Rabu, 31 Desember 2008

Berawal dari Air, lalu Segalanya Mengalir


Meski bertepatan dengan libur akhir tahun, kedatangan lima pemuda Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek tersebut bukanlah untuk berwisata. Dengan mengendai sepeda motor dari dusunnya, mereka meniatkan diri untuk belajar berbagai hal di Yogyakarta.

Tentu perjalanan ini tidak terjadi begitu saja. Serangkaian proses telah mereka jalani selama berbulan-bulan. Awalnya, para pemuda dusun tersebut berkumpul untuk membicarakan permasalahan anak muda. Pembicaraan pun bergulir dari masalah anak muda ke masalah warga Nglaran umumnya. Semua bersepakat bahwa keterbatasan air adalah masalah bersama, baik orang tua maupun anak muda. [lanjutkan?]

Senin, 29 Desember 2008

Nglaran Kita Boleh Dipasang di Mana-mana


[Ini catatan Redaksi Nglaran Kita edisi cetak Nomor 2]

Anda sedang membaca koran gratis, koran tempel, atau sering disebut koran dinding, dan yang sedang And abaca ini adalah koran dinding Nglaran Kita, karya anak-anak bangsa (Indonesia) yang ndilalah tinggal di Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timut.



Ini adalah Nglaran Kita edisi kedua. Untuk sementara, baru bisa dipasang di 3 papan/tempat. Jika ada yang tertarik untuk berpartisipasi, memasang Nglaran Kita di sekitar tempat tinggalnya, di mana saja di Dusun Nglaran ini, kami tentu akan bersenang hati. Syaratnya gampang, sediakan papan, boleh triplek, sesek, atau apa saja, dan pilih lokasi yang membuat Nglaran Kita ini aman dari guyuran hujan.

Kalau mau memasang di luar Dusun Nglaran bagaimana? Tentu boleh juga. Tetapi, idealnya, tulisan-tulisan atau berita atau reportase yang sifatnya lokal (lingkup dusun) dibuat sendiri di dusun yang bersangkutan, melibatkan tenaga-tenaga muda setempat yang berkeinginan kuat untuk maju. Susah memulai? Kami, Tim Nglaran Kita siap diajak berbagi pengalaman, walau usia kami pun belum seumur jagung.

REDAKSI

Pasangan Kasmin-Pairah: 36 Tahun Membuat Tempe Debog

Kasmin [44] beserta istrinya, Pairah [48], menekuni usaha pembuatan tempe debog [tempe berbahan dasar kedelai yang dikemas dengan batang pisang [debog]. Mengaku tak punya ketrampilan lain, Pairah menjalani bisnis pembuatan tempe debog ini secara turun temurun, walau penghasilannya tergolong sangat kecil. Pairah mengaku menekuni usaha pembuatan tempe [awalnya membantu orangtua] mulai umur 12 tahun.

’’Saya sejak umur 12 tahun telah berjualan tempe. Tapi, saat itu tempe gabus [berbahan biji lamtara]. Jadi, sampai sekarang pekerjaan membuat tempe ini sudah mendarah-daging,’’ tutur perempuan warga Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek [Jawa Timur] ini.

Sebetulnya proses pembuatan tempe debog tidak berbeda dengan tempe-tempe lainnya. Awalnya kedelai dibersihkan, lalu direbus sampai setengah matang [3 – 4 jam]. Setelah itu diangkat dan didinginkan. Selanjutnya di diiles [diinjak-injak] sambil disiram air untuk memisahkan biji kedelai dari kulitnya. Selanjutnya disaring dan dibilas sampai bersih, dan ditiriskan kemudian direbus lagi selama sekitar 1 jam.

Lalu kembali ditiriskan sampai dingin, untuk kemudian diberi ragi. Proses selanjutnya adalah pembuatan pembungkus dari batang pisang. Batang pisang itu sendiri dipilih dari jenis pisang kawak, kluthuk, raja, yang irisan batangnya tipis dan tidak terlalu berair. Batang tersebut dikelupas dan dipotong-potong dengan ukuran 50 cm, lebar 12 cm, kemudian dilipat jadi 2. Hingga ukurannya 25 cm. Selanjutnya diberi tali tutus [dari bambu]. Dari hasil lipatan tersebut akan terbentuk rongga tempat kedelai yang sudah diberi ragi. Tutup lobangnya juga dibuat dari debog yang dibentuk bulat-bulat sesuai ukuran mulut rongganya. Setelah jadi, kedelai yang sudah diberi ragi dimasukkan, dan mulut ronga dititip rapat.

