Jumat, 21 Oktober 2011

Momentum untuk Seni Tradidional [5]


Usulan

Adalah hal yang bagus, Provinsi Jawa Timur telah menjadikan pemberian penghargaan bagi seniman terpilih sebagai tradisi tahunan, dan memberikan asuransi kesehatan kepada para senimannya. Akan lebih bagus lagi jika hal serupa dilaksanakan pula di tingkat kabupaten/kota.
Politik anggaran kesenian seharusnya dibuat lebih pro-produksi. Saya tidak memegang bukti seperti apa postur anggaran kesenian di lembaga pemerintah. Tetapi, sebagai pelaku atau orang yang bergiat di kesenian, sangat terasa bagi saya bahwa biaya promosi justru jauh lebih besar daripada (subsidi) biaya produksi-nya.

Sering terdengar seruan agar yang namanya seniman itu harus kreatif. Dengan kreativitas, krisis bisa menjadi peluang. Tetapi, kapan kita memberikan kesempatan untuk menikmati fasilitas pengembangan diri semacam studi banding ke luar negri kepada para pelaku sejati kesenian tradisional ini, dan bukan hanya kepada orang-orang yang mewakili mereka?

Jika kita menyadari semua itu dan berani mengambil langkah yang baru, sekarang ini adalah momentum yang bagus untuk kebangkitan kesenian tradisional kita.

Demikianlah beberapa catatan untuk bahan diskusi kita, yang saya buat dengan agak tergesa-gesa ini.* [selesai]



*)dibuat sebagai bahan diskusi “Eksistensi Media Tradisional di Tengah Globalisasi” Dinas Infokom dengan Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-Metra) Jatim, Rabu, 19 Oktober 2011.

Bonari Nabonenar
Lahir di Trenggalek, 1964. Menamatkan program S-1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya (1987). Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, pernah menjadi pengurus harian (Komite Sastra Dewan kesenian Jawa Timur), pernah bermain ludruk, pernah bermain jaranan. Kini tinggal di Malang, menjadi kontributor Majalah Peduli (diterbitkan/diedarkan bagi komunitas tenaga kerja asal Indonesia di Hong Kong).

Momentum untuk Seni Tradidional [4]

Potensi

Kita masih beruntung, di tengah-tengah masyarakat masih ada individu-individu maupun kelompok-kelompok seniman yang sangat militan, dan dengan segenap kemampuan mereka menjaga tradisi warisan leluhur. Mereka tidak berpikir apakah kesenian bisa menghidupi mereka atau tidak, karena mereka memang tidak mencari nafkah dari kesenimanannya. Laku kesenian bagi orang-orang seperti ini, adalah seperti olahraga yang baik bagi kesehatan, yang melengkapi hidup mereka. Dan lebih dari itu, merupakan salah satu jalan untuk menjadi orang yang bahagia di dalam hidupnya
Di kampung saya yang jauh dari ibukota kabupaten (Trenggalek) itu misalnya, ada kelompok-kelompok kesenian trebangan yang hanya mendapatkan honor tak sampai sejuta rupiah (dibagi belasan orang) untuk tampil semalam suntuk. Tetapi, mereka dengan suka-cita hangrungkebi keseniannya. Sehari-harinya, mereka bekerja sebagai petani. Begitu dari dulu. Hingga sekarang.

Pemerintah kota Surakarta juga telah menempuh cara yang baik untuk menjaga keberadaan Wayang Orang Sriwedari. Para pemain wayang orang tersebut direkrut sebagai pegawai negri. Dan karena menjadi pegawai negri adalah cita-cita banyak orang di masyarakat, lalu tumbuh kesadaran di masyarakat bahwa jika memiliki bakat dan ketrampilan bermain wayang (orang) masa depannya bukan hanya jadi ’pengamen’ melainkan boleh pula berangan-angan menjadi pegawai negri.

