapat hadiah tertinggi buku bahasa Jawa yang diselenggarakan oleh Yayasan Sastra Rancagé pimpinan Ayip Rosidi. Apa ora hebat? Mosok hanya seorang itu yang bisa mengarang (menulis) cerita bahasa Banyumasan? Dan kalau yang seorang itu tidak lagi menulis bahasa Banyumasan, lalu bahasa Jawa Mbanyumasan kukut? Kan kasihan, Pak Ayip Rosidi sudah berjuang menghabiskan dana, enersi dan waktu bertahun-tahun lamanya, masyarakat Jawa Mbanyumasan tidak bisa mensyukuri dan tidak merasa sejahtera. Menunggu hasilnya para caleg pemilihan yang lalu?

Mengarang cerita itu sulit, lo, Pak!

Sudah. Begini saja. Untuk bacaan di kelas bagi murid yang bahasanya Banyumasan, suruh saja Pak Guru menterjemahkan cerita anak dari majalah Bobo. Seperti halnya Taman Putra tadi, cerita anak di majalah Bobo setelah diterjemahkan dalam bahasa Banyumasan, diketik pada komputer, difotocopy sebanyak jumlah murid di klas, lalu dipakai sebagai pelajaran bahasa Jawa Banyumasan. Untuk bacaan di kelas mulai klas satu hingga klas tiga.

Itu yang di Banyumas. Yang di Tegal juga begitu. Cerita kanak majalah Bobo (yang sudah jelas makna dan mutu pendidikannya) diterjemahkan dalam bahasa Tegalan. Yang Banyuwangi bahasa Osingan. Yang Madura bahasa Maduran. Dengan cara begitu, maka pengajaran sastra Jawa menurut daerahnya masing-masing akan lancar. Bukan saja murid dipaksa membaca bahasa daerahnya masing-masing, tetapi yang juga sangat penting, yaitu MEMBACA SASTRA. Bangsa Indonesia sudah sangat kehilangan pembacaan sastra sebagai kiat hidup modern. Bangsa Indonesia 90% tidak punya budaya membaca buku, hidup di zaman modern dengan mengandalkan kiat hidup primitif, bahasa lisan, yaitu melihat dan mendengar saja. Itu kiat hidup orang primitif sejak dulu kala. Oleh karena itu, kalau pelajaran membaca buku dituntun di sekolah seperti pembacaan fotocopy bahasa Banyumasan dan lain-lain tadi, maka MEMBACA SASTRA sudah dimulai lagi di sekolah Indonesia. Setidaknya di tiga provinsi daerah bahasa Jawa. Dengan cara tadi maka mula-mula sejak kelas satu diajari membaca sastra (Jawa), selanjutnya selama 12 tahun bersekolah putera bangsa terbiasa membaca sastra, akhirnya tentu berbudaya membaca sastra, berbudaya membaca (buku) sastra.

Fotocopy terjemahan Taman Putra dan Bobo dijadikan bacaan ajar bahasa Jawa di masing-masing daerah seperti itu hanya berlaku sampai di kelas tiga. Di kelas empat, yang difotocopy lain. Bukan Taman Putra, tapi dari rubrik Roman Sacuwil. Di Banyumas terjemahan diambil dari buku ciklit. Di SMP yang diterjemahkan dan difotocopy sudah crita cekak (cerita pendek bahasa Jawa). Setelah SMA yang jadi bacaan bahasa Jawa sudah buku roman (novel) bahasa Jawa, misalnya Trah atau Dokter Wulandari. Yang diterjemahkan bahasa Osingan, Maduran, Banyumasan sudah buku Ayat-ayat Cinta, atau Raja Minyak karangan Karl May.

Begitulah kalau keadaan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah sampai 12 tahun lagi buku ajar bacaannya belum juga ada. Kalau para sastrawan Jawa semangatnya untuk mengembangkan sastra Jawa seperti yang dijiwai pada Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif di Cakul Trenggalek tanggal 4 Agustus 2009, 12 tahun lagi sejak sekarang, saya kira para pemerhati dan pengelola sanggar-sanggar sastra Banyumasan, Osingan, Tegalan dan Mataraman sudah pada bersemangat menerbitkan buku-buku cerita bacaan untuk tingkat kelasnya masing-masing. Tidak perlu lagi bacaan fotocopyan. (Jangan melulu menunggu uluran Pemerintah saja, ujar Mas Cipto). Festival Sastra Jawa dan Desa Inovatif (FSJD) yang diselenggarakan di Desa Cakul 4 Agustus 2009 itu dipromotori oleh Ketua Perhimpunan Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Drs Bonari Nabonenar, berhasil menghimpun banyak sekali pengarang sastra Jawa, baik yang muda maupun yang usia lanjut, baik yang pemula maupun yang dedengkot, dari seluruh wilayah Jawa dari Jakarta (Diah Hadaning) sampai Banyuwangi (Drs.Suyanto,MPd), dari mahasiswa bahasa Jawa sampai dekan-dekannya, datang ke Cakul dengan beaya sendiri-sendiri, dan di sana diselenggarakan berbagai pentas tradisional budaya Jawa maupun yang inovatif, serta sidang-sidang diskusi di berbagai tempat dan berbagai waktu, para tamu menginap di rumah-rumah penduduk desa dengan konsumsi dan fasilitas penginapan seadanya. Sungguh-sungguh Jawa dan desa. Namun mereka semangat berdiskusi mengenai sastra Jawa umumnya.

Penyemarakan bahasa dan sastra Jawa kalau semangatnya seperti itu, pastilah akan berhasil. Kalau penyelenggaraan seperti konggres-konggres Bahasa Jawa yang mewah, tetapi tanpa diikuti pelaksanaan hasil konggres, ya 12 tahun lagi keadaan bahasa Jawa dan sastra Jawa ya tetap seperti sekarang ini. Hidupnya penutur dan sastrawan bahasa Jawa seperti hidupnya para petani di desa-desa. Menghasilkan sesuatu yang berguna untuk bangsa, tetapi tetap terbengkalai, dijauhkan dari kesejahteraannya.
Menurut pendapatku, buku ajar bahasa Jawa Mataraman, Osing, Tegalan, Maduran, Banyumasan jangan buku linguistik, melainkan sastra. Jangan disuruh menghafalkan kembang jati itu namanya jangleng, anak babi itu namanya genjik. Jangan seperti itu. Tetapi suruhlah putera bangsa membudayakan membaca cerita: Kancil nyolong timun, Ali Baba karo 40 kecu, cerita-cerita seperti itu. Membaca cerita atau sastra sudah diyakini pasti bisa menyenangkan dan berguna (dulce et utile) untuk kiat hidup modern. Jika cara begini dilaksanakan, 12 tahun lagi putera bangsa yang lulus SMA pasti sudah punya budaya membaca buku sastra, Indonesia khususnya lulusan dari tiga provinsi Jawa, sudah tidak ketinggalan lagi membaca buku kesusastraan. Tidak bodoh, tidak miskin, tidak nelangsa, tetapi sanggup hidup mandiri, banyak kreasinya yang inovatif, membantu kesejahteraan rakyat, (membantu pemerintah, tidak hanya mengharapkan kebahagiaan dari pemerintah).

Pada FSJD Cakul ada lagi yang perlu saya ceritakan. Mas Beni Setia (asal dari Sunda) mengemukakan bahwa sastra Jawa sebetulnya masih terasa hidup semarak sampai sekarang di desa-desa. Bisa dilacak dari masih digemarinya pagelaran (berbahasa Jawa) wayang, ketoprak, ludrug. Juga ketika memperingati sepasaran bayen (lima hari kelahiran bayi) diselenggarakan macapatan. Pada upacara pernikahan pengantin juga dikumandangkan bahasa Jawa yang luhur. Pada peristiwa seperti itu sastra Jawa masih disemarakkan oleh warga desa. Sastra Jawa modern jadi kurang melekat kepada masyarakat Jawa karena tidak berlandaskan suasana kedesaan Jawa. Sastra Jawa modern meninggalkan kejawaannya, kata Mas Beni Setia.