Setelah semua selesai, hasilnya ditumpuk dan dibungkus dengan plastik untuk membantu proses peragian selama semalam. Pagi harinya tempe sudah jadi, dan siap dijual ke pasar.

Penjualan

Dalam 5 hari, Kasmin dan istrinya setiap 2 kali memroduksi tempe debog. Setiap produksi rata-rata menghabiskan 35 kg kedelai, diolah jadi 400 debog tempe. Pemasarannya cukup dilakukan di pasar desa saja dan dilakukan sendiri oleh Kasmin dan istrinya. Harga jual per debog-nya Rp 500. Perolehan dari hasil penjualan 400 biji x Rp 500 = Rp 200.000. Bila dipotong bahan baku kedelai yang saat ini Rp 4.200/kg dan ragi Rp 5.000, maka pendapatannya = Rp 48.000. Itu belum dikurangi ongkos [tenaga] dan kayu bakar. Penghasilan yang tergolong sangat kecil.

’’Sebetulnya kalau dihitung-hitung, hasilnya sangat minim. Namun, apalagi ketrampilan yang saya miliki selain ini?’’ kata Pairah.

Untuk menunjang penghasilannya Kasmin berusaha bercocok tanam dan memelihara beberapa ekor kambing. Itulah sumber penghasilan lain yang sewaktu-waktu ada keperluan mendadak bisa diandalkan.

Kendala utama yang dialami selama ini adalah modal. Pasalnya, selama memroduksi tempe bahan baku dipasok oleh pedagang kedelai dan pembayarannya setiap habis berjualan. Jadi Kasmin hanya memperoleh sisanya saja. Belum lagi bila musim ikan laut, maka penjualannya seret. Dan kadang tidak habis. Smentara setoran tetap sesuai dengan kedelai yang diproses. [PUR]

Guwa Gong


Critane: Astri Sugiartikasari


Liburan sekolah wis teka, dina Rebo iki mau aku mlebu terakhir. Aku lan kanca-kancaku bebarengan mulih. Kelas VII A arep tamasya.
’’Nis, engko rundhingan ning endi?’’ pitakone Sandy.
’’Ya ning sekolahan lho Sin,’’ semaure Danis.



Susi mlayu-mlayu mburu Kiki, paling-paling arep takok mengko rundhingane jam pira. Sidane Susi ora candhak, banjur Susi marani Tomy.
’’Tom, mengko rundhingane jam pira?’’ pitakone Susi.
’’Jam setengah telu,’’ wangsulane Tomy.
’’Suwun, Tom,’’ wangsulane Susi.
Wayahe wis setengah telu, bocah-bocah wis padha budhal. Nanging aku durung enek sing nyeluki.
’’As, ayo budhal selak kasep lho!’’ Anggit ajak-ajak.
’’O, iya, ayo! wangsulane Astri.
Gerbang wis ditutup. Aku lan Anggit kasep, banjur aku ndredheg wedi lek didukani Bu Budi.
’’Assalamualaikum..’’ Astri lan Anggit uluk salam.
’’Waallaikumsalam,’’ semaure Bu Budi lan bocah-bocah.
Aku karo Anggit dikon nyang ngarep banjur aku ngewel.
’’Nyangapa kasep?’’ pandangune Bu Budi.
’’Astri lan anggit ora gelem nyauri, marahi wis kadhung wedi. Sekarone banjur lungguh. Bu Budi sujoke durung ngrundhingke.
’’Bu, angsale tamasya dhateng Lamongan nggih Bu?’’ pitakone Tomy.
’’Lho,Tom kadohen lho. Angur nyang Pacitan wae sing biayane tithik,’’ cluluke Danis.
Bu Budi isik mikirne nyandi ale Tamasya marahi yen kadohen biayane akeh.
’’Bocah-bocah, tamasyane nyang Pacitan Guwa Gong wae ya?’’ kandhane Bu Budi
’’Setuju!!!’’ wangsulane bocah-bocah.
Bocah-bocah wis padha mulih menyang omahe dhewe-dhewe. Gawane rekreasi apa wae, bocah-bocah akeh sing nambak dhewe-dhewe.
’’Nis, apa sing kokgawa?’’ takone Tika.
’’Embuh, paling aku nggawa camilan, roti. Ujare Danis.
Bocah-bocah padha ora kanten nunggu dina sing diarep-arep.
Dina sing diarep-arep wis teka. Aku lan kanca-kancaku mlumpuk ning sekolahan budal rekreasi ning ndalan padha nglemik karepe dhewe.
’’Cah, sampeyan kuwi thik ngremil wae ta? Apa ora lidhas ta ilatmu?’’ aloke Bu Budi.
’’Mboten, Bu, niki lho bu sanghai,’’ ujare Freinda.
Jam 09.00 wis tekan panggonan sing dituju. Swasana ning papan rekreasi apik nyenengake. Sakwise mlebu aku wedi banget lek rubuh.
’’Nis aku wedi,’’ ujare Nita.
’’Ora-ora, ora apa-apa kok,’’ ujare Danis.
Swasana ning Guwa Gong sejuk lan penak.[]

