Rabu, 18 Agustus 2010

Petani Cengkih kembali Bergairah

Cengkih mengalami kejayaan, terutama pada paroh kedua tahun 70-an. Trenggalek yang sejak lama dikenal sebagai wilayah tandus dan daerah termiskin di Jawa Timur pun mengukir mimpi bersama tumbuhnya tanaman cengkih yang ketika itu dipopulerkan oleh sang bupati, Soetran. Dipandang berjasa sebagai pemimpin yang memberikan banyak harapan bagi masyarakatnya, nama Soetran pun diabadikan sebagai nama jalan, di salah satu sudut ibukota Kabupaten yang di sisi Selatan-nya langsung berbatasan dengan Australia itu. Dalam perjalanan waktu, orang menyadari, termasuk Pemerintah, bahwa berkembangnya pertanian cengkih yang bahkan sempat dijuluki sebagai emas hijau itu tak juga meningkatkan kesejahteraan para petaninya secara setimpal. Artinya, bahwa pendapatan petani meningkat, memang demikian. Tetapi, ternyuata petani menjadi bulan-bulanan tengkulak besar.

Maka, pemerintah membentuk sebuah badan bernama BPPC (Badan Penyangga Perdagangan Cengkih) untuk mengurusi tataniaga cengkih, itu pada paroh kedua tahun 80-an.

Apa yang terjadi kemudian ternyata semakin jauh dari harapan. Para pelaku perdagangan (tengkulak besar) ternyata tetap memainkan peran. BPPC ternyata kemudian hanya menjadi lembaga stempel untuk memungut sebagian keringat para petani. BPPC sempat menjadi besar, dan petani makin menjerit.

Lalu datanglah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan ndilalah namanya mirip BPPC, yakni BPBC (Bakteri Penggerek Batang Cengkih). Banyak tanaman cengkih ranggas dan kemudian ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Sawah-sawah yang semula disulap menjadi kebun cengkih pun dikembalikan menjadi sawah.

Kini, BPPC sudah dibubarkan. Ada sebagian petani yang masih trauma, ada yang bangkit lagi dengan kembali menanam cengkih. Pasar pun kembali menggeliat.


Trenggalek

Secara geografis, wilayah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, memang terdiri atas pegunungan dan perbukitan kapur. Mayoritas penduduknya adalah petani. Tanaman pokok yang selalu setia ditanam terutama diderah pegunungan adalah ketela pohon alias singkong sebagai bahan pangan pokok. Hal seperti itu bertahan hingga sekarang.

Trenggalek pun dikenal dengan julukan penghasil gaplek (ketela pohon yang dikeringkan sebagai bahan baku untuk membuat nasi tiwul).

Pada era ’60-an hampir seluruh wilayah Trenggalek yang berupa lahan kering ditanami ketela. Baru ada perubahan pada tahun ’70-an semasa Soetran menjabat Bupati Trenggalek, melakukan ujicoba dengan menggerakkan masyarakat petani untuk menanam cengkih.

Ketika itu petani terutama di pedesaan diberi bantuan bibit cengkih secara gratis. Setelah cengkih ditanam dan dilakukan perawatan dengan sungguh sungguh beberapa tahun kemudian petani cengkih bisa merasakan hasil yang cukup menggembirakan.

Dengan adanya cengkih ternyata masyarakat Trenggalek terutama dipedesaan mengalami peningkatan ekonomi yang cukup lumayan . Hal itu dapat dilihat yang dulunya para petani hanya bisa menyekolahkan anaknya sampai tamat SD, dari hasil panen cengkihnya mereka bisa menyekolahkan sampai SMA bahkan banyak yang sampai perguruan tinggi.

Adapun daerah yang paling banyak menghasilkan cengkih saat itu ada beberapa Kecamatan yaitu Dongko, Panggul, Pule, dan Munjungan. Wilayah ini merupakan lumbung cengkih di daerah Trenggalek.

Sayangnya pada tahun ’80-an setelah pemerintah membetuk badan yang mengurusi tentang tata niaga cengkih yaitu BPPC yang tujuannya semula untuk menolong petani dari perubahan harga cengkih yang fluktuatif ternyata ujung ujungya justru badan ini yang menyengsarakan petani.

