Sabtu, 25 April 2009

PSJB akan Pentaskan Wayang Trobos: Poli Tikus

Mendukung/berpartisipasi untuk FSJ-2009 di DesaCakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek (17 – 18 Juni 2009) Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro di bawah komandan Pak JFX Hoery akan mementaskan wayang trobos (pakeliran teatrikal) dengan lakon Poli Tikus, berdurasi 45 menit. Pemilik buku guritan Pagelaran itu melalui SMS mengatakan bahwa rombongan PSJB kira-kira berkekuatan 15 – 20 orang, termasuk pemilik situs www.babungeblog.blogspot.com (Sri Lestari) dari Blora.

Minggu, 19 April 2009

Teater Garasi di Desa Cakul, Kec. Dongko, Trenggalek, 3 Mei 2009

Sum, Sebuah Cerita dari Rantau
Fragmen Getir Para Pekerja Migran

Kegetiran menjadi nafas yang seketika terhirup begitu Very memulai pementasan ini. Sum, Sebuah Cerita dari Rantau, adalah monolog produksi Teater Garasi yang menceritakan empat fragmen kisah buruh migran yang terhubung satu sama lain oleh ’aku’ yang diceritakan tengah melakukan studi tentang buruh migran. Keempat buruh migran perempuan tersebut bekerja di empat negara berbeda, namun semuanya memiliki cerita yang relatif sama. Perih, getir. Walaupun pada beberapa bagian, penonton diajak tertawa oleh keluguan tokoh yang diceritakan.


Adengan dibuka dengan keriangan Sum, seorang calon buruh migran dari Indramayu yang hendak berangkat ke Saudi. Keriangan yang bercampur kebingungan dan ketidakpastian mengingat tempat kerja yang akan dituju begitu jauhnya dari kampung kelahirannya.

Tokoh lain yang dihadirkan dalam monolog ini adalah seorang mantan pekerja migran di Malaysia. Tokoh ini diceritakan demikian kuat harga dirinya, tak hanya harkat diri yang coba ia pertahankan di Negri Jiran, tetapi juga harga diri bangsanya. Dalam cerita tersebut, ditampilkan betapa marah ia disebut sebagai ’Indon’ karena dalam kata tersebut terkandung perendahan terhadap martabat bangsa Indonesia.

Tak hanya penonton yang diajak merenung untuk akhirnya diajak membuka mata terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Very sendiri, selaku pemain dan penggagas cerita merasa bahwa lakon ini sebegitu kuat mempengaruhi pikirannya. Ia yang selama 15 tahun berproses bersama Garasi mengaku, dalam lakon inilah segenap pikiran, perasaan, dan tenaganya ’habis-habisan’ ia curahkan.

Monolog sendiri sebenarnya merupakan program baru dari Teater Garasi. Berawal dari kegelisahan tenggelamnya individu dalam kelompok, pada tahun 2006 dimunculkanlah program bernama Solo Project. Dalam program ini, setiap pekerja kreatif difasilitasi sehingga, ’’Masing-masing bisa tumbuh, mandiri, tidak tertutup oleh Garasi,’’ jelas Very.

Lakon Sum yang diangkat Very, terinspirasi oleh pementasan monolog seorang aktris monolog yang menggelar pertunjukan di Jakarta. Menonton pertunjukan tersebut, membuat Very membulatkan tekad, ’’Aku harus bermain bagus.’’

Buruh migran menarik perhatiannya karena ia melihat sebegitu besar dan rumitnya persoalan mereka. Tak hanya kemiskinan, tiadanya lapangan pekerjaan, serta perbedaan budaya saja yang harus dihadapi para buruh migran ini. Lebih dari itu, hal yang demikian besar, terkait dengan kebijakan pemerintah, politik antarnegara, hingga jaringan perdagangan manusia menyatu di dalamnya.

Kurang lebih setahun lamanya, Very melakukan observasi dan pengumpulan data untuk lakon ini. Kenyataan yang ia temukan dalam setahun tersebut justru membuatnya ingin melakukan studi lebih lanjut lagi. ’’Ini lingkaran setan. Aku sempat merasa marah,’’ komentarnya terhadap fakta yang ia dapatkan. ’’Tidak fair bagi mereka.’’