Bu Amin

Siti Aminah (Bu Amin) sudah 2 kali mengunjungi dusun Nglaran (8 – 10 Oktober 2009 dan 30 Okt – 1 November 2009). Untuk apa? Untuk mengajak kita mengenali potensi dan kelemahan kita, sebagai modal untuk bangkit bersama, membangun diri dan lingkungan kita. Siapa yang membayarnya? Ia seorang pekerja sosial, seperti halnya suaminya, Moh. Zain, yang senang mengunjungi desa-desa terpencil, desa-desa di lereng gunung, lebih-lebih gunung berapi, sebagai bagian dari ’’ibadah sosial’’ dan pembelajaran diri mereka. Begitu katanya. Bahkan, Siti Aminah bersedia untuk suatu saat nanti mengajak teman yang punya perhatian di bidang sosial kemasyarakatan yang sama, yang menguasai bidang ilmu/ketrampilan yang kita perlukan untuk bertukar pengalaman dengan pemuda-pemudi dan warga kampung kita.

Ketika pertama kali menjejakkan kaki di Nglaran, ia langsung berkomentar bahwa kondisi tanah di sini tak jauh berbeda dengan beberpa desa di Gunung Kidul yang pernah dikunjunginya. ’’Ini model tanah perbukitan kapur, banyak batu dan banyak rongga bawah tanah yang potensial menyimpan air, walau di bagian permukaannya akan menjadi teralu kering di musim kemarau,’’ komentarnya.

Ibu seorang anak ini mengaku pertama kali tertarik dengan Desa Cakul dari penuturan temannnya sesama pengarang sastra Jawa yang berasal dari kampung kita: Bonari.

Untuk mengenal lebih jauh siapa gerangan Bu Amin yang dengan sukarela menjadi fasilitator untuk mengupayakan perubahan Dusun Nglaran kea rah yang lebih baik ini, langsung saja silakan kunjungi web-blog-nya. [t]

Menjadi Pengusaha Mebel di Kampung


Antara Tradisi Sambatan dan Cari Untung



Muntoha dan Sukirno, dua kakak beradik warga Rt 29 Rw 15 Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek ini semula tak pernah bercita-cita menjadi tukang mebel.
Ketrampilan membuat mebel yang dimilikinya pun diperoleh karena mereka sering ikut sambatan (bekerja hanya dengan diupah makan, Red) di tetangga-tetangganya. Lalu mereka mulai bisa membuat pintu, meja, kursi, almari dan lain-lain untuk kebutuhan rumah sendiri.



Setelah masyarakat di lingkungannya banyak yang tahu bahwa hasil garapan mereka cukup bagus, seorang-dua orang tetangga lalu minta tolong untuk membuatkan mebel. Ada yang bahannya diantarkan ada juga yang menyuruh mengerjakan di rumah yang membutuhkan.

Pekerjaan ini sudah dijalani hampir 8 tahun. Awalnya, peralatan yang digunakan cukup seadanya. Namun, seiring dengan semakin meningkatnya order maka dibelilah peralatan yang menggunakan listrik, antara lain gergaji, dan ketam.

Pekerjaan yang bisa dilayani adalah pembuatan gawang pintu beserta daun pintunya, meja-kursi, almari, jendela, dipan dan lain-lain.