Petani cengkih mengalam frustasi. Karena monopoli yang dilakukan oleh BPPC lewat KUD yang melaksanakan kebijakan untuk penjualan hasil cengkih petani harus ke KUD itupun dengan harga yang ditekan semurah-murahnya. Selain itu petani tidak bisa menjual sendiri hasil taninya ke wilayah lain bila ada pastilah ditangkap.

Alhasil petani seperti dipasung, dan setelah dihitung-hitung saat itu hasil dari penjualan dengan upah petiknya yang harus dikeluarkan sudah tidak seimbang. Makanya banyak petani yang membiarkan bunga cengkihnya tidak dipetik bahkan tidak sedikit yang ditebang untuk diganti tanaman lain.

Baru setelah terjadinya reformasi dan bubarnya BPPC, para petani cengkih mulai bangkit kembali, karena tataniaganya tidak dimonopoli lagi oleh perorangan ataupun pemerintah. Kembali pada hukum pasar. Yaitu bila barangnya banyak maka harga akan cenderung turun namun bila cengkih di pasaran tidak banyak maka harga akan melambung naik.

Musim Panen

Saat ini petani di Trenggalek ternyata mulai kreatif dalam hal bercocok tanam. Hal ini bisa dilihat ladang-ladang cengkih yang ada tidak lagi melulu tanaman cengkih saja, namun di sela-sela cengkih ternyata banyak ditanami coklat, pisang, nilam yang juga memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Selain itu para petani mulai berpikir bila nantinya cengkih mengalami harga jatuh maka dari hasil tanaman selanya mereka masih memperoleh pendapatan, yang cukup lumayan.

Saat ini petani cengkih mulai panen raya. Musim panen setiap tahun sekali biayanya mulai bulan juni sampai agustus. Dengan harga cengkih basah di pasaran Rp 15.000 per kilogram, sedangkan cengkih kering mencapai Rp 50.000. Petani seperti mengalami kembali kejayaan masa lalu.

Ternyata dengan harga yang cukup bagus ekonomi masyarakat mulai menggeliat lagi tidak saja petani yang untung, para buruh tani juga kebagian rezeki, yang semula upah buruh tani Rp 20 ribu/hari maka sebagai pemetik buah cengkih dapat memperoleh upah Rp 30 sampai 35 ribu/hari.

Tengkulak Kecil

Tak lupa para pedagangnya juga ikut berlomba untuk meperoleh laba. Bila modalnya besar maka ia akan berperan sebagai pengepul cengkih kering. Sedangkan yang hanya memiliki modal pas-pasan maka mereka biasanya membeli cengkih basah untuk dikeringkan, kemudian setelah kering baru dijual ke pedagang pengepul.

Biasanya mereka memperoleh laba dari selisih harga dan berat dari cengkih basah menjadi cengkih kering. Untuk menghasilkan 1 kg cengkih kering biasanya membutuhkan 3 kg cengkih basah, bahkan bila kualitas cengkihnya bagus 2,7 kg sudah bisa menghasilkan 1 kg cengkih kering.

Tiyuk yang tekun membeli dari petani, mengeringkan dan kemudian menjualnya dalam kondisi kering, mengaku bisa meraup untung Rp 30.000 - Rp 50.000/hari.

”Setiap musim cengkih saya selalu membeli basah untuk saya keringkan. Bila cuacanya cukup bagus, panasnya dari pagi sampai sore tiga hari cengkih sudah siap dijual, sehingga ngirit tenaga dan kualitas cengkih jadi bagus hingga untungnya cukup lumayan. Bahkan untuk memperoleh untung yang banyak sebenarnya tinggal berapa modal kita dan seberapa banyak kemampuan untuk mengeringkan,” tutur Tiyuk.

Daun Kering

Selain itu cengkih ternyata tidak hanya bunganya saja yang laku dijual. Daunnya yang sudah keringpun laku untuk dijual dengan harga Rp 800 sampai Rp 1000 perkilonya. Daun kering ini disuling untuk diambil minyaknya sebagai bahan baku obat-obatan.

