Rabu, 16 Desember 2009

Boediono, Puntadewa atau Prabu Baka?

Laporan wartawan KOMPAS Suhartono

JAKARTA, KOMPAS.com - Usai membuka festival dalang bocah tingkat nasional 2009, Rabu (16/12/2009), Wakil Presiden Boediono menyaksikan lakon wayang kulit purwo yang berjudul "Pembebasan Eka Cakra". Ini adalah sebuah cerita yang diambil dari lakon pewayangan dengan dalang seorang siswa SMP kelas I Wuwus Nanang Galih Carito, asal Desa Cakul Kecamatan Jongko, Kabupaten Trenggalek.


Wapres yang mengaku sejak kecil menggemari wayang, terlihat begitu serius menyaksikan suguhan lakon wayang dari si dalang bocah tersebut. Sebelumnya, Wapres sempat bercerita bahwa sejak kecil ia menonton wayang, karena wayang merupakan hiburan yang murah, bahkan gratis. Padahal, di kota kelahirannya Blitar kala itu sudah ada sebuah bioskop, toh itu tak menjadi pilihannya.

"Setiap pagi saya dibangunkan oleh ayah saya, sekitar pukul 2 untuk menonton wayang. Karena memang, ayah saya melarang saya menonton semalam suntuk. jadi saya menonton ketika hari sudah mulai terang," katanya.

Menurut Humas Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Pusat, Bambang Asmoro lakon Pembebasan Eka Cakra bermakna tentang kejahatan dan angkara murka dikalahkan oleh kebaikan budi. Diceritakan, tentang adanya sebuah negeri yang dikuasai oleh raksasa pemakan manusia bernama Prabu Baka.

Setiap hari negeri Eka Cakra harus menyiapkan seorang manusia sebagai kurban untuk Prabu Baka. Pada suatu kali tiba giliran untuk keluarga Demang Widrapa, yang harus menyerahkan kurban. Keluarga tersebut ternyata kesulitan untuk mencari kurban manusia. Bukan karena tak ada, tapi karena masing-masing anggota keluarga mau mengorbankan dirinya, termasuk Demang Widrapa sendiri.

Di tengah kesulitan untuk memutuskan siapa yang bakal menjadi kurban, keluarga ini didatangi oleh para Pandawa yang bermalam di rumah mereka. Untuk menjamu para tamu, demang menyajikan makanan terbaiknya untuk para tamunya itu.

Suatu saat masalah di keluarga Demang diketahui oleh keluarga Pandawa. Ibu Pandawa, yaitu Dewi Kunti kemudian mengumpulkan anak-anaknya dan meminta anak tertuanya Puntadewa, untuk memerintahkan Bratasena menjadi kurban pengganti di keluarga Demang Widrapa.

Akhirnya, Bratasena bukan menjadi kurban, tapi justru berhasil membunuh Prabu Baka, sehingga keluarga Demang Widrapa dan Negeri Eka Cakra terbebaskan. "Cerita ini mempunyai makna tolong menolong, dan balas budi. Cerita ini juga bermakna bahwa angkara murka yang berhasil dikalahkan dengan kebenaran dan kebaikan. Prabu Baka itu simbol kerakusan dan keserakahan," ujar Bambang Asmoro.

Menurut Bambang, jika dikaitkan dengan kehidupan Indonesia saat ini, angkara murka ini bisa saja dibayangkan sebagai kasus korupsi yang sedang merajalela yang suatu saat akan dikalahkan oleh kebenaran. Tapi saat disinggung tentang pemilihan lakon berdurasi 25 menit ini dengan kasus Century yang tengah bergulir, Bambang mengelak.

"Wah itu urusan politik mas, jangan dikaitkan dengan cerita pewayangan," kata Bambang. "Tapi makna cerita ini memang bisa diperluas ke dalam kehidupan manusia sekarang ini," cetusnya.