Di Surabaya ada kebijakan serupa terhadap pemain ludruk, tetapi tampaknya tidak konsisten seperti di Surakarta. Bahkan, Dinas Pariwisata Kota Surabaya pun tidak memiliki agenda Pementasan Ludruk kecuali, barangkali, hanya sekali atau beberapa kali dalam setahun. Sedangkan Wayang Orang Sriwedari di Surakarta (Taman Sriwedari) pentas hampir tiap malam. [bersambung]

Momentum untuk Seni Tradidional [3]

Kesenian Tradisional

Berbagai jenis kesenian tradisional kita keadaannya semakin menyedihkan. Di Surabaya, ludruk sudah hampir tamat. Untung masih cukup berjaya di Mojokerto, Jombang, dan sekitarnya. Ketoprak juga nyaris, kalau bukannya sudah: tamat. Dan sekian banyak jenis kesenian tradisional, seperti: kentrung, terbang jedhor, kuda lumping, reog, dongkrek, dan sebagainya, seolah-olah sudah tinggal serpih atau cuilan-cuilan fosil di dalam museum tanpa perawatan yang memadai. Tragisnya lagi, museum itu bernama: masyarakat pendukungnya sendiri!
Lalu, sebagian seniman (tradisional) mengatasi ketersisihan itu dengan melakukan ’inovasi’ membuat lebih banyak orang melirik dan menyukainya, tetapi tak jarang pula membuat pihak lain menyumpahinya sebagai tak lebih hanya merendahkan kualitas kesenian dan kesenimanannya hanya demi uang, hanya –meminjam istilah yang marak di kalangan masyarakat kita-- waton payu (asal laku). Jika kita saksikan di beberapa kasus, tudingan ’’waton payu’’ itu memang sangat beralasan.

Munculnya kelompok-kelompok jaranan campursari (jaranan atau seni kuda lumping yang dikemas dengan ramuan lagu-lagu campursari) adalah bukti betapa ruh ’tradisional’: sakralitas, kewibawaan, hilang dari jaranan. Kegelisahan semacam itu bahkan terjadi pula di kalangan pecinta seni pedhalangan (wayang kulit) ketika untuk merebut perhatian penonton banyak dalang melakukan ’terobosan’ yang kebablas sampai pada wilayah sensualitas yang vulgar, atau terlalu banyak menampilkan pelawak yang mengeskploitasi keseronokan atau ’kelemahan fisik’ untuk bahan lawakan-lawakan yang dangkal. Pada tahap ini, tontonan yang seharusnya sekaligus menjadi tuntunan nyaris hilang.

Dalam situasi seperti itu, adalah sangat tidak adil jika kita hanya menuding senimannya. Dan itu hanya aan menambah perlakuan tidak adil terhadap para seniman tradisional itu. Mereka, para seniman tradisional di desa-desa, di kota-kota kecil, sering dikerahkan untuk bekerjabakti untuk memeriahkan hari-hari besar nasional seperti Agustusan. Tetapi, giliran kabupaten/kota atau provinsi berulangtahun atau punya hajat dengan anggaran besar, yang ditampilkan adalah seniman-seniman paling ngetop dengan honor selangit, dari desa lain, kabupaten/kota lain, dari provinsi lain.

Pemerintah melalui kementerian/dinas terkait sering menyelenggarakan kegiatan untuk ’mengangkat’ kesenian tradisional, misalnya dalam format festival, dengan membawa mereka ke etalase-etalase yang sepi. Menyelenggarakan festival Ludruk di tengah Kota Surabaya, adalah tindakan yang kurang tepat, mengingat kesenian ini sekarang tumbuh di pinggiran kota, terutama di wilayah Mojokerto dan Jombang.

Akibatnya, ketika ludruk dikemas sebagai tontonan indoor, di dalam gedung (Cak Durasim, misalnya) ia sering sepi penonton. Lalu para pengamat berteriak, ’’Ludruk sudah tidak disukai lagi!’’ Dan ketika teriakan itu dimuat di koran dan ditayangkan televisi, serta-merta menjelma mantra kutukan, menyugesti masyarakat bahwa Ludruk tidak populer lagi, dan lebih-lebih: tidak bergengsi.

Pada tataran konsep pemberdayaan, sering juga terjadi ’’salah kaprah’’ ketika seniman (bukan hanya seniman tradisional) mengajukan permontaan bantuan kepada Bupati atau Walikota, untuk berproduksi atau menghadiri kegiatan-kegiatan inspiratif di kota lain, pulau lain, atau bahkan negara lain, dana bantuan lalu dicairkan melalui Biro Kesra.

Kesannya kemudian, seniman itu seperti dipandang sebagai fakir miskin atau korban bencana alam. Boleh saja hal seperti ini tidak terlalu dipersoalkan. Tetapi, harus diingat bahwa suka atau tidak suka, itulah gambaran ’ketidakjelasan’ yang diberikan kepada masyarakat oleh Pemerintah melalui birokrasinya.