Biarpun panennya setahun sekali bunga cengkih bisa menyejahterakan ekonomi petaninya. Hal ini terlihat dimasyarakatnya, setiap panen tiba mereka tidak lagi binggung untuk biaya sekolah anak-anaknya, bahkan ada yang seperti berlomba membangun dan memperbaiki rumahnya dan banyak juga yang membeli kendaraan, terutama roda dua.

Tapi, yang jelas geliat ekonomi ini sangat kentara bila panen raya tiba, pasar-pasar, toko-toko selalu dijubeli pembeli.[pur]

Selasa, 17 Agustus 2010

Megengan

Tradisi genduren (saka tembung kenduri +an-kenduren-genduren) megengan, utawa biasane disebut wae megengan, ngono, isih lumaku nganti tekan saiki ing Dhusun Nglaran. Ya wis kaya mengkono kuwi sebutane, mbuh kepriye larah-larah etimologine. Sangretiku sing kerep kocap kuwi tembung ’megeng napas’, tegese nahan utawa mekak ambegan. Mbokmanawa, megengan kuwi secara psikologis dianggep kayadene ngerem ndadak kebat-kemrungsunge urip padinan merga mapag dina kawitan ing wulan Pasa utawa mapag dina Riyaya. Megengan padatane uga ditindakake kanggo mapag dina Riaya utawa dina Idul Fitri. Dhek jaman cilikanku, genduren megengan kuwi ajeg dikembul wong samason. Mason iku kukuban warga nunggal sumber/belik kang diangsu. Ana kang samason mung dumadi 5 somah, ana kang nganti puluhan utawa las-lasan somah/kulawarga. Kulawargaku kang dhek semana isih dadi siji karombah buyut, melu mason Kali Poko, kang anggotane kepetung akeh, nganti 11 somah. Mangka yen genduren megengan iku biasane digelar gentenan ing saben omah. Beda karo genduren Muludan kang saben somah nggawa ambenge menyang omahe jurukunci mason banjur dikajatake lan dikembul bareng ing kono.

Bisa dibayangke, genduren bergilir kang dilekasi jam lima utawa jam 6 kuwi bisa nganti tekan jam 10. Lha yen ing saben omah mangan telung pulukan wae wis kari ngepingke sewelas, dadi 33 pulukan. Pokoke angger rampung acara genduren ing 11 omah kuwi ajeg kewaregen. Lha, olehe salat tarweh? Dhek aku isih cilik kuwi, sadhusun kira-kira ora genep wong lima kang nindakake salat tarweh jamaah ing masjid. Lha, wong sing nindakake salat wajib wae ya isih siji-loro.

Mason Kali Poko kuwi jurukuncine Mbah Wiryosari (saiki wus suwargi), nglintir saka wong tuwane. Mula angger ana genduren ajeg Mbah Wir kang ngajatake utawa ngujupake ambengane. Olehe ngajatake nganggo basa karma. Mung kala-kala digenteni Mbah Poidjan (saiki uga wis suwargi) kang dhek nalika semana saben dinane makarya kadidene kuli ratan.

Sawise dikajatake, sadurunge ambeng dipurak, luwih dhisik didongani. Dongane nganggo basa Arab, donga slamet lan donga kubur. Awit, sajake kang luwih baku ing genduren megengan kuwi kirim donga kanggo kang wis padha sumare. Kang kajibah ndongani, biasane Kek Giran utawa Lik Redi.

Kajatan iku satemene uga ngemu donga, upamane, ’’Awit dipunmule lan dipun metri, panuwune slamet wilujenga wiwit dinten niki ngantos sakpengajenge sampun wonten godha rencanane kantuna manggih seger kuwarasan lan sekeca anggenipun pados sandhang tedha, sedaya mawon dipun seseni kabul.’’ Angger olehe ngajatake wis tekan tembung "kabul" ngono kuwi banjur kang padha ngepung melu nyahuti bebarengan, "Kabuuuuuulllllllllllllllll.............'' Kuwi biyen. Saiki, sajake olehe nyauti kajatan kuwi wis ganti tembung, ''Amiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnn........" Biyen ya kala-kala ana sing muni, "Amin," ngono, nanging isih kerep lan luwih akeh kang muni, "Kabuuuuuuullllllll." Ewadene, tembung "amin" kuwi jane wis kelet karo tradhisi genduren dhek jaman cilikanku, nganti "genduren" kuwi uga disebut "amin-amin".