Kompas-Cyber; Rabu, 16 Desember 2009 | 13:00 WIB

Sabtu, 05 Desember 2009

RINDU KAMPUNG

: cakul

di cakul orang menari
dalam irama dan nada gamelan mengalun
melintasi siang yang terik
menyibak hujan
di gelap malam
pesinden pun menimpali
suaranya meninggi
seperti hendak mengatasi
getir mengiris sepanjang hari


di cakul orang menangis
kehilangan air
di puncak kemarau

di rentang paceklik
orang cakul coba-coba menjual sisa suara
mereka parau
: terlalu banyak menjerit

di cakul ada pula orang mabuk
dan para kiai mengelus mereka
dengan penuh cinta

sedang aku hanya punya rindu
juga buat perempuan memegang alu
di bibir lesung itu


Bonari Nabonenar, Desember 2009

jawa pos minggu, 6 desember 2009

Google Penyubur Tanah

TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga tahun menggunakan pupuk organik benar-benar memberikan untung besar buat Suwito Wardi, petani Desa Cikutu, Kabupaten Serang, Banten. Kini produksi padinya melonjak dari 4 ton per hektare menjadi rata-rata 7,5 ton. "Bahkan pernah mencapai 9 ton," kata petani berusia 50 tahun ini. Suwito, yang memiliki 60 hektare sawah, pun lantas menjadi penangkar bibit sekaligus pemasok beras di sejumlah kios lokal.

Pupuk yang digunakan Suwito sejenis mikroba penyubur tanah yang sudah difermentasi. Pupuk mikroba ini temuan mahasiswa program doktor pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan Institut Pertanian Bogor, Ali Zum Mashar. Pada awal Oktober lalu, pupuk yang diberi nama BIOP 2000Z ini mendapat penghargaan bidang teknologi yang dilindungi hak paten dalam Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa yang pertama kali digelar oleh lima departemen dan kementerian.

Mikroba temuan Ali menyuburkan tanah dengan cara mengaktifkan beberapa potensi pada mineral tanah yang tersembunyi dan tidak berfungsi. Mikroba ini tidak hanya menyuburkan lahan pertanian, tapi juga lahan kritis bahkan bekas tambang. "Lahan bekas tambang bisa disuburkan kembali dalam jangka tiga tahun. Padahal biasanya lahan tambang bisa kembali subur setelah 30 tahun," kata Ali, Selasa pekan lalu. Kehebatan temuan inilah yang membuat Ali mendapat anugerah luar biasa tersebut.

Di tanah kritis atau berpasir, mikroba tersebut melacak potensi mineral yang tersembunyi dan menjadi bioaktivator tanah sehingga mampu menyuburkan tanah secara alami serta menetralkan racun dalam tanaman dan membangkitkan gen yang tertidur dalam tanaman tersebut. Jadi, selain menyuburkan tanah, mikroba ini juga membuat tanaman tumbuh maksimal. Karena cara kerjanya mencari potensi mineral, Ali menamakan temuannya itu Mikroba Google, meniru nama mesin pencari di Internet.

Adapun nama BIOP 2000Z merupakan kepanjangan dari teknologi bioperforasi. Angka 2000 adalah tahun pencatatan pada paten internasional, sedangkan Z kependekan Zum, nama tengah sang penemu. Meski sudah memperoleh paten internasional pada 2000, Ali mengatakan proses penemuan mikroba tersebut berlangsung sejak 1996. Sampai saat ini, ia menambahkan, proses penyempurnaan temuannya terus berlangsung. Ia juga membuat produk-produk turunan dan variasi dari mikroba itu untuk keperluan pertanian.

Ali, ayah tiga anak, menceritakan penemuan mikroba itu berawal ketika ia diberi tugas mendampingi transmigran proyek lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan Tengah. Proyek itu merupakan ambisi Presiden Soeharto pada 1996, yang ingin membuka sawah di lahan gambut di Kalimantan. Ali, yang baru menjadi pegawai Departemen Transmigrasi, bertugas mendampingi transmigran bercocok tanam di lahan gambut itu. "Saya ikut pada rombongan pertama," kata sarjana pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ini.

Setelah berbulan-bulan bercocok tanam, para petani setempat frustrasi karena padi tidak tumbuh. Bekerja di lahan gambut juga berdampak pada keadaan fisik petani. Tingkat keasaman yang sangat tinggi membuat petani kehilangan kuku tangan dan kaki. Ini dampak logam yang berinteraksi pada tanah asam sehingga menggerogoti kalsium kuku. Kelak, proyek lahan gambut itu memang dianggap gagal total, bahkan disebut-sebut merusak lingkungan karena ratusan ribu hektare hutan yang sudah dibuka dibiarkan terbengkalai.

Di tengah lahan gambut itulah Ali melihat ada tumbuhan pangan yang dapat hidup dengan subur di lahan terbatas. Tumbuhan itu ibarat seberkas cahaya di ujung lorong gelap. Ali yakin, ada jalan keluar untuk menyuburkan lahan gambut. Ia pun mengambil tanah di dekat pohon yang tumbuh subur itu, lalu memindahkannya ke lubang di lahan gambut yang akan ditanami pohon. "Ternyata berhasil, pohon yang ditanam tumbuh subur dan normal. Saya yakin ada sekelompok makhluk mini tak kasatmata yang menyuburkan tanah," katanya.

