Kamis, 19 Februari 2009

Tanam Bambu, Hasilkan Rebung Rasa Ayam


Bila Anda memiliki lahan pertanian yang kosong ada baiknya untuk membudidayakan tanaman bambu. Tidak memerlukan perawatan njlimet sebagaimana tanaman produksi lainnya, dan hasilnya sudah jelas. Apalagi jenis bambu tertentu, selain bisa dijual batangnya yang sudah tua, tunas [rebung]-nya pun banyak yang menyukainya untuk disayur.

Budidaya bambu rebung dapat dilakukan baik didataran rendah maupun dataran tinggi. Enaknya lagi, bambu dapat tumbuh dan berkembang pada lahan tandus sekalipun. Namun, untuk memperoleh pertumbuhan yang maksimal dan kualitas rebung yang bagus sebaiknya ditanam di lokasi yang subur .

Dari berbagai macam jenis bambu ternyata hanya beberapa jenis saja yang dapat diambil rebungnya sebagai sayur, yaitu Bambu Petung, Ampel, Wulung, dan satu lagi Bambu Ayam [semua itu adalah nama-nama yang popular di Desa Cakul, khususnya dusun Nglaran).

Bambu Ayam merupakan jenis bambu yang penghasil rebung dengan kualitas rasa paling bagus. Bahkan untuk memasaknya pun hanya perlu dicuci sampai bersih, diiris-iris, dan kemudian dimasak bersama bumbu. Tidak perlu diebosi [direbus sampai mendidih dan dibuang airnya].

Bambu ayam memiliki rumpun yang rapat dan pertumbuhannya termasuk cepat, dengan ketinggian 25 meter. Warna buluhnya hijau segar. Panjang ruas 30 - 50 sentimeter, dengan ketebalan 1- 2 sentimeter.

Jenis ini bisa tumbuh di dataran rendah dan yang paling bagus pada daerah yang memiliki ketinggian 600-1000 di atas permukaan laut. Selain diambil rebungnya bambu ini juga baik untuk bahan baku kerajianan rakyat.

Rebung yang dihasilkan dari bambu ini disebut sebut yang paling enak, Rasanya memiliki aroma seperti daging ayam. Daging rebungnya hanya sedikit memiliki serat, cara memasaknya pun sangat mudah. Setelah rebung dikupas dan diiris sesuai selera langsung bisa dimasak seperti sayur lainnya. Tidak seperti rebung dari jenis lain yang harus di rebus bahkan di rendam lebih dahulu untuk menghilangkan rasa pahitnya.

Rebung Bambu Ayam ini sangat cocok bila di buat sop atau pun model sayur kering. Bila dibuat sup aromanya menyerupai sup ayam. Sedangkan untuk sayur kering diperlukan proses pengeringan lebih dulu. Rebung yang masih segar diiris lalu dikeringkan terlebih dahulu dengan cara di jemur di bawah terik matahari. Setelah kering dengan ditandai perubahan warna menjadi hitam maka rebung siap di masak.

Rasa masakan dari rebung yang telah di keringkan ini tidak lagi memiliki rasa dan aroma seperti ayam lagi namun rasa dan aromanya berubah menyerupai rasa jamur, hanya sedikit yang membedakanya yaitu rasa serat halusnya. Bahkan bagi yang belum pernah merasakan rebung ini akan sulit membedakan antara rasa rebung dengan rasa jamur. [PUR]

Catatan: Hadiri Festival Desa dan dapatkan bibit ’bambu ayam’ yang bisa diolah jadi…. mak nyus ini.

Mbah Pojem


Hari masih pagi saat NglaranKita bertandang ke rumah kediaman Pojem [56] warga Dusun Sidem, Desa Cakul, Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Tampak rumah ukuran 4 x 6 meter yang sebagian besar sudah tampak lapuk. Dindingnya terbuat dari ayaman bambu dan sudah dipenuhi tambalan.

Saat penghuninya membuka pintu terdengar derit seperti barang yang mau patah, ternyata benar, pintu itu salah satu tuang penyangganya kelihatan mau patah karena sudah lapuk. Bila masuk ke dalam rumah tampak atap gentingnya pun banyak yang sudah bolong, sehingga bila musim penghujan dapat dipastikan ruangan yang ada akan banyak kemasukan air hujan.

Dalam rumah itu disekat dengan ayaman bambu sehingga menjadi dua ruangan, yang satu sebagai dapur yang satunya lagi digunakan sebagai tempat tidur. Tidak ada perabotan yang ada hanya tiga buah dipan dari kayu yang satu di dapur dan yang dua buah di ruang satunya lagi sebagai tempat tidur.