Pandonga sajroning kajatan iku diandharake sawise ngarani perangane ambengan, upamane, takir, metri, mule, buceng lan sapiturute, lan njlentrehake apa maknane siji lan sijine. Upamane, ’’Dipunwontenaken mule-metri (wujude sega dikemongi diwadhahi piring, ganep lan lawuhe srondeng karo irisan endhog dadar utawa iwak pitik, wedhus, sapi..) menika perlu ngariayani anggenipun nglampahi siyam…’’ (ngono ing genduren megengan mapag bada utawa genduren maleman).

Genduren maleman iku, ing kukuban Mason Kali Poko biyen dianakake kaping telu sajrone wulan Pasa, yakuwi ing malem tanggal 21, malem 27, lan malem 29). Bedane, yen genduren maleman ambengan saka saben somah digawa menyang omahe jurukunci mason saperlu dikajatake lan dipurak bebarengan. Mbokmanawa kanggo ngentheng-enthengake, genduren maleman kuwi didum amrih ora saben somah nyepakake ambengan kaping telu. Upamane, kelompok lor kalen bageyan malem selikur, kelompok tengah malem 27, lan pomahan iring kidul sing melem 29.

Sadurunge genduren megengan digelar, bageyan domestik utawa kang nyambutgawe neng omah pawon, ora mung nyepakake ambengan kanggo genduren, nanging uga nyepakake sajen. Wernane sajen ya: sega (kayadene mule), kolak, wedang (kopi), rokok, lan sapiturute. Ujube, sajen kuwi kanggo arwahe kang wus padha sumare. Lha mengko angger olehe genduren rampung, sing duwe omah biasane njur nyang amben tengah lan ngetokake sajen sing wujud kolak utawa wedang saperlu disuguhake sing padha ngepung ambeng utawa peserta genduren.

Senajan tradisi genduren megengan isih lestari nganti saiki, pakulinan nyepakake sajen kuwi sajake wis ilang babarpisan.

Ing dina megengan, sadurunge bengine digelar genduren, wong-wong biasane padha nyekar menyang kuburan. Diarani nyekar, merga iku satemene acara sawur kembang ing kuburan, lan ndongakake amrih para ahli kubur, mligine anggota kulawarga kang wus katimbalan luwih dhisik, amrih nemu kamulyan ing kanane. [Bonari Nabonenar]

Rabu, 11 Agustus 2010

Warni: Semangat Pantang Menyerah!

Di kota-kota di Indonesia, banyak kita jumpai orang yang seharusnya masih bisa melakukan banyak hal justru memilih mengantungkan belas-kasihan orang lain dengan meminta-minta. Pemandangan demikian akan sangat kontras dengan sosok Warni, seorang warga kampung yang benar-benar pantang menyerah! Adalah Warni(45) warga RT 29/15 Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Sejak kecil ia sudah mengalami kebutaan total. Namun, Warni kecil kala itu tidak merasa minder untuk bermain dengan teman-teman sebayanya, biarpun ia merupakan satu-satu anak yang tidak dapat melihat.

Teman temannya pun tidak ada yang pernah mengejek atau mengucilkannya. Bahkan warni ketika masih anak-anak setiap malam cukup rajin pergi belajar ngaji ke Masjid yang jarak dari rumahnya sekitar 1kilometer.

Biarpun cacat warni memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya yaitu daya ingatnya yang tergolong tajam, sehingga dalam hal mengaji ia lebih dulu hafal dan lancar dibanding teman-temannya.

Kelebihan lain yang dimiliki warni adalah semangatnya yang melebihi orang kebanyakan. Ini tidak pernah surut mulai dari kecil sampai sekarang. Seperti halnya laki-laki lainnya Warni pun punya angan-angan untuk bisa hidup berumah tangga.

Adapun wanita yang menjadi pilihan dan bisa menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri warni adalah Menik, janda beranak satu dan masih terhitung tetangga sendiri yang dinikahi 32 tahun yang lalu. Dari pernikahannya itu mereka mendapatkan dua orang anak yang semua telah berumah tangga sendiri.