Ali lalu membawa contoh tanah itu ke Jakarta untuk diteliti. Benar saja. Di antara sampel tanah itu terdapat aneka mikroba seperti Lactobacillus sp, Rhizobium sp, Heterotrop, Saccharomyces sereviceae, Cianobacterium sp, Pseudomonas, dan Ectomycetes. Mikroba-mikroba itu dibiakkan lalu dicoba di berbagai kondisi tanah dan tumbuhan. Hasilnya, selain menyuburkan tanah, juga membuat pohon tumbuh lebih besar. Kedelai yang umumnya hanya setinggi satu meter, dengan diberi mikroba ini, bisa mencapai tiga meter.

Mikroba-mikroba tersebut menyuburkan tanah dan tanaman karena mengeluarkan zat bioaktif. Zat itu meningkatkan energi tanaman. Bila disemprotkan pada tanaman, mikroba masuk ke jaringan tumbuhan melalui stomata yang terdapat pada daun. Zat bioaktif adalah enzim yang berfungsi memotong rantai senyawa yang mengandung fosfat. Hasilnya berupa fosfat aktif yang mudah diserap tanaman. Mikroba seperti rhizobium pseudomonas membantu efektivitas penyerapan unsur hara oleh tanaman.

Soal pohon yang bisa tumbuh jumbo, ada pengakuan dari Museum Rekor Indonesia. Pohon kedelai yang ditanam Ali di rumahnya berukuran 3,8 meter, memiliki 2.500 polong. Menurut Robertus L., Manajer Teknologi PT Alam Lestari Maju Indonesia, perusahaan pembuat BIOP 2000Z yang didirikan Ali dan teman-temannya, hasil kedelai dalam satu hektare lahan dengan menggunakan pupuk ini 3-4 ton. "Biasanya hasil kedelai satu hektare 1,5-2 ton dengan rata-rata seratus polong," katanya.

Ali mengatakan, penggunaan pupuk mikroba akan mengurangi ketergantungan pupuk kimia yang selama ini digunakan kebanyakan petani. "Ini bisa mengatasi kelangkaan pupuk," katanya. Apalagi dampaknya terhadap produksi pangan sangat besar. Selain menambah subur lahan di Jawa yang selama ini menjadi sentra beras dan palawija, pupuk mikroba bisa membuat tanah gambut dan bekas tambang menjadi lahan pertanian dan perkebunan. "Saya ingin menyuburkan lahan gambut yang terbengkalai," katanya.
Meski hasil kerja pupuk itu sudah terbukti dan sejumlah kelompok tani memanfaatkannya, Ali mengaku penggunaan pupuknya masih terbatas. Padahal ia sudah berulang kali mempresentasikan temuannya di hadapan sejumlah petinggi Departemen Pertanian. "Mereka memang menyambut baik dan mendukung penggunaannya secara luas.

Tapi, ya sudah, hanya sampai situ," katanya. Ia berharap pemerintah melalui penyuluh tani mengenalkan pupuk ini kepada petani sampai ke pelosok daerah, sehingga meningkatkan produktivitas.

Tak banyak mendapat perhatian di negeri sendiri, Ali justru beroleh tawaran dari sejumlah negara untuk mengembangkan temuannya, antara lain Australia dan Qatar. Tawaran mereka macam-macam. Ada yang menawarkan kepemilikan bersama, pemenuhan kebutuhan hidup kelas satu hingga pindah kewarganegaraan. "Ini adalah bagian dari politik pangan mereka," katanya. Tapi Ali mengaku lebih memilih mengembangkan mikrobanya di Indonesia. "Saya sudah merasa cukup di sini."

Sabtu, 05 Desember 2009 | 22:35 WIB

Selasa, 01 Desember 2009

Pertanian Belum "Nyambung"

Brigitta Isworo Laksmi

Perubahan iklim akhir-akhir ini menjadi isu laris di sejumlah media massa. Isu itu semakin mendapat panggung menjelang perhelatan global Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009. Ironisnya, isu perubahan iklim ternyata masih elitis, antara lain di pertanian. Petani yang sehari-harinya bergulat dengan tanah dan iklim sebagai ranah utamanya ternyata sampai sekarang masih gagap dengan istilah perubahan iklim.