Pentas monolog ini digelar pertama kali bulan November 2008, di sebuah desa di wilayah DI Yogyakarta yang sebagian warganya menjadi buruh migran. Bulan Mei 2009 ini, rencananya Very akan kembali mementaskan monolognya di di desa-desa di wilayah Jombang, Tulungagung, dan Trenggalek. [am]

Jumat, 17 April 2009

Tumbuhkan Kebanggaan Warga akan Desanya

Jika tak ada aral, Festival Sastra Jawa dan De¬sa (FSJD) 2009 bakal di¬gelar di Desa Cakul, Ke¬¬camatan Dongko, Kabu¬paten Trenggalek, Jawa Timur (17 – 18 Juni). Se¬ta¬hu saya, sejauh ini be¬lum pernah digelar festival untuk sastra Jawa. Yang sering digelar ada¬lah sarasehan. Dari sisi kuantitatif ini akan me¬nam¬bah agenda dalam sastra Jawa. Kongres sas¬tra Jawa (KSJ) sudah digelar untuk kedua kalinya (Semarang, September 2006). Kongres Bahasa Ja¬wa sudah digelar 4 kali sejak 1991.

Ada satu agenda lagi yang mewarnai perkembangan sastra Jawa (modern) yakni pemberian penghargaan tahunan untuk buku dan tokoh sastra Jawa (bersama buku dan tokoh dari jagad sastra Sunda, Lampung, Bali).

Kongres Bahasa Jawa (KBJ) adalah hajat bersama tiga daerah (Jawa Tengah, Daerah Isti¬mewa Yogyakarta, dan Jawa Timur). Biayanya pun ditanggung oleh ketiga pemerintah daerah tersebut. Sekitar Rp 5 miliar dihabiskan untuk penyelenggaraan KBJ IV (Semarang 2006). Ada ironi di sini. Dana bermiliar-miliar bisa dikelu¬arkan untuk kongres 5 tahunan itu, sedangkan pemberian hadiah tahunan untuk 2 orang (de¬ngan nilai Rp 5 juta/orang) selama ini baru bisa diberikan oleh pihak ’’luar Jawa’’, yakni Yaya¬san Rancage yang semula didirikan sastrawan Ayip Rosidi untuk Sastra Sunda.

FSJD 2009, mengapa perlu ditambahkan unsur D (desa) dan tidak fokus pada SJ (Sastra Jawa) saja?

Sastra Jawa (di Jawa Timur)

Sastra Jawa adalah warga sastra Indonesia dan juga sastra dunia, yang layak diberi ruang hi¬dup, tumbuh dan berkembang sesuai keinginan masyarakat pendukungnya.

Jawa Timur memiliki tokoh-tokoh yang dise¬gani di jagad sastra Jawa. Di Surabaya ada Dr. Suripan Sadi Hutomo [alm.], Suparto Brata, Satim Kadaryono, Drs. Moechtar, Suharmono Kasiyun, Widodo Basuki, di Tulungagung ada Tam¬sir AS (alm.), Tiwiek SA, di Bojonegoro ada Djayus Pete, JFX Hoery, di Banyuwangi ada Esmiet [alm.], di Mojokerto ada ST Ies¬mani¬asita [alm.] sekedar menyebut mereka yang per¬nah mendapatkan Hadiah Rancage.

Selain itu Jawa Timur juga memiliki Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Dua buah majalah berba¬hasa Jawa dengan kesejarahan panjang yang hingga saat ini masih memiliki pembaca setia, yang sebagian besar adalah masyarakat desa. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar pendu¬kung sastra Jawa modern adalah masyarakat daerah pinggiran maupun pedesaan. Sayangnya kenyataan tersebut tidak serta-merta memuncul¬kan keberpihakan para sastrawan terhadap ma¬syarakat desa dengan segala persoalannya.

Desa

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2005, desa adalah suatu kesatuan masyarakat un¬dang-undang yang memiliki batas-batas wilayah yang berupaya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengacu pada batasan tersebut, desa dapat diar¬tikan sebagai sebuah wilayah dengan segela keunikannya yang dilindungi oleh negara. Na¬mun dalam berbagai wacana, ternyata termino¬logi desa lebih sering dikaitkan dengan perso¬alan kemiskinan, kebodohan, serta keterting¬galan-ketertinggalan lainnya.