Setelah menikah Warni sebagai keluarga petani, dan sebagai kepala keluarga mau tidak mau ia juga harus terjun untuik bercocok tanam untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Ternyata kelebihan yang dimiliki, biarpun tidak dapat melihat tetapi kegiatan apa saja yang dilakukan orang normal ia bisa melakukannya. Mulai menggarap lahan pertaniaan sampai penanaman dan pemanenan ia bisa melakukan sendiri, dan hasilnya tidak kalah dengan orang-orang yang bisa melihat dengan normal.

Bila di lingkungan ada kegiatan iapun tidak pernah ketinggalan turut serta, bahkan ia termasuk penabuh gamelan yang cukup trampil. Banyak gending Jawa dikuasainya dengan hanya mengandalkan daya ingatnya yang cukup tajam.

Ketrampilan lain yang dimiliki adalah sebagai tukang pijat, pelanggannya biasanya masih dalam lingkup satu desa saja. Sebenarnya warni pernah mendapatkan pelatihan sebagai tukang pijat yang dilakukan oleh dinas sosial, bahkan selesai pelatihan ia mendapatkan sebuah dipan dari dinas sosial tersebut.

Hal lain yang dilakukan warni untuk menyambung ekonomi keluarganya. Bahkan, sampai ia bisa menyekolahkan kedua anaknya sampai tamat SMA, adalah dengan jualan rokok dan jajanan bila ada orang yang mempunyai hajatan, sementara itu istrinya melakukan kegiatan sebagai buruh tani.

Saat ini warni dirumah hanya tinggal bersama istri dan anak tirinya yang juga memiliki penyakit epilefsi, sementara kedua anaknya sudah berumah tangga sendiri, yang satu di Jakarta sebagai pekerja pabrik yang perempuan mengikuti suaminya bekerja sebagai nelayan.

Istri Sakit-sakitan

Sementara itu istrinya saat ini sakit-sakitan dan sudah tidak bisa bekerja lagi, makanya tinggal warni sendiri yang berusaha banting tulang untuk makan sehari-hari. Tapi hal tersebut tidak menjadikan semangat hidupnya surut.

’’Orang hidup macam saya ini apalagi yang meu dikejar? Yang penting tiap hari bisa makan, itu sudah Alhamdulillah. Anak-anak juga sudah mentas semua. Kalau sekarang istriku lagi tak kuat bekerja, ya biar semampu saya bekerja. Dapat hasil sedikit disyukuri, banyak ya semakin alhamdulillah,’’ tutur Warni dalam bahasa Jawa, diiringi tawanya yang lepas.

’’Satu hal lagi, jangan sampai terlalu merepotkan tetangga. Maka, sedapat mungkin seperti bikin meja, kursi, walaupun asal jadi ya semua kukerjakan sendiri. Juga radio sebagai sarana hiburanku ini, dulu ini pemberian orang. Aku terima dalam keadaan rusak. Ya, saya utak-atik ternyata bisa bunyi. Walau harus menanggung risiko, hidungku kena soder yang sedang membara. Waktu menyoder itu, aku kan menandai apakah soder sudah cukup panas atau belum kan dengan mengetahui baunya,’’ kenangnya.

Saat ini Warni baru giat-giatnya mempersiapkan lahan pertaniannya yang sebetulnya tidak begitu luas untuk persiapan musim tanam yang akan datang karena saat ini hanya itulah satu-satunya sumber ekonominya.

Menurut penuturannya biasanya yang ditanam pada lahannya ada beberapa jenis yaitu yang pokok ketela, kemudian ada jagung, kacang dan sayur. Selain sudah ada beberapa batang pohon cengkeh dan kopi yang dijadikan penghasilan tahunannya.[pur]


Selasa, 10 Agustus 2010

Lungursanten: 1975

Saelingku, mangsa paceklik paling mbedeking kuwi taune 1972. Nalika semana, aku isih kelas loro sekolah dhasar (SD). Nanging, nganti aku lulus SD. Yen sampeyan takon marang wong-wong Desa Cakul kang menangi jaman mbedeking kuwi, angka 1972 kuwi mesthi akeh kang eling. Satemene kang aran paceklik mono saemper ambah-ambah, ora mung dumadi taun 1972. Nganti taun 1976 (iku wektu nalika aku lulus SD lan kudu ngenger ing kecamatan seje amrih bisa nerusake sekolahku menyang SMP) aku menangi pirang-pirang ungsum paceklik. Titikane, angger wis ana rerasanane tangga manawa ana saperangan kang kerep kentekan gebing (gaplek) njuk mung njenang tela, sayure godhong tela, sok paribasane mung diuyahi, kaya ngono kuwi yen ambah-ambah paceklik nrajang.