Koordinator Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko menegaskan hal tersebut saat berbincang dengan Kompas di kantornya yang teduh di Jakarta, Selasa (1/12).

”Petani memang sudah biasa mengamati musim dan itu dari tahun ke tahun memang selalu berubah. Lalu berurusan dengan musim, dan itu selalu berubah-ubah, terkadang maju dan terkadang mundur. Namun, ada kecenderungan musim hujan mulainya semakin mundur dengan intensitas hujan yang cenderung tinggi dan hanya berlangsung pendek,” ujar Tejo.

Apa yang dikatakan Tejo terungkap dalam sebuah testimoni yang digelar Civil Society Forum beberapa waktu lalu. Dominggus Tse, petani jagung dari Desa Nusa, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan, musim hujan yang normalnya berlangsung Oktober-Maret tidak lagi berlaku demikian. Alam mulai tak berpihak lagi kepada manusia. Dominggus pun kebingungan. ”Jika ditanam dan tidak ada hujan turun, tanaman jagung akan kerdil atau mati,” ujarnya. Adapun jika menunggu turun hujan dan ternyata intensitasnya langsung tinggi, jagung akan terlalu basah dan buah jagung pun akan lebih kecil dari biasanya. ”Kondisi seperti itu biasa kami sebut ’hujan tipu’,” lanjutnya.

Bukan hanya ukuran buah atau kondisi tanaman yang terpengaruh. Ketidakteraturan turunnya hujan juga menyebabkan maraknya penyakit ”bercak coklat”. Pada akhirnya, ”Kalau kami tidak hati-hati menghitung kapan musim hujan mulai, itu bisa membahayakan persediaan pangan keluarga,” tutur Dominggus.

Tejo menambahkan, masyarakat petani semakin terganggu karena peninggalan leluhur, yaitu secara kultural petani mengenal pranata mangsa sudah semakin hilang.
”Sementara itu, para petani sering kali kecewa dan enggan menggunakan informasi prakiraan iklim. Mereka lantas menyimpulkan, prakiraan tersebut tidak bisa diandalkan”, demikian penjelasan dari hasil penelitian Rizaldi Boer (Petani Menduga Musim, 2009).

Sementara itu, dari hasil penelitian yang dilakukan Mezak Ratag (2007), seperti dikutip pada buku Petani Menduga Musim (Climatejustice dan Oxfam Hongkong, 2009), telah tampak terjadi perubahan pola awal musim hujan dan kemarau.

Hasil perbandingan data 1961-1990 dan 1991-2003 menunjukkan 22% awal musim kemarau teratur, 33% lebih cepat, dan 45% lebih lambat dari biasa. Adapun untuk musim hujan, 36% data memperlihatkan awal teratur, 40% lebih cepat, dan 24% lebih lambat. Perubahan mulai tampak setelah tahun 2000.

Padahal, tutur Tejo, jika gangguan terkait iklim ini berlangsung berlarut-larut, suatu ketika ketersediaan pangan masyarakat—yang menjadi tujuan program Desa Mandiri Pangan— akan terganggu.

Rupanya terdapat kesenjangan antara isu perubahan iklim seperti dipahami para ahli dan yang dihayati petani berupa pergeseran saat pergantian musim. ”Petani sendiri masih butuh waktu untuk memahami isu tersebut. Informasi (perubahan iklim) masih dari luar. Pengalaman mereka itu perlu kami strukturkan agar mereka paham tentang perubahan iklim. Petani yang di Pulau Jawa mungkin ada yang memfasilitasi diskusi tentang itu, tetapi itu pun masih terbatas,” ujar Tejo.

Memang sudah ada sekolah lapang iklim di beberapa desa yang bertujuan agar petani mampu memahami dan menerapkan informasi prakiraan musim (IPM) sebagai masukan strategi pola tanam (Boer, dkk., 2003). Yang terjadi ternyata, seperti dikatakan Manajer Kebijakan, Advokasi, dan Kampanye Oxfam P Raja Siregar beberapa waktu lalu, ”Petani ternyata tidak mengubah strategi pola tanamnya. Setiap tahapan proses tanam masih berdasarkan kebiasaan lama.”

Adapun birokrat pertanian belum melakukan diskusi intens tentang perubahan iklim. ”Kalau secara agregat persediaan pangan masih aman, pemerintah juga menganggap aman saja. Ketika itu dipandang aman, isu perubahan iklim tampak semakin tidak nyambung,” ujar Tejo.