Penggilasan terhadap kesenian tradisional juga nyata-nyata didukung oleh Regulasi yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan memberikan hadiah "kejutan" hingga ratusan juta, bahkan milyaran rupiah kepada orang-orang yang tidak (perlu) berprestasi, cukup dengan hanya menjadi konsumen yang setia. Karena itu kita sering melihat seniman tradisional tetap miskin hingga akhir hayat, sementara di sekitar mereka banyak orang mendadak kaya hanya karena memenangkan lomba egolan yang diseponsori perusahaan besar. [bersambung]

Momentum untuk Seni Tradidional [2]

Titik Balik Kesadaran

Kabar gembiranya adalah, sekarang ini menguat tanda-tanda kesadaran untuk semakin menghargai hal-hal yang bersifat tradisional. Di bidang pertanian, semakin tumbuh kesadaran bahwa pertanian organik adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup yang baik. Mengbonsumsi beras organik, misalnya, adalah lebih sehat dibandingkan dengan mengonsumsi beras nonorganik. Dengan kesadaran sedemikian, pasar pun terbangun, sehingga hasil panen pertanian organik dihargai jauh lebih mahal dibandingkan dengan yang nonorganik.
Lihatlah pula di kota-kota besar bermunculan rumah-rumah makan dengan bangunan dan setting tradisional, dengan menu-menu tradisional. Bahkan, kita bisa menyaksikan yang terang-terangan memakai nama ’’Dapur Desa’’. Itu nama yang langsung berasosiasi dengan tradisionalisme. Walau masih pada taraf ’’kembali tumbuh’’ itu sudah merupakan kabar baik.

Komuitas-komunitas ’pembela tradisionalisme’ pun tumbuh di mana-mana, dari yang bernama Paguyuban Macapatan hingga ’’Kelompok Studi’’. Dari yang berupa organisasi tanpa bentuk hingga yang mengukuhkan diri sebagai lembaga resmi (nonpemerintah). Dari yang berbasis pertemuan langsung di kampung-kampung hingga yang berbasis jejaring sosial di ’’dunia maya’’. Sayangnya, sebagian besar di antaranya tampak sebagai hanya bertahan, sekadar mengabarkan keberadaan dan bertekad ’’nguri-uri’’ kebudayaan tradisional, dan belum sampai pada tahap ’melawan’ apa yang di sini kita sebut sebagai gempuran Globalisasi itu. Mereka adalah potensi yang sangat bagus sebagai semacam barisan ’’Pertahanan Rakyat Semesta’’ untuk membela kebudayaan tradisional kita.

Sayangnya, lebih banyak di antara komunitas-komunitas itu adalah komunitas-komunitas ’’klangenan.’’ Ibarat orang memelihara burung, tidak tampak upaya sungguh-sungguh untuk membudidayakan, menangkarkan, melainkan cukup puas hanya dengan mendengar kicauan (seekor) burung kesayangan di sangkar yang sempit itu. Padahal, Globalisasi menggilas kita dengan hasil produksi. Seharusnya kita melawannya juga dengan ’berproduksi.’ [bersambung]

Momentum untuk Seni Tradidional [1]

Pengantar

Banyak pihak merasa getir dengan keberadaan kesenian tradisional di negeri ini, yang dipandangnya sebagai kerakap di atas batu (hidup segan mati tak mau) di tengah-tengah pertarungan global, atau di tengah-tengah gempuran arus globalisasi. Pihak lainnya, ada yang dengan senang menyiasatinya, mengawinkannya (sering juga dengan kawin paksa) dengan unsur-unsur modern, mengikuti arus globalisasi, dan tak sedikit pula yang, ’’Mbuh kono, karepmu, ra ngurus!’’
Globalisasi memang dapat dilihat dari berbagai sudut. Ia dapat didefinisikan sebagai keniscayaan akibat dari kemajuan zaman, terutama kemajuan bidang perhubungan: transportasi dan terutama telekomunikasi. Begitulah, ketika telepon genggam, Iphone, Ipad, berada di tangan, serta-merta kita menjadi pemilik cupumanik astagina, menguasai aji pameling. Dunia ada di genggaman kita. Dan jangan lupa, gara-gara cupumanik astagina itulah Sugriwa dan Subali berubah jadi kera. Dari sudut lain, adalah kenyataan bahwa globalisasi juga merupakan gerakan negara-negara adidaya untuk menguasai dunia melalui kekuatan modal, yang sesungguhnya sudah menimpa kita sebagai bangsa sejak Zaman V.O.C. Transnasionalisasi perusahaan-perusahaan besar, semakin meningkatnya modal asing di dalam negri, hingga tergusurnya pasar-pasar tradisional dari benteng-benteng terakhir pertahanan mereka di kampung-kampung adalah bukti betapa kuatnya gempuran globalisasi dalam pengertian ini (gerakan negara-negara adidaya untuk menguasai dunia melalui kekuatan modal). –Untuk selanjutnya globalisasi dalam pengertian terakhir inilah yang dimaksud dalam kaitan dengan ’’gempuran atau gilasan’ tak kunjung henti yang harus diderita oleh kesenian (dan bahkan semua hal yang bersifat-) tradisional, termasuk sistem pertanian tradisional.