Rumah itu dihuni oleh empat orang yaitu Pojem beserta Soijah [30] anak satu-satunya dan dua orang cucunya Sumiati [12] dan Mardi [9] yang dua-duanya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

’’Sejak saya pisah dengan Suami belasan tahun yang lalu di rumah ini tidak ada lagi laki-laki yang dapat dijadikan tulang punggung keluarga, apa lagi Soijah anak saya satu-satunya juga bernasib seperti saya diceraikan suaminya sejak anak keduanya baru berumur 2 tahun praktis untuk keperluan sehari-hari saya sekeluarga makan seadanya.’’tuturnya.

Menurut Jumiyo [40] tetangga dekatnya memang keluarga Pojem kehidupannya serba kekurangan, apa lagi ia juga tidak memiliki tanah untuk bercocok tanam. ’’Setahu saya Mbah Pojem itu tanahnya ya yang ditempati itu dan sepetak ladang yang ditanami ketela pohon, yang hasilnya dimakan sehari-hari, itu pun kalau terus-terusan diambil hanya cukup paling lama dua bulan,’’ ujarnya

’’Jadi selama ini untuk menyambung hidupnya selama ini Pojem menjadi pemulung daun cengkeh di kebun tetangganya dan tentu saja dengan seijin pemiliknya’’ lanjutnya.
Dari hasil memunguti daun cengkeh kering yang telah jatuh dari pohonnya tersebut Pojem dapat mengumpulkan Rp10.000 sampai Rp15.000 setiap minggunya. Dan itu cukup untuk kembali menegakkan periuknya.

‘’Untung ada saja yang berbaik hati terutama tetangga, kadang ada yang ngasih beras, ada yang ngasih pakaian bekas,seperti pakaian yang saya dan cucu saya kenakan ini, tetangga juga yang ngasih,’’ tutur Pojem. Seperti rumah ini sudah belasan tahun tidak pernah diperbaiki, boro-boro untuk memperbaiki untuk makan setiap hari saja kadang tetangga yang ngasih,’’ lanjutnya.

Namun sejak Soijah anaknya diajak tetangganya ke Surabaya untuk jadi pekerja rumah tangga, Pojem sedikit bisa bernapas lega. Setiap bulan ia mendapat kiriman uang Rp 150.000. Uang itu buat keperluan sehari-hari dan sebagian lagi ia sisihkan untuk keperluan sekolah cucunya.

’’Bila dapat kiriman yang utama saya belikan beberapa literberas,dan sedikit saya sisihkan untuk keperluan beli buku cucu saya. Sedangkan untuk seragam dan sepatu biasanya ada saja yang ngasih, dan majikan Soijah kadang menberikan pakaian yang telah tidak terpakai untuk cucu saya.’’ [r]

Minggu, 01 Februari 2009

Bahasa Jawa Mulai Ditinggalkan

SEMARANG, SABTU--Menjelang peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 14 Februari, tampaknya bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah semakin ditinggalkan masyarakat. "Sebagai bahasa ibu, bahasa Jawa secara kualitas masih tetap baik, namun secara kuantitas penggunaan bahasa Jawa mulai berkurang," kata pakar budaya dari Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Trias Yusuf PUT di Semarang, Jumat.

Ia mengatakan faktor pendidikan baik di keluarga maupun sekolah serta media menyebabkan penggunaan bahasa Jawa di kalangan masyarakat mulai menurun.

Menurut dia, dari tingkat terendah yaitu keluarga, penggunaan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi antara orangtua dengan anak sudah mulai ditinggalkan.

"Kenyataan itu bisa kita lihat, orangtua lebih banyak mendidik anak mereka berbahasa Indonesia atau mempelajari bahasa asing daripada mengajarkan anak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa," katanya.

Padahal, kata dia, keluarga adalah fondasi awal sebagai upaya pelestarian bahasa ibu sebelum masuk ke tahap selanjutnya, yaitu pada tingkat pendidikan formal.

"Sebab, di sekolah-sekolah sekarang, bahasa Jawa hanya menjadi suatu mata pelajaran yang kedudukannya sama dengan mata pelajaran lain seperti matematika," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, anak-anak yang menjadi penerus budaya hanya akan merasa terpaksa mempelajari dan menggunakan bahasa Jawa.

Faktor lainnya, kata Trias adalah peran media dalam mempopulerkan bahasa Jawa di kalangan masyarakat sangat kurang.

Ia mengatakan sekarang tidak banyak media berbahasa Jawa, padahal media merupakan alat penyebar yang efektif. "Popularitas budaya Jawa di media massa tidak terbentuk," kata pengajar bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta ini.(ANT)

KOMPAS Sabtu, 31 Januari 2009 | 04:55 WIB

Jauh hari sebelumnya, Presiden juga menyatakan hal senada...