Satemene ora nganti nemen kaya dek Jaman Jepang --miturut critane simbah-- nganti bonggol gedhang ya dipangan. Oh, iya, manut ujare crita, yen mundur rada adoh, saka 1972, taun kang paling mbedeking paceklike iku 1918. Lah, prekara paceklik iki kok becike dicritakke meneh mangko ya? Lha, wis 159 tembung kok durung nyrempet Lungursanten kang dirancang kadidene lakone crita iki.

Angka taun 1975 iku isih kena dianyang kok. Tegese aku ora bisa njamin apa kuwi pas tenan. Pokoke sakiwatengene taun iku, sing cetha aku isih dadi tukang ngarit lan sinau ing sekolah dhasar. Saben dina sabaku alas, ndilalah mangsa paceklik, ana wuluwetune alas kang maune kaya ora pati digatekake, dumadakan dadi lakon: uwi. Neng alas, klebu neng Lungursanten iku akeh uwi. Merga kentekan tela lan palapendhem liyane ing pekarangan, alas dadi jujugan.

Manekawarna uwi ana ing alas, ana uwi kontholbantheng, uwi lus, lan uga ana gembili. Uwi kontholgantheng kuwi bisa gedhe, brongkalan, tur mapane isine ora pati jeru. Gampang le ndhudhah. Beda maneh uwi lus, iku saben uwit mung isi siji, ndlujur nunjem bumi. Gedhe cilike isine bisa katitik saka uwite. Yen nemu sing uwite sing mrambat kuwi gedhene sarokok ngono wae wong senenge ora jamak, jalaran isine uwi lus iku merit ing ndhuwur lan sangsaya mengisor sangsaya gedhe. Dene gembili, iku kondhang paling enak rasane, nanging le ngerah ya paling angel merga uwite rinengga marung (eri).


Saben dina ana wong tegalan (=golek menyang alas) uwi. Mula alas saelore padhukuhanku, kuwi, klebu ing Lungursanten, banjur dadi kebak jlondhangan, juglangan, tilase wong ndhudhuk uwi. Kadidene tukang ngarit kang kulina nunggangi grumbul utawa blusukan ing sangisore, kahanan iku ora nyenengake, merga yen ana blahine sawayah-wayah bisa kecemplung juglangan. Mbareng saiki kenal GoogleEarth, njuk dadi mbayangke, kepriye ya rupane Lungursanten (1975) nalika kebak juglangan kuwi yen disawang saka antariksa?

Lungursanten kuwi perangane alas ing lor padhukuhanku. Saka omahku (omahe wong tuwaku) udakara 4 utawa 5 km. Mung dhek nalika semana dalane isih dalan setapak.

Ambane ora nganti atusan hektar. Kira-kira ya sepuluhan hektar, utawa malah kurang, nggligir saka sangisore Lemah Abang (saka arah Gunung Bogang). Pereng sisih tengen anjog nyang Jurug, sisih kiwa ana kalen kang ing nggir kanane iku ana perangane alas kang katelah Rata-rata. Nggir kanane Rata-rata ana padhukuhan Banaran, kalebu Desa Sawahan kang wus kebawah Kecamatan Panggul. Lha yen terus bablas anjog mengalor, mengko bakal tekan tempuran Kali Ulik, kang nampani banyu saka arah Kecamatan Pule sisih Kidul lan saka saperangan Kecamatan Dongko.