Memang dalam kenyataannya, desa identik dengan segala ketertinggalan. Terlebih dalam hal pertumbuhan ekonomi yang merupakan titik berat Program Pembangunan Nasional di negri ini. Pembangunan serta investasi yang lebih banyak terfokus di kota menjadikan kon¬disi desa tidak berubah dari masa ke masa.
Desa hanya difungsikan sebagai wilayah penghisapan pusat pembangunan di kota-kota. Bukan hanya kota-kota di wilayah terdekatnya, melainkan juga di tingkat nasional, maupun internasional. Bahkan, kota-kota di negara berkembang dapat dikatakan sebagai perantara sumber daya ke negara maju saja.

Meski telah terjadi pergantian pemimpin berka¬li-kali, secara umum kondisi desa-desa di wila¬yah Indonesia tidak banyak mengalami perbai¬kan. Paradigma pembangunan menjadikan sum¬ber daya terpusat di sektor dan kawasan yang potensial menyumbang pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan perpindahan sumber daya secara besar-besaran ke pusat-pusat pertum¬bu¬han. Akibatnya terjadi penurunan kualitas ling¬kungan serta kelangkaan individu potensial di pedesaan.

Trenggalek, sebuah kabupaten yang sebagian besar wilayahnya merupakan pedesaan meng¬alami permasalahan yang sama. Selain sumber daya alam yang terus mengalir ke kota-kota lain, potensi warga kabupaten ini juga lebih banyak memberikan sumbangan pada kota-kota di sekitarnya, termasuk kota provinsi.

Sastra Jawa dan Desa

Demikian juga dengan potensi sastrawannya. Nama-nama seperti: Widodo Basuki (Munju¬ngan/Redaktur Jaya Baya), St Sri Purnanto (Panggul), Jarot Setiyono, Nanang Windradi (Trenggalek), Edy Santosa (Durenan), Sita T Sita (Pogalan), dipandang cukup mewarnai perkem¬bangan dunia sastra Jawa modern. Mereka adalah sastrawan Jawa asal Trenggalek, namun selama ini kurang berkontribusi secara optimal terhadap daerah asal mereka.

Oleh karenanya perlu dipertegas peran apa yang harus dilakukan oleh para pengarang/sastrawan Jawa dalam rangka berpartisipasi pada pembangunan masyarakat pedesaan, terlebih di Era Global seperti sekarang.

Festival Sastra Jawa yang rencananya digelar di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Treng¬galek, Jawa Timur, diharapkan dapat menjawab persoalan di atas sehingga mampu menumbuhkan kembali kebanggaan masyarakat akan desanya.
Dengan demikian, sastra tidak lagi menjadi karya yang berjarak dengan pendukungnya, ka¬rena mampu menyuarakan persoalan masyarakat. Termasuk di antaranya masyarakat pedesaan.

Dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, Festival Sastra Jawa bisa dijadikan agenda tahunan, sebagai upaya untuk menuju forum ’’silaturahmi budaya’’ yang le¬bih besar (berskala nasional) yang kelak bisa di¬namakan Festival Sastra Etnik Nusantara. []

Bonari Nabonenar, Ketua Panitia Festival Sastra Jawa 2009

Radar Tulungagung, Rabu 15 April 2009

Kamis, 09 April 2009

KOPI DAN MARTABAT BANGSA

Saya penyuka kopi. Sejak zaman kakek-nenek buyut saya minum kopi terutama di pagi hari adalah "ritual" harian di dalam keluarga besar kami. Di bangku sekolah dasar saya kemudian tahu, bahwa kopi adalah salah satu produk pertanian yang merangsang bangsa penjajah untuk menjarah negeri ini. Terutama di negeri-negeri dingin, di Barat, kopi tidak bisa tumbuh/berkembang dengan baik.

Bangsa Indonesia, seharusnya lebih kenal, lebih tahu, lebih paham soal kopi. Daripada bangsa-bangsa lain yang bukan produsen kopi.