Mas R.M.Yunani terkejut mendengar uraian Mas Beni. Sastra itu ya ditulis. Tidak diucapkan lisan. Memang pada pagelaran yang disebut tadi mengandung bahasa yang adiluhung. Bahasa adiluhung memang jadi salah satu dari panutan wajib ditulis pada sastra. Jika sastra Jawa modern ingin berkembang, ya harus diciptakan secara modern, wacana sastra dunia harus jadi referensinya. Itu bukan berarti sastra Jawa modern meninggalkan asal-usul orang Jawa.

Menurut pendapatku, apabila kita bicara tentang menyemarakkan BAHASA (Jawa), yang paling penting bahasa itu harus sering didengar dan sering diucapkan. Jika Gubernur/Bupati/Kota ingin bahasa Jawa semarak di masyarakat (melaksanakan keputusan Konggres-konggres Bahasa Jawa) diatur saja lewat Peraturan Pemerintah Daerah (Perda), agar bahasa Jawa sering diperdengarkan dan diucapkan. Jadi pagelaran kotoprak atau drama bahasa Jawa sering dipentaskan (misalnya diselenggarakan lomba pentas antarsekolah SMP). Jam-jam siaran radio swasta di daerahnya harus berbahasa daerah, di Madura siaran radio harus bahasa Madura, dan sebagainya. Juga TV lokal, harus berbahasa daerah yang baik, bahasa daerah yang membangun.

Nanti apa ada yang menyetel TV dan radio swasta?

Tergantung acaranya, bisa menarik atau tidak. Andaikata TV lokal menyiarkan telenovela Brasil yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Misalnya Maria Marcedes yang pernah digilai oleh penonton Indonesia sehingga peranan utamanya didatangkan ke Indonesia disiarkan dalam bahasa Jawa. Pasti menarik perhatian baik orang yang di Tanah Jawa, maupun orang Jawa yang merantau di luar Jawa. Mengapa menarik perhatian? Sebab ceritanya memang bagus, tokohnya bule (penonton Indonesia/Jawa masih mengidolakan tokoh bule) tetapi lancar berbahasa Jawa, bahasa Jawa yang bersih, cerdas, terpelajar. Telenovela Brasil atau Meksiko, rata-rata alur ceritanya lebih banyak dituntun dengan bertutur kata (meskipun settingnya tetap di ruangan yang sama) daripada beraksi. Kalau tutur katanya itu dalam bahasa Jawa, maka ceritanya tetap akan menarik. Agak lain dari sinetron Indonesia yang lebih banyak beraksi kekerasan (suka sekali mentayangkan adegan menyiksa, klub malam, rumah sakit dan kuburan), tutur katanya kasar, tidak cerdas, melecehkan orang lain, penuh kebencian, dendam kesumat, cenderung banyak menimbulkan/mempromosikan konflik serta kekerasan dan perpecahan. Persoalannya, apakah TV lokal swasta sanggup menyelenggarakan dubbing bahasa Jawa sebaik itu? Sebab juga dibutuhkan orang Jawa yang pandai berbahasa Jawa. Dengan tutur kata terjemahan dari telenovela Brasil tadi (yang cerdas, bersih dan ceritanya modern) maka akan ternyata bahwa bahasa Jawa bukan bahasa kuna ataupun ndesa. Bahasa Jawa bisa digunakan untuk menampung kehidupan dan pemikiran modern.

Kalau hasrat semangat rakyat atau masyarakat di tiga provinsi Jawa itu seperti para sastrawan FSJD Cakul, pasti bisa terselenggara semaraknya bahasa Jawa yang modern dan terpelajar pascakonggres-konggres bahasa Jawa.

Yayasan Sekolah Karmel Malang, dengan semangat ingin mencerahkan bahasa dan sastra Jawa, tidak saja untuk disiarkan pada murid-murid di sekolahnya, melainkan juga dikembangkan kepada masyarakat umum. Tahun 2006 dan 2008 pernah bekerja sama dengan majalah bahasa Jawa Jaya Baya (Surabaya) mengadakan lomba pengarang geguritan dan crita cekak untuk umum. Pesertanya cukup banyak dari berbagai daerah baik di Jawa Tengah, DIJ dan Jawa Timur. Namun, setelah hasil lomba diumumkan dengan disertai upacara penyerahan 6 pemenangnya yang terima hadiah dan diskusi tentang sastra Jawa (semua para peserta lomba diundang dengan diganti transportasi, konsumsi dan penginapannya ~ tentu saja mereka belum tahu siapa pemenangnya, maka mereka antusias untuk hadir di Malang), serta karya pemenang utama berturut-turut dimuat di majalah mingguan Jaya Baya, maka selesailah kegiatan penyiaran sastra Jawa tersebut. Tidak ada kumandangnya lagi sekarang. Yang paling berhasil dalam lomba itu adalah dibangkitkannya para sastrawan untuk ikut serta lomba menciptakan hasil karyanya. Akan lebih bermanfaat lagi kalau karya hasil lomba itu dihimpun diterbitkan jadi BUKU. Karena sastra adalah buku. Dengan adanya buku sastra Jawa, maka sastra Jawa akan selalu diingat tiap kali dibaca pada bukunya. Sedang kalau disiarkan di majalah atau suratkabar, akan tidak terbaca lagi setelah ada penerbitan majalah nomer yang baru. Nomer yang lama (yang memuat karya sastra) ikut hilang bersama nomer majalah yang lampau, tidak dibaca lagi. Lain kalau diterbitkan jadi buku.

Kalau Yayasan Sekolah Karmel di Malang ingin mengembangkan bahasa Jawa dengan hasil lomba-lombanya tadi, yang pertama mestinya hasil lomba tadi diterbitkan jadi buku. Yang kedua lomba dijadikan agenda dua tahunan, diselenggarakan terus tiap dua tahun sekali. Itu tadi tentang SASTRA Jawa. Yang ketiga, ini untuk menyiarkan agar BAHASA Jawa selalu didengar dan diucapkan, diselenggarakan lomba baca geguritan dan crita cekak antarsekolahnya secara periodik hasil lomba penulisan di majalah yang lalu. Syukur-syukur bisa dilombakan drama bahasa Jawa antarsekolahnya dengan cerita gubahan hasil cipta cerita pendek yang dilombakan di majalah Jaya Baya tahun-tahun lalu. Kalau lomba baca geguritan dan cerita cekak orang hanya mendengarkan sekejab bahasa Jawa, tetapi kalau dipentaskan sebagai drama (bahasa Jawa), penonton/pendengar lebih menjiwai tuturan bahasa Jawa tadi. Berbeda dengan pementasa ketoprak atau ludrug yang telah punya ikatan tradisional (sehingga penontonnya pasti orang yang mengenal pentas tradisional tadi), maka pementasan drama lebih memenuhi kreteria kehidupan masa kini atau bebas dan modern. Sesuai dengan tuntutan menyemarakkan bahasa Jawa saat ini.

Sebetulnya bukan hanya Yayasan Sekolah Karmel Malang saja yang harus menyelenggarakan lomba-lomba bahasa dan sastra Jawa seperti itu. Pemerintah Daerah Provinsi/Kota/Bupati, lembaga swadaya masyarakat seperti penerbitan suratkabar, penyiaran radio, televisi yang memiliki pasarannya dengan didengar dan dibaca, punya kewajiban menyelenggarakan lomba-lomba seperti itu kalau mereka berada di tiga propinsi yang menyelenggarakan Konggres Bahasa Jawa itu.