Revolusi Hijau merupakan sebuah contoh bagaimana mesin ekonomi-politik globabal menggilas pertanian di Indonesia, termasuk Jawa. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sebagai pelaksana teknis developmentalisme ini bukanlah program pertanian semata, melainkan sebuah strategi melawan tradisionalisme. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, beragam pengetahuan pertanian manusia di muka bumi mengalami penggusuran besar-besaran dan dijadikan satu pola pertanian saja.

Akibat dari program ini ribuan varietas tanaman tradisional tergusur. Lebih parah lagi, petani menjadi tergantung pada industri benih dan tak lagi mampu mengontrol serta mereproduksi benihnya sendiri. Benih telah berubah menjadi sumber kentungan dan kontrol karena di tangan lembaga penelitian dan perusahan-perusahaan transnasional benih merupakan komoditi komersial.Revolusi Hijau ternyata juga menjadi sebuah program untuk menyingkirkan atau melemahkan pengetahuan rakyat. Budaya pemuliaan benih dibabat habis sebagai bentuk kontrol penguasaan pasar. Bahkan, tak jarang petani yang dengan pengetahuan tradisionalnya melakukan pemuliaan benih sendiri dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pembenihan ilegal (kasus Mbah Suko Magelang). Budaya (tradisi) pertanian kita telah dimatikan. Demikianlah Globalisasi menggempur budaya tradisional di muka bumi ini.

Kebudayaan, kesenian, itu bersifat hidup. Artinya, ia tumbuh, berproses. Dalam proses itulah terjadi dialog, bahkan juga tarik-menarik antara yang lama dengan yang baru, antara yang tradisi dengan yang modern. Pertanyaannya kemudian, mengapa ada pihak, dan bahkan selayaknya kita berada di antaranya, tidak merelakan begitu saja yang tradisional tergerus oleh modernisasi? Ketika modernisasi tumbuh secara alamiah, mungkin kita tidak perlu terlalu gelisah.

Tetapi, seperti sudah digambarkan tadi, ada kekuatan yang dengan sengaja menciptakan mesin-mesin pelumat kebudayaan, kesenian tradisional itu. Sebenarnya, motivasi utama penggilas itu bukanlah pada urusan kesenian itu sendiri, melainkan motiv penguasaan aset atau modal. Ketika semua orang memiliki selera yang (relatif) sama, adalah sangat gampang bagi mereka untuk menyediakan (memroduksi) segala kebutuhan, baik barang atau jasa. Bukannya tumbuh dan berkembangnya tradisionalisme yang tidak disukai oleh pemilik modal transnasional itu, melainkan adalah: hak patennya tidak berada di tangan mereka.

Sebagai gambaran, ketika generasi terkini kita menganggap karawitan adalah musik bergengsi rendah, identik dengan kaum tua yang tidak mengikuti kemajuan zaman, para akademisi asing, dari negara-negara maju berbondong-bondong memelajarinya ke negri kita ini. Dan pada saatnya kelak, bisa jadi kita yang harus balik memelajarinya ke negri mereka, dengan harga pembelian yang jauh berlipat-ganda dibandingkan dengan saat kita ”menjual”-nya. Bahkan, sudah terjadi sekarang, banyak akademisi kita harus mau berjauh-jauh ke Negeri Belanda untuk mendapatkan S-3 bidang sastra/budaya Jawa.

Lebih menggelikan lagi adalah pengalaman Ki Manteb Sudarsono Si Dalang Setan itu. Ketika wayang diakui sebaga Warisan Budaya Dunia ia dapat kesempatan ndhalang di beberapa negara Eropa. Di Perancis, didapatinya ’’Dharma Wanita’’ KBRI setempat berlatih karawitan, dan pelatihnya adalah ’’asli tiyang Perancis.’’ [bersambung]