Belakangan ini, saya sering memergoki tayangan iklan di televise, untuk produk kopi, yang sangat menganggu perasaan saya. Inilah, menurut saya, iklan yang secara gamblang merendahkan martabat bangsa Indonesia. ’’Tuh, bule aja doyan!’’ kata perempuan dalam tayangan itu. Lhah! Kalau bule doyan, lalu kita tidak doyan, apakah ada salahnya?

Kalaulah ada pepatah bilang bahwa derajat seseorang bisa diketahui dari seleranya, saya bisa setuju untuk urusan lain selain makanan. Bukankah makanan yang sering dikonotasikan dengan kemewahan hidup, kegagahan, gengsi tinggi, kemudian ternyata adalah sumber penyakit yang potensial memperpendek umur atau setidaknya menggerogoti kualitas kehidupan itu sendiri?

Kembali ke soal kopi lagi, saya kira seharusnya justru para bule itu yang melihat kita, dan berseru, ’’Tuh lihat orang Jawa/Indonesia pun (yang mengenal kopi sejak di dalam kandungan) suka kopi jenis ini!’’

Maka, iklan yang mengganggu perasaan saya itu benar-benar menunjukkan mental inlander, dan sekaligus, sekali lagi, merendahkan martabat bangsa Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?[Bonari Nabonenar]

Selasa, 07 April 2009

PPSJS Gelar Festival Sastra Jawa dan Desa

By Republika Newsroom

SURABAYA -- Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) akan menggelar festival Sastra Jawa yang digabung dengan festival desa di sebuah kampung di Kabupaten Trenggalek, Jatim, 17 - 18 Juni 2009.
"Festival ini akan digelar di Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko agar peserta lebih dekat dengan masyarakat bawah. Selama ini kan acara-acara festival selalu digelar di kota," kata Ketua PPSJS, Bonari Nabonenar di Surabaya, Rabu.


Festival yang juga didukung oleh Sanggar Triwida Tulungagung dan Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) itu diharapkan bisa memberdayakan masyarakat desa. Masyarakat Cakul dan sekitarnya juga akan dilibatkan dalam kegiatan festival desa.

Kegiatan dalam festival tersebut, antara lain, pentas cerpen atau cerita "cekak", pembacaan puisi (geguritan), teatrikal cerita cekak, lokakarya pembacaan cerita dan puisi yang dikhususkan untuk siswa-siswa SD dan SMP.

"Kami juga akan melibatkan guru-guru agar terlibat dalam seminar mengenai Sastra Jawa. Pesertanya adalah guru-guru Bahasa Jawa yang ada di Trenggalek dan sekitarnya," kata penulis novel dan cerpen berbahasa Jawa itu.

Selain itu juga akan digelar sarasehan pengarang Sastra Jawa dengan tema "Sastra Jawa dan Desa". Sarasehan itu akan diikuti pengarang Sastra Jawa dari Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Solo dan Jawa Timur.

"Para peserta itu akan menginap di rumah-rumah warga sehingga juga bisa berinteraksi dengan mereka. Pada festival itu, warga desa juga diharapkan menampilkan hasil kerajinan lokal dan mementaskan kesenian lokal untuk diapresiasi masyarakat," katanya.

Pihaknya juga akan mengadakan lokakarya pertanian untuk masyarakat desa dengan mengundang sejumlah pakar pertanian. Diharapkan masyarakat bisa banyak belajar mengenai pertanian yang baik dari pakar tersebut.

"Kami berharap festival Sastra Jawa ini bisa menjadi embrio dari festival sastra etnik nusantara yang tujuannya untuk ikut melestarikan kekayaan seni budaya bangsa," ujarnya.ant/taq


Republika [Rabu, 18 Maret 2009 pukul 12:21:00]

Senin, 06 April 2009

Festival Sastra Jawa di Trenggalek

Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya akan menggelar kegiatan sastra bertajuk "Festival Sastra Jawa", 17-18 Juni mendatang, di Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Bonari Nabonenar, Selasa (17/3), mengatakan, kegiatan dalam Festival Sastra Jawa ini meliputi seminar, pentas sastra, dan pembacaan cerita pendek berbahasa Jawa. "Dalam festival nanti kami melibatkan masyarakat desa, selain dari kalangan pelajar dan guru," katanya. (TIF)

Kompas JAtim
Prasasti Rabu, 18 Maret 2009 | 16:40 WIB

Minggu, 05 April 2009

NGLARAN

Nglaran adalah sebuah dusun di wilayah Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Pedusunan yang terletak 45 kilometer arah barat daya Kota Trenggalek ini dihuni oleh kurang lebih 1600 jiwa. Mereka tersebar di 10 RT dalam 11 satuan pemukiman yaitu Nglaran, Ledokan, Poko, Gedhangkluthuk, Judelan, Donosari, Tumpak Salam, Gempol, Temon, Tumpak Kangkung, dan Menggeng.

