Jumat, 17 April 2009

Tumbuhkan Kebanggaan Warga akan Desanya

Jika tak ada aral, Festival Sastra Jawa dan De¬sa (FSJD) 2009 bakal di¬gelar di Desa Cakul, Ke¬¬camatan Dongko, Kabu¬paten Trenggalek, Jawa Timur (17 – 18 Juni). Se¬ta¬hu saya, sejauh ini be¬lum pernah digelar festival untuk sastra Jawa. Yang sering digelar ada¬lah sarasehan. Dari sisi kuantitatif ini akan me¬nam¬bah agenda dalam sastra Jawa. Kongres sas¬tra Jawa (KSJ) sudah digelar untuk kedua kalinya (Semarang, September 2006). Kongres Bahasa Ja¬wa sudah digelar 4 kali sejak 1991.

Ada satu agenda lagi yang mewarnai perkembangan sastra Jawa (modern) yakni pemberian penghargaan tahunan untuk buku dan tokoh sastra Jawa (bersama buku dan tokoh dari jagad sastra Sunda, Lampung, Bali).

Kongres Bahasa Jawa (KBJ) adalah hajat bersama tiga daerah (Jawa Tengah, Daerah Isti¬mewa Yogyakarta, dan Jawa Timur). Biayanya pun ditanggung oleh ketiga pemerintah daerah tersebut. Sekitar Rp 5 miliar dihabiskan untuk penyelenggaraan KBJ IV (Semarang 2006). Ada ironi di sini. Dana bermiliar-miliar bisa dikelu¬arkan untuk kongres 5 tahunan itu, sedangkan pemberian hadiah tahunan untuk 2 orang (de¬ngan nilai Rp 5 juta/orang) selama ini baru bisa diberikan oleh pihak ’’luar Jawa’’, yakni Yaya¬san Rancage yang semula didirikan sastrawan Ayip Rosidi untuk Sastra Sunda.

FSJD 2009, mengapa perlu ditambahkan unsur D (desa) dan tidak fokus pada SJ (Sastra Jawa) saja?

Sastra Jawa (di Jawa Timur)

Sastra Jawa adalah warga sastra Indonesia dan juga sastra dunia, yang layak diberi ruang hi¬dup, tumbuh dan berkembang sesuai keinginan masyarakat pendukungnya.

Jawa Timur memiliki tokoh-tokoh yang dise¬gani di jagad sastra Jawa. Di Surabaya ada Dr. Suripan Sadi Hutomo [alm.], Suparto Brata, Satim Kadaryono, Drs. Moechtar, Suharmono Kasiyun, Widodo Basuki, di Tulungagung ada Tam¬sir AS (alm.), Tiwiek SA, di Bojonegoro ada Djayus Pete, JFX Hoery, di Banyuwangi ada Esmiet [alm.], di Mojokerto ada ST Ies¬mani¬asita [alm.] sekedar menyebut mereka yang per¬nah mendapatkan Hadiah Rancage.

Selain itu Jawa Timur juga memiliki Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Dua buah majalah berba¬hasa Jawa dengan kesejarahan panjang yang hingga saat ini masih memiliki pembaca setia, yang sebagian besar adalah masyarakat desa. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar pendu¬kung sastra Jawa modern adalah masyarakat daerah pinggiran maupun pedesaan. Sayangnya kenyataan tersebut tidak serta-merta memuncul¬kan keberpihakan para sastrawan terhadap ma¬syarakat desa dengan segala persoalannya.

Desa

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2005, desa adalah suatu kesatuan masyarakat un¬dang-undang yang memiliki batas-batas wilayah yang berupaya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengacu pada batasan tersebut, desa dapat diar¬tikan sebagai sebuah wilayah dengan segela keunikannya yang dilindungi oleh negara. Na¬mun dalam berbagai wacana, ternyata termino¬logi desa lebih sering dikaitkan dengan perso¬alan kemiskinan, kebodohan, serta keterting¬galan-ketertinggalan lainnya.

Memang dalam kenyataannya, desa identik dengan segala ketertinggalan. Terlebih dalam hal pertumbuhan ekonomi yang merupakan titik berat Program Pembangunan Nasional di negri ini. Pembangunan serta investasi yang lebih banyak terfokus di kota menjadikan kon¬disi desa tidak berubah dari masa ke masa.
Desa hanya difungsikan sebagai wilayah penghisapan pusat pembangunan di kota-kota. Bukan hanya kota-kota di wilayah terdekatnya, melainkan juga di tingkat nasional, maupun internasional. Bahkan, kota-kota di negara berkembang dapat dikatakan sebagai perantara sumber daya ke negara maju saja.

Meski telah terjadi pergantian pemimpin berka¬li-kali, secara umum kondisi desa-desa di wila¬yah Indonesia tidak banyak mengalami perbai¬kan. Paradigma pembangunan menjadikan sum¬ber daya terpusat di sektor dan kawasan yang potensial menyumbang pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan perpindahan sumber daya secara besar-besaran ke pusat-pusat pertum¬bu¬han. Akibatnya terjadi penurunan kualitas ling¬kungan serta kelangkaan individu potensial di pedesaan.

Trenggalek, sebuah kabupaten yang sebagian besar wilayahnya merupakan pedesaan meng¬alami permasalahan yang sama. Selain sumber daya alam yang terus mengalir ke kota-kota lain, potensi warga kabupaten ini juga lebih banyak memberikan sumbangan pada kota-kota di sekitarnya, termasuk kota provinsi.

Sastra Jawa dan Desa

Demikian juga dengan potensi sastrawannya. Nama-nama seperti: Widodo Basuki (Munju¬ngan/Redaktur Jaya Baya), St Sri Purnanto (Panggul), Jarot Setiyono, Nanang Windradi (Trenggalek), Edy Santosa (Durenan), Sita T Sita (Pogalan), dipandang cukup mewarnai perkem¬bangan dunia sastra Jawa modern. Mereka adalah sastrawan Jawa asal Trenggalek, namun selama ini kurang berkontribusi secara optimal terhadap daerah asal mereka.

Oleh karenanya perlu dipertegas peran apa yang harus dilakukan oleh para pengarang/sastrawan Jawa dalam rangka berpartisipasi pada pembangunan masyarakat pedesaan, terlebih di Era Global seperti sekarang.

Festival Sastra Jawa yang rencananya digelar di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Treng¬galek, Jawa Timur, diharapkan dapat menjawab persoalan di atas sehingga mampu menumbuhkan kembali kebanggaan masyarakat akan desanya.
Dengan demikian, sastra tidak lagi menjadi karya yang berjarak dengan pendukungnya, ka¬rena mampu menyuarakan persoalan masyarakat. Termasuk di antaranya masyarakat pedesaan.

Dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, Festival Sastra Jawa bisa dijadikan agenda tahunan, sebagai upaya untuk menuju forum ’’silaturahmi budaya’’ yang le¬bih besar (berskala nasional) yang kelak bisa di¬namakan Festival Sastra Etnik Nusantara. []

Bonari Nabonenar, Ketua Panitia Festival Sastra Jawa 2009

Radar Tulungagung, Rabu 15 April 2009

0 komentar:

Posting Komentar