Selasa, 01 Desember 2009

Pertanian Belum "Nyambung"

Brigitta Isworo Laksmi

Perubahan iklim akhir-akhir ini menjadi isu laris di sejumlah media massa. Isu itu semakin mendapat panggung menjelang perhelatan global Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009. Ironisnya, isu perubahan iklim ternyata masih elitis, antara lain di pertanian. Petani yang sehari-harinya bergulat dengan tanah dan iklim sebagai ranah utamanya ternyata sampai sekarang masih gagap dengan istilah perubahan iklim.


Koordinator Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko menegaskan hal tersebut saat berbincang dengan Kompas di kantornya yang teduh di Jakarta, Selasa (1/12).

”Petani memang sudah biasa mengamati musim dan itu dari tahun ke tahun memang selalu berubah. Lalu berurusan dengan musim, dan itu selalu berubah-ubah, terkadang maju dan terkadang mundur. Namun, ada kecenderungan musim hujan mulainya semakin mundur dengan intensitas hujan yang cenderung tinggi dan hanya berlangsung pendek,” ujar Tejo.

Apa yang dikatakan Tejo terungkap dalam sebuah testimoni yang digelar Civil Society Forum beberapa waktu lalu. Dominggus Tse, petani jagung dari Desa Nusa, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan, musim hujan yang normalnya berlangsung Oktober-Maret tidak lagi berlaku demikian. Alam mulai tak berpihak lagi kepada manusia. Dominggus pun kebingungan. ”Jika ditanam dan tidak ada hujan turun, tanaman jagung akan kerdil atau mati,” ujarnya. Adapun jika menunggu turun hujan dan ternyata intensitasnya langsung tinggi, jagung akan terlalu basah dan buah jagung pun akan lebih kecil dari biasanya. ”Kondisi seperti itu biasa kami sebut ’hujan tipu’,” lanjutnya.

Bukan hanya ukuran buah atau kondisi tanaman yang terpengaruh. Ketidakteraturan turunnya hujan juga menyebabkan maraknya penyakit ”bercak coklat”. Pada akhirnya, ”Kalau kami tidak hati-hati menghitung kapan musim hujan mulai, itu bisa membahayakan persediaan pangan keluarga,” tutur Dominggus.

Tejo menambahkan, masyarakat petani semakin terganggu karena peninggalan leluhur, yaitu secara kultural petani mengenal pranata mangsa sudah semakin hilang.
”Sementara itu, para petani sering kali kecewa dan enggan menggunakan informasi prakiraan iklim. Mereka lantas menyimpulkan, prakiraan tersebut tidak bisa diandalkan”, demikian penjelasan dari hasil penelitian Rizaldi Boer (Petani Menduga Musim, 2009).

Sementara itu, dari hasil penelitian yang dilakukan Mezak Ratag (2007), seperti dikutip pada buku Petani Menduga Musim (Climatejustice dan Oxfam Hongkong, 2009), telah tampak terjadi perubahan pola awal musim hujan dan kemarau.

Hasil perbandingan data 1961-1990 dan 1991-2003 menunjukkan 22% awal musim kemarau teratur, 33% lebih cepat, dan 45% lebih lambat dari biasa. Adapun untuk musim hujan, 36% data memperlihatkan awal teratur, 40% lebih cepat, dan 24% lebih lambat. Perubahan mulai tampak setelah tahun 2000.

Padahal, tutur Tejo, jika gangguan terkait iklim ini berlangsung berlarut-larut, suatu ketika ketersediaan pangan masyarakat—yang menjadi tujuan program Desa Mandiri Pangan— akan terganggu.

Rupanya terdapat kesenjangan antara isu perubahan iklim seperti dipahami para ahli dan yang dihayati petani berupa pergeseran saat pergantian musim. ”Petani sendiri masih butuh waktu untuk memahami isu tersebut. Informasi (perubahan iklim) masih dari luar. Pengalaman mereka itu perlu kami strukturkan agar mereka paham tentang perubahan iklim. Petani yang di Pulau Jawa mungkin ada yang memfasilitasi diskusi tentang itu, tetapi itu pun masih terbatas,” ujar Tejo.

Memang sudah ada sekolah lapang iklim di beberapa desa yang bertujuan agar petani mampu memahami dan menerapkan informasi prakiraan musim (IPM) sebagai masukan strategi pola tanam (Boer, dkk., 2003). Yang terjadi ternyata, seperti dikatakan Manajer Kebijakan, Advokasi, dan Kampanye Oxfam P Raja Siregar beberapa waktu lalu, ”Petani ternyata tidak mengubah strategi pola tanamnya. Setiap tahapan proses tanam masih berdasarkan kebiasaan lama.”

Adapun birokrat pertanian belum melakukan diskusi intens tentang perubahan iklim. ”Kalau secara agregat persediaan pangan masih aman, pemerintah juga menganggap aman saja. Ketika itu dipandang aman, isu perubahan iklim tampak semakin tidak nyambung,” ujar Tejo.

Sementara itu, lanjut Tejo, ”Ketika berbicara perubahan iklim, yang paling dekat adalah langkah adaptasi. Sementara kalau pemerintah melihat penyelesaian adaptasi perubahan iklim dari pertanian, itu selalu dengan bioteknologi. Jatuhnya adalah dengan benih transgenik. ”Berbicara segi kemandirian di sektor benih, itu masih merupakan pekerjaan rumah yang besar sekali,” tegasnya.

Benih transgenik bisa jadi memang tersedia, tetapi di sisi lain petani akan semakin tergantung karena benih transgenik dimiliki perusahaan multinasional.

Tampak bahwa dalam urusan perubahan iklim yang tak terhindarkan ini posisi petani kian terjepit. Di satu sisi adaptasi harus segera dilakukan, tetapi di sana juga menganga jurang yang akan bisa memerangkap kemandirian dan nasib petani.


Kompas, Rabu, 2 Desember 2009 | 02:46 WIB

0 komentar:

Posting Komentar