’’Tergantung dari pemesannya. Jenis apa saja asal ada gambar atau contoh serta ukurannya kalau saya bisa pasti saya kerjakan, yang penting bahannya di antar ke sini,’’ ujar Sukirno.

’’Pesanan biasanya berganti-ganti, kalau pas banyak orang yang membuat rumah kebanyakan pesanannya adalah membuat kerangka pintu dan jendela serta daunnya, selain itu ada saja orang menyuruh membuatkan meja atau almari,’’ tambahnya.

Pada bulan Puasa yang lalu Muntoha mengaku dapat order 5 buah dipan, 15 jendela, dan 8 buah daun pintu.

’’Pesanan untuk bulan ini semuan bahannya sudah diantarkan dan mereka rata-rata minta diselesaikan sebelum hari raya, makanya mau-tidak mau harus saya lembur,’’ ujar Sukirno.

Biaya atau ongkos mengerjakan masing-masing pesanan tidak sama tergantung dari jenisnya. Menurut penuturannya ia hanya mengambil ongkos kerjanya saja sedangkan bahan-bahan semua dari pemesan.

Ongkos pembuatan Almari ukuran kecil 120 x 180 Rp 250.000 untuk yang ukuran 16 x 180 ditarik Rp 300.000, daun pintu Rp 150.000, dipan Rp 150.000, jendela Rp 50.000/ daun. Gawang Rp 20.000/plong.
Semua itu hanya ongkosnya saja sampai selesai, sedangkan pembelian bahan-bahan untuk finishing yang beli adalah pemesannya.

Sampai saat ini Muntoha dan Sukirno ini hanya menyediakan jasa saja. Mereka belum bisa memenuhi pesanan barang jadi, karena belum bisa menyiapkan bahan baku (kayu)-nya.

’’Kendala utama bila ada orang yang ingin membeli mebel adalah saya tidak punya kayunya (bahannya), makanya saya hanya sebatas membuatkan,’’ tutur Muntoha.

Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan 1 buah almari bila dikerjakan 2 orang adalah 5 hari, daun pintu 2 hari kerangka pintu rata-rata 2 buah/hari, sedangkan jenis lain rata-rata 2 hari.

Bila tidak ada orang yang memmbutuhkan jasanya pekerjaan lain dari dua kakak beradik ini adalah bercocok tanam selain memelihara beberapa ekor kambing. Dari hasil usahanya ini menurut Sukirno cukup bisa membantu ekonomi keluarganya.

’’Bila sedang sepi terkadang saya tinggal merantau. Biasanya ke Kalimantan untuk jangka 3 sampai 5 bulan untuk bekerja di bangunan atau di perkebunan sawit, tapi saya lakukan bergantian dengan kakak saya. Soalnya untuk njagani (berjaga) kalau ada orang memerlukan, salah seorang dari kami ada yang bisa melayani,’’ tutur Muntoha.

Kini, biarpun kakak-beradik ini telah menjalankan bisnis, bila dibutuhkan oleh tetangga-tetangganya untuk membantu pekerjaan yang ada kaitannya dengan urusan pertukangan ia tidak akan menolak. Masalahnya, tradisi sambatan di daerahnya masih tetap terjaga. [PUR]

Sumber Air Gondang Rayut


DI LERENG Gunung Bogang (sisi utara) terdapat sebuah sumber air yang (terutama) pada musim kemarau diimpikan sebagian besar warga Dusun Nglaran (RT 26, 27, 28, 28, dan 29). Karena jaraknya yang cukup jauh dari pemukiman warga, biaya jadi kendala untuk menarik air dari Sumber Gondang Rayut tersebut. Warga Dusun Nglaran selalu berharap agar Pemerintah menurunkan dana khusus untuk membawa air dari Gondang Rayut yang berjarak sekitar 3 km dari pemukiman.

Di ujung musim kemarau tahun ini, persisnya Jumat 31 Oktober 2009 kru Nglaran Kita beramai-ramai datang dan mengukur debit sumber Gndang Rayut, dan ketemulah angka 5 liter/menit. Maka, sumber tersebut dalam sehari menghasilkan 7.200 liter. Itungan kasarnya, jika air itu ditarik ke wilayah pemukiman, sekitar 480 keluarga di 5 RT akan mendapatkan bagian masing-masing 15 liter per hari. Angka yang cukup kecil, tetapi setidaknya itu akan menghapus dahaga di puncak musim kemarau.[]