Jika ingin menyemarakkan BAHASA (Jawa), maka bahasa tadi harus sering diperdengarkan dan diucapkan. Jika ingin menyemarakkan SASTERA (Jawa), maka bahasa tadi harus banyak ditulis pada buku, dan dibaca pada buku. Mestinya itu yang harus diperbuat pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat di tiga propinsi pascakonggres-konggres bahasa Jawa.

Jadi, pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa tidak hanya berkumandang seperti ketika Yayasan Sekolah Karmel di Malang menyelenggarakan lomba mengarang geguritan dan crita cekak, setelah hasil lomba diumumkan bahasa dan sastra Jawa lenyap. Tidak hanya pada saat-saat diselenggarakan Konggres Bahasa Jawa pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa berkumandang, setelah selesai Konggres bahasa dan sastra Jawa sepi. Harus ada perkembangan pengetrapannya selanjutnya.

Begitulah harapan saya. Semoga.

Oct 19th, 2009

Saka: Suparto Brata

Senin, 26 Oktober 2009

detikcom : Pemasok 90% Bahan Baku Dunia, Tapi RI Masih Impor Parfum

title : Pemasok 90% Bahan Baku Dunia, Tapi RI Masih Impor Parfum
summary : RI kini merupakan pemasok 90% bahan baku minyak atsiri yang digunakan untuk pembuat parfum. Tragisnya, RI justru tercatat sebagai salah satu pengimpor parfum. Sebuah potret carut marutnya industri dalam negeri. (read more)

Rabu, 07 Oktober 2009

PANGGURIT DIAH HADANING

MULIH MARANG “IBU” BUDAYANE

Nganggo sandhang penganggo sarwo ireng, rambut dawa diore, Diah Hadaning macakake guritane “Paseksene Anake Ki Suta Kluthuk” ing acara pentas Festival Sastra Jawa (FSJ) wengi ing Cakul, Dongko, Trenggalek, 4 Agustus 2009. Sanajan penggurit sing yuswane wus 69 taun, nanging dheweke isih bisa nuduhake ekspresine lumantar guritane kasebut. Eyang putri Diah Hadaning keraya-raya teka ngestreni FSJ karana tresnane marang sastra Jawa. Wus ana sauntara kumpulan guritan sing diserat wiwit taun 1980 kayata “Paseksen Anake Ki Suto Kluthuk”, “Kirab Gurit 53”, lsp.


Diah Hadaning, nyemak saka guritan-guritane, sajak kepranan karo Kejawen sing melu ngrenggani sejarah uripe. Ing bukune “Paseksen Anake Ki Suto Kluthuk” ing kono malah dicethakake dening dheweke prakara mau mangkene: ‘Konjuk catur wanodya kang nengarani greget seni lan jatidhiriku: Raden Ayu Mardinah (Pertapa Goa Tabuhan, Tlatah wetan), Kanjeng Ratu Kalinyamat (penguasa Tlatah Lor), Raden Ajeng Kartini (Pejuang kemajuan wanita), Sakirah (Pengukir jiwa ragane penggurit)’. Yen maca sabrebetan, katrangan kaya mangkono mau pancen ora patiya ketara mungguh kepriye tlonjonge marang rasa-pangrasane Diah Hadaning marang Kejawen. Kabeh sing katuran konjuk iku wanita. Para wanodya mau banget gedhene anggone lelabuh marang lelakon uripe, mligine marang kelantipane anggone nulis guritan.

Prasaja. Urip iku satemene prasaja. Mangkono manut Diah Hadaning kaya sing katulis ing guritane “Anake Ki Suta Kluthuk”: aku iki anake Ki Suta Kluthuk/lair bengi kairing swara suluk/tanpa piranti suci ama/ya mung welat lan empu kunir/aku ora wedi getir/yangisku sora/ngungkuli sambating sibu/wong-wong gumun takon mara/besuk arep dadi apa/aku iki anake Ki Suta Kluthuk/wiwit cilik wis mendem urip sara/saben bengi sibu mbisiki/ya gendhuk langit kae gambarana/pasuryan priya kang gawe mulya/sibu ora ngerti/aku iki angin gunung/kang ngiring swara suluk/aku iki ati kembara/ara-ara lan alang-alang kanggoku kanca/angin tlatah lor dadi nafasku/banyu tlatah lor dadi getihku/tanah gunung lor dadi dagingku/watu tlatah lor dadi balungku/langit lor ya bapakku/bumi lor ya ibuku/aja kemlungkung mring dunungku/aja gething mring sambatku/apa maneh merjaya aku//

Gawe Rasa Kebal Lara
Guritane mantan wartawan Swadesi Jakarta iku bisa dibabarake yen nggambarake kangene marang alam sing wus tau nglairake dheweke minangka wong Jawa sing prasaja. Coba disimak judhule iku “Anake Ki Suta Kluthuk”. Tembung kluthuk, ing madyaning masyarakat Jawa dianalogekake kanggo wong-wong ndesa utawa wong sing prasaja banget uripe. Ya ing kene iki (prasaja) sing bisa ditemokake maneh dening panggurit mungguhing alam Jawa, mligine Jawa pesisiran. Kekarepan/pepenginan bali marang sumber Jawa kaya mangkono mau ora maido dadi lumrah menawa ngumbarane rasa lan pengalaman wus njajah tekan ngendi-endi papan lan panggonan tumrap kawruh. Diah Hadaning, sajroning mapan ing Jakarta (sabanjure ing Bogor) mesthine wus tepung karo apa sing disebut “modheren”. Ananging, sing modheren mau ora bisa menehi “pangluaran” sing sejati kanggo jiwane.

Bab iki bisa dipetani saka guritan “Jakarta Kala Mangsa” ing antologi Kirab Gurit 53 (taun 2000): Jakarta/rembulane katon abang/ayang-ayangmu gemlewang/Jakarta/gambang kromong keprungu aneh/akeh wong omong nyleneh/Jakarta kala mangsa/gawe rasa kebak lara/Jakarta kala mangsa/eloke mung aneng kaca/Jakarta/dedongengan bocah saiki/ana kreteg tanpa kali/Jakarta/ujare wong melik maju/milih utang nadyan diguyu// Guritan mau nggambarake bab sing cengkah siji lan sijine, apus-apus, ora cetha tlonjonge, lan “gawe rasa kebak lara”. Sawernane prakara kasebut dadi pancadan mungguhing Diah Hadaning kanggo sinau lan tilik sarta mulih maneh marang “ibu” budayane: Jawa. Apus-apus utawa bab-bab sing mung ethok-ethok gebyare yen disawang sapandurat pancen kaya bisa gawe marem, ananging rasa iku ora bisa diapusi. Ibu sing biyen nglairake lan ngedhekake, sanajana ditinggal adoh tetep ora bisa ditinggal lan ora bakal ninggalake, jalaran ibu iku sajatine setya lan asih.

“Laku Spritual”
Awit saka iku, dheweke ngluru maneh nggoleki lan prasapa nuhoni karo garising naluri sing ginurit ing uripe. Kanggo nyapih marang kahanan mau, panggurit sing duwe komunitas Wrung Sastra Diha iki, tau kandha yen kepengin golek papan ing dhaerah salore Yogyakarta (ing sacedhake Kaliurang). Jarene, sauntara taun kepungkur marang JB, dheweke arep gawe dalem kaya dene padhepokan. Nanging, kekarepan mau ora sida kelakon. Embuh apa jalarane. Saiki dheweke dalah kluwargane mapan ing Cempaka, Blok D/14, Mekarsari Permai, Cimanggis 16952 (Jalan Raya Bogor Km. 30). Sing cetha, ora ing Jakarta maneh. Jumbuh karo kahanan kasebut, lungane Diah Hadaning menyang acara FSJ ing Cakul, Trenggalek sing papane ana desa pegunungan iku dadi sawijining “laku spritual” sastra apadene uripe. Duk samana, nalika para kawi (panggurit Jawa Kuna) ngasah lan nikelake rasa-pangrasane, padha munggah gunung dhuwur supaya bisa nggemblengake sakabehing jiwane. Apa Diah Hadaning mangkono persise, amung dheweke dhewe sing bisa njawab. Nanging, totalitase nalika maca guritan lan rong dina ngestreni FSJ saora-ora menehi tengara: pancen ngono ancase!