Senajan saiki kahanane wis kaya pekarangan, merga wis dikapling-kapling dening warga kang diembani LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), Lungursanten dhek jaman cilikanku biyen wujud alas tropis kanthi manekawarna wit-witan, thethukulan, lan sato kewan. Ana wit jati, weru, mauni (mahoni), pule, bendho, tangkil, lan liya-liyane. Jare simbah, dhek aku durung lair alas Lungursanten kuwi wis tau dibukak. Lah, bukakan alas dhek jaman semana kuwi mung kanggo sawatara taun, ora kaya program LMDH saiki kuwi sing sajake ora diwatesi embuh nganrti kapane. Kewan khas Lungursanten, sing ora tinemu ing alas kidul (sakidule padhukuhanku) yakuwi lutung. Yen kethek iku neng Jurug ya ana, lan sing jan akeh tenan nganti dadi kaya kratone kethek, iku alas kidul. Si kethek ing alas kidul sajake durung cures nganti saiki. Nanging, lutung ing Lungursanten wis cures babarpisan.

Mbokmanawa bakal luwih akeh maneh kang ing tembene mung kari dongenge. [Bonari Nabonenar]

Kamis, 05 Agustus 2010

LMDH = Lembaga Masyarakat Desa (BUKAN) Hutan

Setiap kali pulang kampung (Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek), setiap kali pula perasaan saya dibetot pemandangan: alas atau hutan yang kini telah berubah menjadi ladang. Ini bukan soal mengkampanyekan kesadaran terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Itu soal lain. Ini persoalan yang sangat atau mungkin terlalu pribadi.

Saya menghabiskan masa kecil di desa itu, dibesarkan bersama-sama oleh keluarga besar: ayah-ibu, nenek, dan bahkan buyut saya. (Bersyukurlah saya, masih bisa menyaksikan buyut saya menimang anak saya. Itu berarti, anak saya masih sempat ditimang oleh canggah-nya). Buyut saya itulah orang yang paling berjasa mengenalkan saya dengan kehidupan rimba, hutan. Saya sebut begitu, karena ketika saya kecil, hutan di sekeliling desa saya yang kini telah berubah jadi ladang itu adalah hutan tropis dengan aneka tumbuhan dan binatangnya. Binatang yang paling popular ketika itu adalah celeng alias babi hutan. (Nanti akan ada cerita tersendiri mengenai babi hutan ini.) Karena itulah, ketika kini hutan jadi ladang, saya merasa kehilangan sebagian dari masa kecil saya.

Sejak kelas 1 SD saya sudah belajar ngarit, mencari rumput dan dedaunan untuk pakan kambing. Begitu kelas 3 SD saya sudah ngarit bukan sekadar belajar, tetapi bekerja. Dan di kelas 4 atau 5, sepuluh ekor kambing sudah menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Apakah masih ada anak sekarang seperti saya waktu itu? Atau jika pertanyaannya boleh sedikit di ubah, di manakah kini kira-kira seorang bocah kelas 4 SD mengalami seperti yang saya alami sekitar 35 tahun lalu?

Karena waktu dan tempatnya, dengan beban seperti itu saya tak pernah merasa tersiksa. Saya menikmati pekerjaan itu, karena bekerja (ngarit) dan bermain seolah melebur sedemikian indahnya. Di desa, tidak ada anak gedongan. Tidak ada anak manja, yang bebas dari pekerjaan membantu orangtua. Dan Komisi Perlindungan Anak saya kira juga tidak perlu risau dengan cerita saya ini.

Sebelum menamatkan SD dan harus ngenger di ibukota kecamatan yang berjarak 10 km dari rumah sendiri, saya merasa sudah mengenali setiap jengkal hutan di sekeliling desa saya itu. Di mana ada pohon kemaduh (yang sangat ditakuti karena gatalnya), di mana tumbuh rawe yang juga ditakuti karena gatalnya, terutama saat musim berebunga, di mana ada kedung yang bisa disinggahi untuk mandi dan bersukaria, di mana biasanya orang memasang jebakan dan welah (bambu runcing) untuk menangkap celeng, kami, anak-anak desa tahu semuanya.

Kini, hutan seperti yang saya kenali, yang saya jelajahi setiap hari di masa kanak-kanak itu sudah tidak ada lagi, telah menjadi ladang dengan tanaman singkong, nilam, cengkih, dan di beberapa tempat ditanami pinus. Para warga desa masih menyebutnya, ’’alas’’ (hutan), tetapi itu hanya tinggal namanya saja. Bahkan, atas prakarsa Perhutani dibentuklah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yang, menurut saya sebetulnya lebih tepatnya adalah ’’Lembaga Masyarakat Desa Bukan Hutan”. [b]