Sementara itu, lanjut Tejo, ”Ketika berbicara perubahan iklim, yang paling dekat adalah langkah adaptasi. Sementara kalau pemerintah melihat penyelesaian adaptasi perubahan iklim dari pertanian, itu selalu dengan bioteknologi. Jatuhnya adalah dengan benih transgenik. ”Berbicara segi kemandirian di sektor benih, itu masih merupakan pekerjaan rumah yang besar sekali,” tegasnya.

Benih transgenik bisa jadi memang tersedia, tetapi di sisi lain petani akan semakin tergantung karena benih transgenik dimiliki perusahaan multinasional.

Tampak bahwa dalam urusan perubahan iklim yang tak terhindarkan ini posisi petani kian terjepit. Di satu sisi adaptasi harus segera dilakukan, tetapi di sana juga menganga jurang yang akan bisa memerangkap kemandirian dan nasib petani.


Kompas, Rabu, 2 Desember 2009 | 02:46 WIB

Warsiyah, Benih untuk Perubahan Iklim

oleh: Idha Saraswati Wahyu Sejati

Pemahaman Warsiyah (52) tentang istilah perubahan iklim baru muncul akhir-akhir ini. Namun, sebagai seorang petani yang sudah puluhan tahun bergumul dengan lumpur sawah, ia merasakan perubahan di sawah sejak lama. Beruntung ia terbiasa mandiri sebagai petani. Petani bisa mengantisipasi kerugian akibat perubahan iklim dengan kembali pada benih-benih padi lokal yang selama ini ditinggalkan.Di daerah asalnya, yakni di Desa Kalensari, Widasari, Indramayu, Jawa Barat, penanda perubahan itu antara lain tampak dari hawa di sawah yang semakin panas. Tanaman sampai layu karena tak tahan hawa panas. Pasokan air ke sawah juga tak lagi selancar dulu.


Petani memang menjadi salah satu pihak yang paling merasakan dampak negatif perubahan iklim. Patokan musim tak lagi berlaku seiring dengan perubahan kondisi lahan. Perubahan itu membuat petani salah prediksi sehingga jerih payah mereka sia-sia.

Belajar dari pengalaman, Warsiyah mengerti perubahan kondisi lahan menuntut perubahan perlakuan. Benih padi yang sebelumnya cocok di sawah, kelak tidak akan lagi sesuai. Sebab, sejumlah lahan sawah yang dulu cukup pasokan air kini mulai mengering.

”Kalau benih pabrik itu kan dibuatnya secara nasional. Jadi kalau kondisi tanah di daerah berubah, benih itu belum tentu sesuai dengan kondisi tanah di daerah,” kata Warsiyah, saat ditemui awal Oktober lalu dalam sebuah pelatihan pemuliaan tanaman di Yogyakarta.

Namun, kesimpulan semacam itu justru membuat Warsiyah lega. Ia merasa siap menghadapi perubahan itu karena telah memiliki cadangan benih padi yang tak biasa dalam jumlah besar.

Sejak lama, ia telah menjadi kolektor benih-benih padi lokal yang kini jumlahnya semakin langka akibat kebijakan penyeragaman benih padi secara nasional. Ia juga sudah menyilangkan padi dari benih-benih itu hingga menghasilkan ratusan jenis padi baru.

Pemulia
Sebelum mendapat ilmu tentang teknik pemuliaan tanaman, Warsiyah yang menjadi petani sejak belasan tahun juga menanam benih buatan pabrik di sawahnya. Kebiasaan semacam itu sudah berlangsung sejak awal 1980-an, yakni ketika petani di desanya mulai diajak beralih dari benih padi lokal ke varietas baru yang berumur lebih pendek dan menghasilkan lebih banyak beras.

Meski begitu, petani mengenal benih pabrik sebagai benih yang kurang tahan serangan hama.

Kebiasaan Warsiyah mengonsumsi benih pabrik berubah setelah dirinya mengikuti pelatihan yang diadakan Yayasan Farmer’s Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia pada tahun 2002. Waktu itu, ia bersama sejumlah petani Indramayu diajak mengkaji padi hibrida yang ternyata keturunannya tidak bisa ditanam ulang oleh petani.

”Itu kan bahaya. Petani tidak bisa seperti orang dulu yang mengambil benih dari lahan sendiri untuk ditanam sendiri,” ungkapnya.