Balik menyang Kejawen sajake bisa menehi banyu bening marang ngoronging lakuning jiwa. Prasaja, salah sijine kuci urip Jawa, bisa dipigatekake saka tumindak, upamane gawe seneng. Kegawa saka yuswa lan wawasane, Diah Hadaning ora tau nuduhake sapa satemene dheweke yen ora ditakoni. Iku ora ateges angkuh utawa ngrahasiakake uripe, kabeh mau kegawa karep supaya aja nganti gawe seriking liyan. Guritan cuplikan ing ndhuwur mau aweh tengara tandha dunung menyang endi arah sing arep dilakoni. (Dhanu Priyo Prabowo)

Jaya Baya Nomer 52 Tahun 2009

NGLARAN, NABETE JRONING ATI

Nggelak Optimisme Mekare Kasusastran Jawa

PRIKANCA pengarang sastra Jawa sarta aktivis olah tetanen saka njaban daerah kang dadi peserta Festival Sastra Jawa dan Desa (FSJD) 4-5 Agustus 2009, wis nilarake Dhusun Nglaran, Desa Cakul, Kec Dongko, dhusun pucuk nggunung ing Kab Trenggalek. Rebo bengi bubar adicara penutupan kanthi nggelar wayang tobos, 18 anggota rombongan PSJB (Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro) pimpinane JFX Hoery, langsung bodholan senadyan mobile kudu ngliwati dalan rumpil menggak-menggok munggah-mudhun.

Sakbis rombongan wayang dongeng saka Universitas Negeri Semarang (Uness) uga tengah wengi iku uga mulih sabubare pentas ing aula SD/SMP Satu Atap ing Cakul. Adicara ditutup Wakil Bupati, Mahsun Ismail SAg MM diterusake pentas dhalang cilik Wuwus Nanang Galih Carita kang kasil ngrengkuh Lima Besar lomba pedalangan anak-anak ing Solo 2008.

Kari pengarang telu kang durung mulih kalebu Diah Hadaning saka Bogor sing gelak-gelik nunggu travel menyang Surabaya. Nedhenge nunggu ndadak Bonari Nabonenar, Ketua Penitia FSJD ya Ketua PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) antuk telepon saka kabupaten martakake yen Bupati Trenggalek Drs H Soeharto ngantu-antu tekane peserta lan panitia. “Pira wae dijaluk tekane, Bupati adreng banget,” mangkono unine telepon saka kabupaten iku.

Pirsa regenge adicara pembukaan sarta akehe peserta Bupati rumangsa ngungun jalaran ora ngira jebul kaya ngono dadine. Rawuhe rombongan bupati Selasa awan, dipapag kiprahe jaranan “Turangga Yaksa” saka Dongko lan diregengake Grup Kentrung Moderen “Panji Wulung”. Durung maneh kiprahe grup kerawitan SD Cakul dalah panggerong bocahe sarta Tari Gambyong dening para Guru GTT Dongko kang mangayubagya rawuhe Bupati sarombongan. Krana kepranan, mahanani panjenengane kapiadreng nyugata para pengarang sastra Jawa ing pendhapa.

Senadyan awak rasane lungkrah telung dina sarasehan, karen-karene peserta ngestokake sowan Bupati diombyongi Ketua lan Sekretaris Pantia FSJD (Bonari lan Sarwan S.Pd) sarta para panitia lokal liyane. “Sinten malih ingkang badhe nguri-uri basa, sastra, lan budaya Jawi kajawi kula panjenengan sami,” ngendikane Pak Bupati ing pringgitan.

Saka kono, Bupati H Soeharto kang nampi gelar Kanjeng Haria Hadiningrat saka Kasunanan Surakarta iku banjur ngajak tamune menyang pendhapa mirsani lomba tembang macapat tingkat SLTP lan SMU sa-Kab Trenggalek. Dina Sabtu lan Senene bakal dianakake lomba geguritan kanggo murid-murid SD, SLTP lan SMU. “Lomba ngaten punika ajeg dipun-adani saben amangeti tanggap warsa Kab Trenggalek sarta HUT Proklamasi Kamardikan RI,” ngendikane.

E, wis kaya ngono pangrengkuhe, rombongan mulih isih dioleh-olehi camilan khas Trenggalek sarta diajak kembul bojana andrawina dhahar sayur lodho ing warunge “Pak Yusuf”. Tumrap para peserta, dhusun Cakul Trenggalek ora mung nabet jroning ati krana endahing alam lan grapyak sumanake bebrayan padesan, ananging uga nuwuhake rasa optimisme marang mekar lan ngrembakane sastra Jawa ing bumi Nuswantara.

Lamun Kongres Basa Jawa (KBJ) utawa Festival Pedalangan Nasional tansah diadani ing hotel berbintang tengah kutha kanthi wragat milyaran rupiah, panitia optimistis lamun FSJD kang diadani ing perenge gunung iki bisa luwih sukses senadyan cumpen fasilitas. Adicara iki disengkuyung Pemkab Trenggalek kanthi bantuan posko kesehatan, mobil, banyu resik, lan bantuan liyane.

Kanthi dana mung puluhan yutan rupiah, festival bisa klakon luwih regeng lan marem. Ana 432 Guru SD lan SLTP melu seminar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa kang diembani Guru Besar Unesa Surabaya, Prof Dr Setya Yuwana sakanca. Wondene 35 pemuda tani sa-Kec Dongko kang melu sarasehan ing gedung Madrasah Tsanawiyah Dongko diembani Purwanto (Kelompok Tani Bangunrejo Godean, Sleman), Qobul SH (Kelompok Lelang Hasil Pertanian, Galur, Kulonprogo), lan Siti Aminah (Pengarang, Pekerja Komunitas) saka Yogyakarta. Malah bubar sarasehan mengko, para among tani Trenggalek kepingin mertinjo kebon lomboke Pak Purwanto ing tlatah pesisir Yogyakarta.

Banyu Bening
Cakul mono dumunung ana ing ruas dalan kang nyambungake Kec Panggul karo Kec Dongko (Kab Trenggalek), watara 90 km saka Pacitan lan 45 km saka Trenggalek. Ewa semono FSJD bisa nekakake pengarang lan akademisi saka tlatah Pulo Jawa wiwit saka Jakarta nganti tekan Blambangan. Wiwit saka pengarang Gunawan TS (Jakarta), Sucipto Hadi Purnomo (Semarang), Widjang (Taman Budaya Surakarta), Dhani Priyo P lan Noor Singgih (Yogyakarta), Harmono Ks lan Suparto Brata (Surabaya), nganti para pengarang saka Sanggar Triwida Tulungagung lan Paguyuban Sastra Jawa Banyuwangi.

Kajaba iku, sarasehan uga ditekani tamu mirunggan saka komunitas pengarang TKI Hongkong, Melur (Jombang) lan Sri Lestari (Blora) E, ing Satengahe sarasehan lumaku isih kerawuhan rombongan 14 warga Paguyuban Pamarsudi Budaya Jawa ”Sedyatama” saka Madiun. “Kula sakanca rumaos katimbalan mriki sasampunipun ningali jagong budaya wonten ing TVRI dinten Ahad-ipun,” kandhane Agustinus Maryanto, pangarsane paguyuban.

Adicara iki diliput media basa Jawa Jaya Baya (Surabaya) lan Jaka Lodang (Yogyakarta), media basa Inggris The Jakarta Post (Jakarta), Jawa Pos, JTV lan TVRI. FSJD uga ditekani sastrawan nasional (basa Indonesia) kayadene D Zawawi Imron (Sumenep), Beni Setia (Madiun), lan Tjahjono Widarmato sakembaran saka Ngawi. Manut Zawawi, ing Sumenep isih ana 15 grup mamaca macapat kang tansah aktif lestarekake sastra Jawa. “Aku yakin, sastra Jawa ora bakal mati,” kandhane.