Sebagai sebuah dusun yang terletak di jajaran pegunungan kapur, Nglaran memiliki berbagai keunikan yang tidak ditemukan di dusun lain di wilayah dataran rendah maupun dataran tinggi di kawasan gunung berapi. Keunikan dan daya tarik karst, seperti gua, mata air bawah tanah, sungai buta, permukaan tanah yang tidak rata, dapat dijumpai tersebar di dusun ini. Tentu daya tarik tersebut juga berpadu dengan segala ciri lain yaitu kelangkaan air, baik air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari maupun air untuk irigasi.

Tidak ada dokumen tertulis mengenai kesejarahan dusun ini. Tokoh masyarakat setempat juga tidak mengetahui secara pasti bagaimana awal mula berdirinya Nglaran. Namun tradisi-tradisi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber air bersih seperti masonan dapat sedikit memberi petunjuk bagaimana pemukiman mulai berkembang di Nglaran.

Seperti halnya sejarah peradaban manusia pada umumnya, keberadaan sumber air menjadi penanda adanya kehidupan di sekitarnya. Dalam kebudayaan Nglaran, kelompok pengguna air (mason) kemudian menjadi ikatan sosial-emosional warga, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber air maupun dalam hal lain. Ikatan berdasar mason itu tampak dari ritual warga yang diselenggarakan berdasarkan masonan, seperti bersih desa, atau ritual lainnya.

Seperti desa-desa lain di Trenggalek, cengkih merupakan komoditas utama dari dusun ini pada Era 1980-an. Tingginya harga cengkih serta pertumbuhannya yang cukup bagus di daerah ini menjadikan lahan pertanian warga kemudian juga dialihfungsikan menjadi lahan cengkih.

Namun pada tahun 1990-an, kejayaan ini mulai meredup. Pohon yang mulai menua, teknik pemupukan yang keliru, serta menyebarnya wabah bakteri pembuluh kayu menjadikan tanaman cengkih tidak produktif lagi. Bahkan banyak di antaranya yang mati. Kini kejayaan cengkih di dusun ini tinggal sisa-sisanya saja. Meski sebagian besar masyarakat Nglaran masih memiliki pohon cengkih, tetapi produksinya sudah merosot jauh.

Dampak nyata dari merosotnya produksi andalan ini adalah menurunnya kesejahteraan warga. Terutama para petaninya. Terlebih hingga saat ini belum ditemukan komoditas pertanian lain yang dapat menggantikan posisi cengkih sebagai komoditas pertanian andalan.

Kondisi tersebut pada akhirnya memicu tingginya jumlah warga yang keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan di kota. Surabaya, Malang, Tulungagung, bahkan kota-kota di Kalimantan menjadi tujuan kerja warga Nglaran. Tenaga kerja ini sebagian besar terserap di sektor industri, konstruksi, dan perkebunan. Sementara tenaga kerja perempuannya terlibat di sektor rumah tangga.

Terbatasnya pilihan sektor pekerjaan warga Nglaran tersebut juga disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan warga. Rata-rata anak muda dusun ini hanya menyelesaikan pendidikan setingkat sekolah menengah pertama. Sebagian kecil saja yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga sekolah menengah atas, dan beberapa orang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Persoalan besar lain yang dihadapi oleh masyarakat Nglaran adalah keterbatasan air bersih, terutama pada musim kemarau. Dari sebelas mata air yang ada, saat ini tinggal lima buah mata air yang dapat diandalkan warga pada musim kemarau. Itu pun dengan debit yang sangat kecil, sehingga tak jarang warga harus mengantri hingga berjam-jam untuk mendapatkannya. [sa]