Selain mengkaji padi hibrida, dari pelatihan itu Warsiyah yang lulusan sekolah dasar juga mendapat teori sekaligus praktik pemuliaan tanaman. Berbekal ilmu barunya, Warsiyah mencoba menyilangkan padi sendiri. Untuk menunjang percobaannya, ia mulai mengumpulkan benih-benih padi lokal di sekitar Indramayu, seperti gundil, jalawara, cengkong, glewang, warong, serta jambon.

Saat berada di Yogyakarta, ia membawa sebagian koleksi benihnya. Dikemas dalam wadah bohlam lampu pijar, benih-benih itu ada yang berwarna putih, merah, dan hitam. Ia juga membawa benih ketan lokal. Benih lokal dianggap penting karena terbukti lebih cocok beradaptasi dengan lingkungan setempat.

Benih-benih itu ternyata masih disimpan oleh petani desa dan bisa ditebus dengan harga mulai dari Rp 10.000 per malai. Sampai sekarang ia mengaku sudah mengoleksi sekitar 30 jenis benih padi dan ketan lokal. Benih-benih itu sering ditukar dengan benih milik petani lain di desanya yang telah ikut menjadi pemulia. ”Jadi, kalau ada tetangga yang punya varietas lain kami bisa saling pinjam,” ujarnya.

Dengan benih-benih itu, ia membuat ratusan kombinasi penyilangan. Tujuan utamanya adalah mencari varietas unggulan yang bisa bertahan hidup meskipun pasokan air kurang; tahan serangan hama; produktivitas tinggi dan umur panen pendek. Dalam kasus perubahan iklim, petani akan memerlukan benih padi yang bisa bertahan dalam lahan minim air.

Menurut dia, mencari varietas unggul seperti orang Jawa mencari jodoh. Bobot, bibit, dan bebet benih sangat diperhitungkan. Seorang pemulia mesti memahami karakteristik tanaman. Ada padi yang tahan hama dan produktivitasnya tinggi, tapi rasanya tidak enak. Ada juga padi yang rasanya enak, tapi produktivitasnya rendah.

Dengan mengenali kelebihan dan kelemahan setiap jenis padi, jalan menuju penemuan varietas unggulan akan semakin terbuka. ”Tinggal nanti bagaimana hasil persilangannya. Kalau untuk lahan yang airnya kurang, varietas padi yang biasa ditanam di ladang seperti padi gogo bisa jadi indukan,” tuturnya.

Warsiyah menyilangkan jenis-jenis padi itu dan kemudian menanam hasilnya dalam lahan seluas 5.000 meter persegi. Akibatnya, bulir padi yang ia hasilkan saat panen tidak seragam, baik dari bentuk, sifat, maupun rasa. Untunglah hasil panen itu tetap diterima pedagang sehingga ia bisa mendapat pemasukan.

Tahun ini Warsiyah sudah menghasilkan 104 varietas padi baru. Namun, hingga lebih dari lima tahun menjadi pemulia, varietas unggul yang diidam-idamkannya belum juga muncul.

Membagi ilmu
Meski punya obsesi menemukan varietas unggulan, Warsiyah tidak lantas menyendiri dengan bunga-bunga padi. Ilmu yang ia peroleh dari pelatihan dan praktik langsung di sawah tidak dimanfaatkan sendiri. Ia aktif membagikan ilmu dan pengalamannya ke sejumlah kelompok petani di Indramayu serta daerah lain di Indonesia. Selain petani, dosen, dan mahasiswa, rombongan petani dari negara lain juga kerap datang ke tempatnya untuk melakukan studi banding.

Pengalaman bergelut dengan bunga padi juga membuat dia pandai menyilangkan jenis tanaman lain, terutama sayuran. Ilmu itu pun telah ia bagi setiap kali menjadi pemateri pelatihan di sejumlah tempat. Berdasarkan pengalamannya sendiri, ia percaya bahwa petani bisa diajak berubah.

Bagi Warsiyah, menjadi petani pemulia berarti memilih menjadi pemain. Dengan menjadi pemulia, petani lebih aktif sehingga bisa mengurangi ketergantungan kepada pihak lain. Kemandirian itulah yang dibutuhkan petani untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi di lingkungan mereka.

WARSIYAH
• Lahir: Indramayu, 27 Juni 1957 • Pendidikan: Lulusan sekolah dasar • Istri: Amna • Anak: Ikhwan (38), Khumaiyah (35), Kadir (36), Nasuka (33), dan Taningsih (29) • Aktivitas: Koordinator Sains Petani pada Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat


Kompas, Selasa, 1 Desember 2009 | 03:01 WIB