Perkara ngrembug bebana sastra Jawa khusus dening wong Jawa kaya bebana Rancage iku, peserta isih nyumenekake dhisik. Nanging peserta sarasehan sarujuk ngupadi penerbitan karya sastrane tanpa medulekake antuk bebana sastra apa ora. Para peserta uga sarujuk ngundhakake kawruh sastrane sarta komunikasi marang padha-padha pengarang sastra Jawane liwat internet.

Ing sarasehan kanthi cara lesehan mau, para peserta padha nuduhake ekspresi senine ing babagan tembang macapat lan geguritan, sejene padha nawakake karyane ing bursa buku sastra Jawa. Kaya pantomime Jemek Supardi saka Jogjakarta kang dipentasake ing wengi kapisan ngelikake marang pengarang sastra Jawa bisaa dadi banyu bening kang murakabi marang panguripane manungsa. Banyu bening dadia pencerahan tumrap manungsa murih optimistis ngadhepi urip lan nguripi sastra Jawa.

Kanthi pantomim gaya Mataraman lakon “Leb Banyu Butheg”, Jemek Supardi ngelikake marang kita kabeh aja nganti mengkone krisis banyu. “Krisis banyu wiwit dadi ancaman serius tumrap panguripane manungsa. Banyu bening wiwit dadi barang langka, sepuluh taun maneh saya angel digoleki,” welinge Jemek. Mesthine ora kaya mangkono nasibe karya sastra Jawa. [RM Yunani]

Jaya Baya Nomer 52 Tahun 2009

Penulis Sastra Jawa ngumpul ing Trenggalek:

Senajan Mung Prasaja Acara Katon Semuwa

Wragad kanyatan isih kalah karo tekad. Bonari Nabonenar (45) seka Trenggalek kasil mbuktekake. Senajan kanthi prabeya cumpen mung Rp 50 yutan, kasil ngumpulake atusan penggiat Sastra Jawa saindenging tanah Jawa. Satemah desa klairane Bonari, Nglaran Kec. Dongko, katon regeng sajroning rong dina. Dalasan Bupati Trenggalek Soeharto uga kepareng ngestreni, saengga bawa rasa antarane para penulis Sastra Jawa iku katon semuwa najan kanthi papan prasaja.

ORA ana upacara tradisi masonan ing mangsa ketiga, ora ana wong duwe gawe; nanging dhusun Nglaran Desa Cakul Kec. Dongko Kabupaten Trenggalek dina kuwi katon regeng. Warga desa kono lan sakiwa-tengene melu tumplek ing komplek gedung SMP Satu Atap 2 Dongko. Pancen ana kedadeyan menjila ing dina kuwi, sing cukup bersejarah, kang durung nate dialami ing desa kuwi. Para penggiat Sastra/Budaya Jawa seka saindenging Tanah Jawa, wiwit Bogor, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Bojonegoro, Kediri, Tulungagung, Ponorogo, nganti Banyuwangi, kabeh ngumpul ing desa pegunungan sepi, 50 Km sakidul kulone kutha Trenggalek iku.

Iki kabeh merga seka kringet lan kertiyasane Bonari Nabonenar, kawula mudha klairan desa kono, sing sasuwene iki pancen dadi penggiat Sastra Jawa. Ora mung kanca lan komunitas Sastra Jawa wae, dalasan penggiat Sastra Indonesia kaya dene Beni Setia (Madiun) lan D. Zawawi Imron (Surabaya) uga rila adhem-adheman rong dina ing papan kuwi. Luwih hebat maneh, Bupati Trenggalek Soeharto, uga kepareng rawuh lan ngresmekake acara sing tetenger Festival Sastra Jawa & Desa 2009 mau. “Bonari pancen hebat,” komentare para tamu. Iki sukses katelu tumrape Bonari, sawise nggelar Sarasehan Sastra Jawa ing Semarang dhek September 2006 ndhisik lan taun 2002 ing Taman Budaya Surakarta (TBS).

Beni Setia vs RM Yunani

Festival Sastra Jawa & Desa 2009 (FSJD – 2009) ing sakawit bakal digelar dhek pertengahan Juni 2009. Nanging merga mbarengi mangsa ujian sekolah, banjur mundur rong sasi. Dr. George Quinn seka Universitas Nasioal Australia sing mesthine bisa melu nekani, dadi wurung merga mundure kegiatan iki. Nanging ora dadi baya, jer kaya dene wong nyabetake pedhang saupamane, saya mundur malah dadi sangsaya antep tangguhe.

Cundhuk karo jenenge, FSJD -2009 pancen ora ngemungake ajange bawa rasa antarane para pengarang Sastra Jawa, nanging uga dadi papan pameran home industri lan kerajinan asal desa Cakul. Ana pameran wedhus Etawa sing akeh dadi klangenane warga kono, uga ana kerajinan nggawe wayang. Ndalem pidhato sambutane Pak Bupati mratelakake yen, yen FSJD-2009 iki pancen luar biasa, ingatase ing papan sing cukup “mencil” iki klakon ana pagelaran adi lan langka. Mula panjenengane ora mung paring sabiyantu dhuwit lan banyu nganti rong truk tengki, ananging uga kepareng ngundang para peserta FSJD-2009, sapatemon mligi ing kantor bupati. “Mbesuk yen ana kegiatan kaya ngene maneh, aku bakal mbantu sakatoge. Mangga, pendhapa kabupaten diagem saperlune,” ngendikane Pak Soeharto sadurunge nabuh gong tandha kawiwitane festival.

Sarasehan sastra Jawa kanthi topik “Mengembangkan model inovatif pada pembelajaran” diaturake dening Prof. Dr. Setya Juwana Sudikan guru besar Universitas Negeri Surabaya, kanthi moderator Sutjipto Hadi Purnomo M.Hum, dosen Universitas Negeri Semarang. Banjur bawarasa antarane para penggiat Sastra Jawa dumadi awan iku uga ana panggung terbuka kang dibangun dadakan ing plataran daleme Bonari, kanthi moderator Sumono Sandy Asmara, alumni Unesa, Surabaya. Ing kalodhangan iki, budayawan/sastrawan D. Zawawi Imron uga mratelakake, sepira gedhene Sastra Jawa anggone ndayani kasusastran Madura, mligine ing kalangan pesantren.

Beni Setia sastrawan Sunda kang wis “njawani” merga manggon ing Caruban (Madiun), nate gugat: geneya para wong sugih Jawa ora darbe kawigaten marang kasusastrane? Ing kalodhangan kasebut wusana dheweke darbe panemu, yen Sastra Jawa iku ateges satra panggung, kang nembe krasa nalika ana ing tontonan wayang uwong, wayang kulit apadene kethoprak. Swasana iki dadi rada anget, jalaran enggal dibantah dening RM Yunani penggiat Sastra Jawa saka Surabaya. “Sastra Jawa iku ya sastra tulis kang tinemu ing buku-buku lan majalah. Dene yen kethoprak, wayang nggunakake Sastra Jawa, pancen iya....!” pratelane.

Eyang Suparto Brata bali ngunggar panemune, yen Sastra Jawa surem jalaran masarakat ketenta marang budaya ngrungokake lan nonton, sing mujudake kodrat. Kamangka sing jeneng maca, kabisan iku kudu disinaoni, kayadene wong bisa nyetir mobil sarana ajar dhisik. Luwih-luwih maca buku-buku sastra, kudu duwe kawigaten mirunggan. Mula manut panemune, bebrayan bakal luwih berbudaya samangsa rakyate padha nresnani kasusastran. Semono uga Arswendo Atmowiloto, ndalem sambutan tertulise pratela: Sastra Jawa satemene wis lengser bareng aksara Jawa wis ora digunakake maneh ing bebrayan. Mula yen engga saiki isih ana wong kang ora ilang kasetyane marang Sastra Jawa, dheweke bisane mung atur sungkem lan kurmat marang priyayi kang mengkono iku.

JFX Hoery nggawa “pocong”
Sajroning rong dina FSJD-2009 digelar, masarakat Desa Cakul antuk hiburan mirungan. Kejaba demo guritane Sumono seka Ponorogo, uga ana pasugatane Bu Diah Hadaning seka Bogor. Nursinggih seka Ngayogya ngaturake guritan kombinasi tembang Jawa kang digawe dadakan ing sela-selane festival. Pantomim kondhang Jemek Supardi seka Ngayogya uga atur pasugatan “wong golek kodhok” ing tengah wengi. Kejaba iku para tamu uga dilipur dening Kentrung Panjiwulung. Lan ing acara penutupan Rebo sore, ana pagelaran wayang kulit.

Sacara umum, ora muspra Bonari sakanca nganti adus kringet kanggo ngadani lan ngajangi FSJD-2009 kuwi. Mula RM Yunani ngendikakake, lekase arek Tenggalek iki mbuktekake yen kegiatan nguri-uri kasusastran Jawa iku tetep bisa katon greget lan regeng senajan kanthi wragad sing cumpen. Tandhingna karo Konggres Basa Jawa limang taunan kang wragade nganti milyaran nanging mung kandheg tekan makalah. Senajan wragade mung Rp 50 yutan kayadene pratelane Bonari, setting panggung bisa digawe kanthi bregas, lan para tamu kopen kabeh, mangan wareg.

Bonari dhewe nganti ngondhok-ondhok nalika aweh sambutan minangka Ketua Panitia. Ora ngira nganti tekan semono kawigatene masarakat lan pejabat Kab. Trenggalek. Dheweke nekad nggelar FSJD-2009 pancen ora mung kepengin kangen-kangenan para penggiat Sastra Jawa, nanging yen bisa sabanjure dadi agenda taunan sing munggahe bisa dadi Festival Etnik Sastra. “Dadi awake dhewe ora cukup mung nggresula lan nangisi nasibe Sastra Jawa”, pratelane.

Para penggiat Sastra Jawa kang rawuh pancen atusan. Fx Subroto sak balane saka Jaka Lodang (Yogyakarta) nggawa mobil dhewe, semono uga Kicuk Parta Pemred Jaya Baya, ngajak balane bangsane Sriyono lan Wuwuh Rahayu. FX Huri saka Bojonegoro nggawa bala sakbis klebu “pocong” lima cacahe. Malah seka Banyuwangi, ana sing nekad numpak motor tekan Dongko. Sajroning rong bengi para tamu diinepake ana daleme Pak Abdul Hasyim, Suparman Spd, Abdul Mungin, sarta daleme Bonari dhewe sing cukup bawera. Pasugatane uga khas karang padesan, ana punten, godhogan tales nganti kacang rebus. Prasaja pancene, ning tetep semuwa. (Gunarso TS)

Jaya Baya Nomer 51 Tahun 2009

BONARI NABONENAR

Obsesine, Balik Kandhang

Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur ing sajroning minggu iki banget “sibuk”merga dadi pusat kawigatene wong akeh. Ing desa iki, Bonari Nabonenar sastrawan klairan Dhusun Nglaran, Cakul bakal nggelar “pesta” awujud Festival Sastra Jawa dan Desa (FSJD) tingkat nasional.


BONARI asli klairan desa kono tanggal 1 Januari 1964. Obsesi, kepingin ngramut “kandhange” iku diwujudake kanthi ada-ada ngadani adicara kang ora baen-baen. Nggelar festival tingkat nasional kanthi tajuk Festival Sastra Jawa dan Desa (FSJD) 2009 kang dipunjerake ing dhusun klairane tanggal 4-5 Agustus 2009. Ibarat jaran ngono, Bonari kang weton SMP Berbantuan Panggul (1979) lan SPG Sore Trenggalek (1982) iki ora kepingin lali karo gedhogane.

Geguritane kang kapisanan diemot ing Majalah Siswa terbitan Taman Siswa, Yogyakarta, nalika isih lungguh ing bangku SPG (1981). Sepisanan nulis cerkak diemot ing rubrik Roman Sacuwil Majalah JB sesirah Sawijining Dina ing Pesisir Karanggangsa (1985). Tamat saka Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya (1987) taun candhake mlebu Sanggar Sastra Jawa Triwida Tulungagung. Ketua Sangar Triwida wektu itu (Tamsir AS) ngajak gabung dadi staf redaksi tabloid Jawa Anyar (1992–1993). Taun 1991 dadi Juara II Lomba Cipta Cerkak Taman Budaya lan Diknas Jogjakarta.

Tumrap Cak Bonari kang kadhung katrem mbelani sastra Jawa iki, semangat hambelani sastra Jawa mbedhal kaya jaran ucul. Dipalangana mlumpat, didhadhungana mberot, kamangka prasaja wae, wonge gak gablek dhuwit. Bonek alias bandha nekat. Bebasane bandha cupet ati karep. Taun 2001 bareng Keliek Eswe (Surabaya) lan Daniel Tito (Jawa Tengah) nggagas nggelar Kongres Sastra Jawa (KSJ) I ing Taman Budaya Surakarta. Kok ya bisa. Ya krana prestasi iki, Bonari sakanca ing KSJ I, diundang dadi peserta Kongres Bahasa Jawa (KBJ) III ing DIY. ’’Nanging merga dianggep mbangkang, nalika KBJ IV ing Semarang dicekal, krana ing taun kang padha aku ngadani KSJ II uga ing Semarang,’’ kandhane.

EDAN-EDANAN
Gagasan Cak Bonari ngadani KSJD ing Nglaran iki kalebu edan-edanan. Lha piye ta, KBJ IV ing Semarang wae ngentekake prabeya nganti Rp 5 milyar, lha FSJD 2009 iki njur wragate pira? Festival mau ditekani 100 sastrawan lan pandhemen sastra Jawa saindenging Nuswantara. Kamangka kabeh peserta diangkah bisa lelahanan sauger gelem nginep ing omahe warga kanthi mangan cara ndesa. Durung maneh peserta sarasehan desa tumrap 100 pemuda desa sa-Kecamatan Dongko, lan seminar basa Jawa kanggo 500 guru-guru basa Jawa ing SD lan SMP. ’’Filsafate wong ndesa mono sauger gelem kumpul mesthi bisa mangane. Wiwit karang taruna, pamong desa, camat, bupati, SD/SMP Satu atap, lan Sanggar Triwida saiyeg padha mbiyantu. Mulane aku optimistis FSJD bakal sukses diadani ing dhusun Nglaran,’’ kandhane optimis.

FSJD dirancang wiwit meh setaun kepungkur. Taun 2003 Cak Bonari dadi pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) ing Komite Sastra, nanging mundur sadurunge masa baktine entek taun 2008. Bola-bali dheweke nawakake gagasan ngadani Festival Sastra Etnik Jawa Timur minangka embrio program kang luwih gedhe yaiku Festival Sastra Etnik Nuswantara. ’’Nanging gagasanku mau tansah ditanggapi kanthi ucapan ‘Gagasan mau apik’, ning ora ana jebul kawusanane,’’ kandhane.

Mulane, ya ing masa jabatan Ketua PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) kang kapindho iki, dheweke atekad mujudake gagasan kang dianggep para mitrane lan para sesepuh PPSJS minangka utang kang kudu dibayar. Sanggan mau dadi krasa entheng krana gagasan mau disengkuyung para mitrane antarane Siti Aminah (pengarang, pekerja komunitas Yoyakarta), Sucipto Hadi Purnomo MHum (Ketua OPSJ lan Dosen Uness Semarang), Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan (Guru Besar Unesa Surabaya), Kadis Pertanian Kabupaten Trenggalek, lan isih akeh maneh. ’’Ana wae kanca-kanca sing gelem nyengkuyung. Pancen dhuwite ora ubru,’’ kandhane Bonari nalika bebarengan Pimred JB Kicuk Parta arep sowan Pakdhe Karwo, Gubernur Jatim.

MBANGUN DESA
Selawase iki, Cak Bonari ngumbara ing Surabaya. Dheweke tansah repot ambyur ing jagade pers. Taun 1996 nggabung JPNN (Jawa Pos News Network), taun 2001 – 2004 dadi Redaktur Tabloid X-file. Taun 2005 dadi editor JP-BOOKS, ngiras dadi kontributor tabloid HeLPer kanggo komunitas TKI- Hong Kong. Taun 2004, melu Temu Sastrawan Nusantara XII ing Singapura. Juli 2005 diundang komunitas TKI-Hongkong menehi workshop kilat carane nulis. Tahun 2006 nganti saprene, dipercaya dadi Pimred Majalah Peduli, kanggo warga TKI- Hongkong. Taun 2007 melu rombongan Pemda Jatim menyang Hongkong kanggo program Penyuluhan Mental/Spiritual kanggo TKI-Hongkong.

Ewo semono, obsesine ndandani desa saya ndedel, kalebu FSJD. Kenapa kok FSJ 2009 ditambahi D (desa) kang ateges ora mung fokus marang SJ (Sastra Jawa) wae? Manut Cak Bonari, PP No.57 tahun 2005 nyebutake manawa desa mono kalebu unik krana darbe wewenang ngatur lan ngurus kepentingan masyarakate wewaton asal-usul lan adat-istiadate kang diakoni lan dihurmati ing sistem Pemerintahan NKRI. Ewa semono desa tansah dilirwakake, uga dening para sastrawan Jawa. Murih kacang aja nganti lali karo lanjarane, para sastrawan Jawa perlu cancut mbangun masyarakat karang padesane lan saya cedhak karo masyarakat pembacane. ’’Kanggo njaga wutuhe NKRI, FSJD ora mung forum kangen-kangenan nanging bisa didadekake agenda taunan tumuju marang forum silaturahmi budaya kang luwih gedhe aran Festival Sastra Etnik Nusantara,’’ ngono tekade Cak Bonari.

Nanging sing luwih penting, seminar lan sarasehan desa ing Nglaran iki, kandhane Cak Bonari, kepriye amrih para pemuda desa bisa bali mongkog marang desane. Statistik nyebutake manawa 40% - 45% penduduk Indonesia kang 235 yuta iku dumadi saka etnis Jawa lan sawetara gedhe dedunung ana ing karang padesan lan olah tetanen minangka penggaotane.

Revolusi Hijau kandhane Cak Bonari, minangka conto kepriye mesin ekonomi-politik global nggiles pertanian ing Indonesia, kalebu Tanah Jawa. Minangka perangan paham modernisasi, Revolusi Hijau dudu mung sadrema program pertanian nanging program strategi lumawan tradisionalisme. “Akibat program iki, ewon varietas tanduran tradisional ing padesan dadi kegusur. Petani malih gumantung marang industri winih lan ora kuwawa ngontrol sarta ngasilake bibit dhewe. Bibit wis malih dadi sumber gantungan krana ing tangan lembaga penelitian lan perusahan transnasional bibit dianggep komoditi komersial.” [RM Yunani]

Jaya Baya No 49 Tahun 2009

Senin, 05 Oktober 2009

Sastra Jawa Tanpa Desa

Haris Firdaus

Ada sebuah paradoks yang saya rasakan saat menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 pada 4-5 Agustus lalu. Berhasrat mendekatkan sastra Jawa dengan masyarakat pedesaan, yang selama ini diasumsikan sebagai habitat tersuburnya, acara itu, bagi saya, justru membuktikan bahwa sastra Jawa belum bisa benar-benar dekat dengan orang-orang desa.

Dalam tulisan pengantar acara itu, panitia festival menyebutkan bahwa masyarakat pedesaan adalah pendukung utama eksistensi sastra Jawa. Merekalah yang selama ini membaca majalah berbahasa Jawa dan mengonsumsi pelbagai bentuk karya sastra berbahasa Jawa. Sayangnya, menurut panitia festival, hal itu tidak diimbangi oleh keberpihakan sastrawan terhadap masyarakat desa dan pelbagai variasi masalahnya. Peran dan posisi sastrawan Jawa selama ini tak pernah jelas dalam konteks persoalan masyarakat desa. Kebanyakan problem pedesaan justru lebih banyak direspon oleh lembaga swadaya masyarakat yang kebanyakan berasal dari kota, maupun mancanegara.

Menimbang persoalan itu, Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 kemudian diadakan sebagai upaya menjawab persoalan keberjarakan masyarakat desa dengan sastra Jawa. Ini adalah tujuan luhur nan mulia tentu saja. Dalam konteks wacana sastra Jawa, isu ini juga cukup jarang disinggung. Selama ini, isu seputar sastra Jawa hampir selalu berkisar pada tak adanya perhatian yang luas pada karya-karya sastra berbahasa Jawa yang diasumsikan punya faedah luas. Kadangkala, tanpa pernah membuktikan dengan konkret apa faedah yang diasumsikan ada itu, para pelaku sastra Jawa mengeluarkan kecaman terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas miskinnya apresiasi terhadap sastra Jawa. Itu soal klise dan untunglah festival ini secara konseptual tak ingin terjebak pada kelaziman tak berguna semacam itu.

Alih-alih mengecam pihak lain, semisal pemerintah, kaum pendidik, atau masyarakat, secara konseptual Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 sebenarnya ingin mengajukan gugatan pada para sastrawan itu sendiri. Di sini, ada semacam pembalikan sudut pandang yang cukup ekstrem. Hipotesis yang diajukan adalah: penyebab miskinnya apresiasi terhadap sastra Jawa itu tidak berasal dari pihak-pihak di luar pelaku sastra Jawa, tapi justru dari internal sastrawan itu sendiri. Ketakjelasan peran para sastrawan Jawa dalam konstelasi persoalan masyarakat pedesaan adalah faktor yang dituding sebagai biang keladi sepinya tanggapan publik atas karya-karya sastra Jawa.

Secara konseptual, festival itu kemudian mempunyai hasrat mencairkan jarak antara para penulis sastra Jawa, juga produk-produk yang mereka hasilkan, dengan masyarakat pedesaan. Ketiadaan komunikasi yang intens barangkali merupakan penyebab ketakjelasan posisi sastrawan dalam gelimang persoalan desa. Tidak adanya dialog itulah yang diasumsikan menjadi titik awal tak tumbuhnya perhatian para sastrawan terhadap desa—dalam proses yang lebih kemudian, hal sebaliknya juga lalu menyusul. Jadi, kedekatan sastrawan dengan desa adalah ihwal yang berusaha ditumbuhkan melalui festival ini.

[]

Saya kira, pelbagai pemikiran itulah yang menyebabkan festival mengambil tempat di sebuah dusun pelosok bernama Nglaran yang terletak di salah satu sudut Kota Trenggalek, Jawa Timur. Dari sudut geografis, lokasi acara itu, meminjam bahasa gaul anak muda sekarang, memang “desa banget”. Berjarak lebih 40 km dari pusat kota Trenggalek, Nglaran adalah sebuah kampung yang dikelilingi perbukitan, dengan jalan meliuk-liuk yang mirip jalur roaller coaster. Di dusun ini, hanya satu operator seluler yang bisa mengantarkan signal handphone sehingga kebanyakan peserta festival kelimpungan karena komunikasi mereka dengan dunia luar seolah tiba-tiba terenggut.

Dengan mengambil lokasi yang “desa banget”, panitia festival mungkin berharap para sastrawan akan kembali menghirup suasana pedesaan, menyerap pelbagai soal yang terjadi di sana, dan menjalin komunikasi yang intens dengan masyarakat setempat. Tapi pertanyaannya, bisakah semua itu terjadi hanya dengan mencairkan jarak geografis? Bisakah kedekatan lokasi menjadi jaminan akan tumbuhnya kesadaran baru mengenai problem masyarakat desa? Jawabannya tentu saja: tidak.

Dalam konteks festival kemarin, pencairan jarak geografi menjadi tidak berarti karena dua hal. Pertama, tak tersedianya waktu yang memadai bagi proses sosialisasi. Kedua, tidak adanya forum bersama yang bisa menjadi sarana dialog. Dua faktor inilah yang menyebabkan festival kemarin jauh panggang dari api. Waktu penyelenggaraan yang hanya dua hari, juga tak adanya forum dialog yang mempertemukan masyarakat dengan para sastrawan, menyebabkan tidak adanya komunikasi yang intens di antara mereka.

Sebatas komunikasi antara para sastrawan dengan masyarakat sih memang ada, tapi komunikasi intens saya kira tidak terjadi. Kebanyakan penduduk desa, saya lihat, lebih diposisikan sebagai pembantu teknis acara, semisal penyedia penginapan, tukang masak makanan, atau petugas antar-jemput peserta. Tidak lebih dari itu. Tak ada sebuah sesi yang mencoba membuat dua pihak itu bisa saling menjalin dialog yang baik. Memang pada malam hari masyarakat dan para peserta festival berbaur tatkala menonton seni pertunjukan, seperti sajian pantomim dan pentas kentrung modern. Tapi pembauran itu sama sekali tak menghasilkan apa-apa sebab keberadaan mereka secara bersama-sama pada acara malam itu hanya sebagai penonton yang pasif dan tak bisa berbuat banyak.

[]

Yang lebih saya sayangkan adalah ketidakefektifan acara Sarasehan Sastra Jawa dalam membahas persoalan yang telah ditetapkan panitia. Dalam sesi sarasehan pertama yang menghadirkan sastrawan Beni Setia dan penyair Zawai Imron sebagai pembicara, persoalan itu hanya separo dibahas.

Menurut saya, hanya Beni Setia yang secara konsisten dan serius mencoba membahas pencairan hubungan antara sastra Jawa dengan masyarakat desa. Pokok pembicaraan Beni berpusat pada strategi “memasyarakakan sastra Jawa” melalui seni pertunjukan. Bagi Beni, sastra Jawa tradisional di masa lampau selalu hadir dalam seni pertunjukan, baik semisal pentas wayang atau kethoprak. Dalam bentuk demikianlah sastra Jawa hadir sebagai sesuatu yang dekat dengan masyarakat Jawa tradisional di pedesaan.

Sastra Jawa yang sekarang hadir dalam bentuk tertulis, berupa cerita cerkak, geguritan, ataupun novel berbahasa Jawa, merupakan produk yang tak bisa cepat akrab dengan masyarakat pedesaan. Masih belum mengakarnya budaya baca, juga ketaktersediaan bacaan yang mudah diakses, plus mahalnya harga buku dalam ukuran masyarakat desa, membuat bentuk sastra Jawa yang tertulis menjauh dari masyarakat desa. Sebenarnya, kehadiran bentuk sastra Jawa tertulis yang lumrah dijumpai sekarang merupakan hal yang sah dan wajar dalam perkembangan sastra Jawa. Meski bentuk-bentuk teks tertulis itu kini banyak dipengaruhi sastra modern barat, kehadiran mereka adalah bukti bahwa kebudayaan Jawa juga memiliki sifat dinamis dan adaptif.

Sayangnya, dalam konteks masyarakat pedesaan Jawa, bacaan tertulis itu belum banyak diakses sehingga mau tak mau produk-produk itu menjadi terasing dari masyarakatnya—nasib sastra Jawa tertulis ini, nyatanya, mirip dengan sastra modern Indonesia yang memang selalu terpencil dari masyarakat secara umum. Keterpencilan inilah yang menurut Beni Setia bisa diatasi dengan memperkenalkan sastra melalui seni pertunjukan. Dalam seni pertunjukan tradisional Jawa, penonton dari lapisan masyarakat manapun bisa dan sah hadir sebagai penikmat tanpa harus memiliki batas referensial tertentu. Oleh karena itulah, ada hubungan yang intim antara seni pertunjukan dengan masyarakat desa.

Gagasan Beni itu barangkali bukan hal baru, tapi sebenarnya tetap merupakan gugus ide yang menarik. Sayangnya, forum sarasehan pertama tak cukup mampu mengeksplorasinya dengan telaten sehingga penajaman-penajaman atas soal itu tidak terjadi.

Sementara itu, pada saresehan kedua, kondisinya justru makin susah diharapkan. Ketiadaan pembicara utama dalam forum itu menyebabkan pokok pembicaraan bisa berganti dengan sangat cepat dan bisa sangat melenceng jauhnya. Beberapa orang yang didaulat bicara tentang topik-topik yang tak semuanya nyambung, kebanyakan hanya berisi kisah pengalaman pribadi, atau curhat masa lalu yang sama sekali tak ada hubungannya dengan niatan konseptual panitia festival. Seingat saya, hanya Siti Aminah, penulis novel berbahasa Jawa berjudul Singkar, yang pokok pembicaraanya berhubungan, atau malah sama persis, dengan konsep Festival Sastra Jawa dan Desa 2009.

Siti Aminah berbicara mengenai ketakpedulian para pengarang Jawa terhadap kondisi zaman yang berubah, terutama persoalan-persoalan di desa-desa Jawa yang makin kompleks. Menyebut sejumlah masalah, seperti banyaknya kaum muda desa yang pindah ke kota, pelbagai kebijakan pemerintah yang tak memihak orang-orang desa, dan gempuran teknologi yang tak selalu berakibat baik, Aminah bagi saya merupakan pembicara yang mampu menyegarkan suasana. Ia barangkali merupakan potret sastrawan Jawa masa kini yang ideal: masih muda, modis dandanannya, progresif pemikirannya, dan berani. Sayang seribu sayang, pemikiran-pemikirannya juga tak menemui bandingan yang cukup berarti dari para peserta lain. Jadi, apa daya, semua gugatan Aminah kemudian redam dengan sendirinya.

[]

Semua analisis yang saya hadirkan bermuara pada satu kesimpulan: bahwa Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 ternyata belum mampu memenuhi niatan konseptualnya yang luhur. Harus diakui bahwa festival itu sebenarnya diadakan dengan tujuan dan konsep yang bagus dan jauh dari klise. Sayangnya, penyelenggaraan festival itu menurut saya tak berhasil memenuhi kebutuhan awal penyelenggaraannya.

Tumbuhnya kedekatan antara sastra Jawa dengan masyarakat pedesaan, yang diharapkan bisa terjadi melalui penyelenggaraan festival, nyatanya hanya merupakan retorika yang gagal digubah jadi kenyataan. Tentu saja, kedekatan semacam itu memang bukan perkara yang gampang diwujudkan. Namun, seandainya festival itu tak mampu secara sempurna menumbuhkan kedekatan sastra Jawa dengan masyarakat karena pelbagai keterbatasan, paling tidak festival itu seharusnya berkonsentrasi sepenuhnya pada eksplorasi gagasan tentang bagaimana menumbuhkan keintiman tersebut.

Eksplorasi ide yang terfokus itulah yang tak terjadi dalam festival kemarin sehingga saya kuatir bahwa sastra Jawa yang sedang kita hidupi sekarang ternyata merupakan sastra Jawa tanpa desa.

Sukoharjo, 9 Agustus 2009

Haris Firdaus
(Tulisan ini dimuat di Buletin Sastra Littera Edisi September-Oktober 2009)

Dikopipaste dari s i n i