Selasa, 27 April 2010

Menjadi Hantu yang Baik

Menjadi ghostwriter juga dijalani Bonari Nabonenar. Penulis yang juga jurnalis itu mengatakan, tidak ada yang salah dengan menjadi ghostwriter. Tidak ada yang dirugikan dan sama-sama menguntungkan.

Hanya, Bonari mengatakan, dirinya melakukan sejumlah pembatasan-pembatasan terhadap ghostwriting. ”Yang pertama, saya tidak akan mau bila itu untuk keperluan akademis. Seperti skripsi, tesis, ataupun disertasi. Itu pantangan saya,” urainya.

Yang kedua, dia tidak mau melakukan ghostwriting dengan data-data palsu. ”Sebab, itu berarti saya membohongi publik,” ujar pria yang juga aktif dalam pembelaan hak-hak TKW di Hongkong tersebut. Dua hal ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar olehnya.

”Maka, itulah yang membedakan saya dengan ghostwriter lain. Saya adalah ghostwriter baik yang punya prinsip, hahaha,” katanya kemudian tertawa. Menurut dia, jasa pembuatan skripsi dan sebagainya itu merupakan sebuah bentuk ghostwriter yang jahat. ”Karena itu betul-betul penipuan,” tambahnya.

Bapak satu anak itu berpendapat bahwa ghostwriter sebagai sebuah pekerjaan tidak bisa diharapkan. ”Sebagai pekerjaan, tidak bisa dijagakke,” urai Bonari. Menurut dia, penting bagi seorang ghostwriter untuk menjadi baik karena bila dibiarkan tak terkendali, mereka akan merusak dunia tulis-menulis secara keseluruhan.

Karirnya di dunia ghostwriting dimulai pada 2000. Dia mau ketika ditawari salah seorang tokoh Jawa untuk menarasikan tiga naskah ludruk. ”Per naskahnya Rp 400 ribu. Jadi, bila tiga naskah setebal 100 halaman, honornya Rp 1,2 juta,” tambahnya. Dia mau mengerjakannya karena memang kepepet uang. ”Saya tak ambil pusing. Pokoknya, saya kerjakan secepatnya. Saya serahkan dan kemudian dapat uang. Habis perkara,” tambahnya.

Bonari kemudian seperti berjalan dengan dua kaki. Satu proyek murni buku dan lainnya ya itu tadi, melakukan ghostwriting. Yang paling sering dan melegakan dia adalah pada 2008. Ketika itu, dia mendapat job melakukan ghostwriting untuk seorang petinggi di Jawa Timur. Tugasnya adalah membuat opini di sejumlah surat kabar.

Bonari tak bekerja setengah-setengah. Dia mengikuti perjalanan tokoh tersebut ke sejumlah daerah. Memperhatikan caranya berkomunikasi, menghafalkan diksi tokoh tersebut, mengolah data, dan baru kemudian menuliskannya. ”Bagaimanapun, jangan pernah setengah-setengah untuk melakukan ghostwriting,” tuturnya. Seorang penulis bayangan yang berhasil, bagi Bonari, adalah penulis yang berhasil membuat tulisan begitu mirip dengan tokoh tersebut. ”Detail-detail kecil seperti celetukan khas atau gaya omong sedapat mungkin dimasukkan,” imbuhnya.


Sumber: Jawa Pos, 28 Februari 2010 (dengan digunting sedikit)

Minggu, 18 April 2010

Saatnya Rakyat Memberikan Contoh

Marilah terlebih dahulu kita sepakat bahwa memberikan contoh atau teladan adalah lebih baik daripada menyeru dengan kata-kata. Bisa jadi memang, ada saatnya kata-kata bisa cukup ampuh. Tetapi, kini udara kita sudah dipenuhi busa kata-kata. Disebut busa karena banyak yang kemudian kita ketahui hanya omong kosong belaka. Mereka yang kita sanjung-sanjung kepandaiannya pun tak malu-malu memanipulasi kata-kata. Bahkan, memertontonkan pokrol bambu di tempat-tempat terhormat.

Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa rakyat? Rakyat yang mana pula? Terus terang, tulisan ini sengaja dibuat dalam momentum menjelang pilkada. Selain Kota Surabaya, beberapa kabupaten/kota di Jatim kini tengah sibuk mempersiapkan pesta demokrasi yang popular dengan sebutan pilkadal itu. Maka, anggap saja bahwa semua yang berhak menggunakan hak pilihnya nanti adalah rakyat.

Beberapa waktu lalu saya menulis di dinding Facebook saya begini, ’’Manusia Indonesia itu ada tiga: [1] mendapatkan kompor gas ratusan ribu harganya, [2] mendapatkan komputer Rp 15 jutaan, dan [3] mendapatkan mobil seharga Rp 1,3 milyar. Hore, saya manusia Indonesia nomor satu!’’

Para pejabat kita yang ada di Jakarta sana tampaknya memang tengah kemaruk-kemaruk-nya pamer: pokrol bambu dan keserakahan. Untuk mengetahui betapa trampilnya pejabat kita memanipulasi kata-kata, melebihi kawan-kawan saya yang penyair, kita hanya perlu nonton televisi. Mengenai keserakahan mereka, ingatlah, beberapa hari setelah diberi mobil mewah harga Rp 1,3 milyar/unit/orang, ramai pula berita mengenai rencana kenaikan gaji mereka.

"Gaji saya nggak masalah mau naik mau turun. Tapi kalau kita lihat komparatif dengan beban tugas atau dengan direktur perusahaan swasta itu jauh,’’ kata Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi seperti dikutip detik.com.

Coba, kalau rakyat yang beralasan seperti itu mesti pejabat akan segera menyergap, ’’Siapa suruh kau jadi pejabat? Jadilah direktur swasta!’’ Apakah mereka tidak pernah risau dengan jutaan rakyat yang menganggur, dan jutaan lainnya bekerja sangat keras tetapi hanya dapat gaji senilai sekali makan mereka? Bayangkanlah, ada manusia Indonesia yang ongkos sekali makannya bisa setara dengan (atau jangan-jangan malah lebih dari) nilai gaji sebulan seorang pekerja sangat keras? Artinya, ongkos sekali makan untuk satu orang kira-kira setara dengan ongkos hidup sekeluarga pekerja sangat keras itu? Begitu, kan, nalarnya?

Agak mundur lagi, rakyat juga sempat di-elus-elus dengan kata-kata ’’pendidikan gratis.’’ Ketika kemudian terbukti tidak gratis, pejabat pun berkilah, lha itu kan bahasa iklan. Pengertian gratis menurut pejabat, ternyata berbeda dengan yang dipahami rakyat. Nah, lalu kemakmuran dan kesejahteraan hidup macam apa yang dapat diangankan oleh segenap warga negara ini kalau pejabat dengan rakyatnya sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik seperti itu?

Apa hubungannya semua itu dengan pilkadal? Jika Anda bertanya begitu, mohon dijawab pertanyaan ini: Apakah pejabat dari jenis yang kemaruk harta dan hanya pinter bermain kata-kata yang kita inginkan menjadi pemimpin di wilayah kita? Saya pastikan, jawaban Anda: ’’Bukan!’’

Kita menginginkan pejabat yang amanah, jujur, cakap, tidak korup, lengkap dengan sifat-sifat yang baik lainnya. Jika Anda setuju demikian, marilah sekarang kita memarahi diri kita. Anggap ini sebagai ritual, sebagai lelaku, untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar kewahyon, dan bukan pemimpin karbitan.

Anda juga boleh segera memarahi saya, karena saya akan mengatakan bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya mengharapkan atau bahkan menuntut segala macam kebaikan dari pejabat-pejabat dan pemimpin kita, sedangkan kita sendiri dari awal prosesnya sudah tidak jujur. Kalau saya memakai istilah ’kita’ maka pengertiannya adalah rakyat sebagai kesatuan. Sehingga, setitik keburukan akan memberikan alasan untuk mengatakan bahwa kita buruk.

Ternyata si serakah itu bukan hanya para pejabat. Rakyat pun selama ini suka aji mumpung. Mumpung musim pilkadal, mumpung ada yang bisa dipalak, maka beramai-ramailah rakyat memalak para calon pemimpinnya. Urusan palak memalak inilah yang kemudian menggelinding sebagai money politic alias politik dhuwit.

Kita, rakyat, bukanlah kumpulan orang-orang bodoh. Tetapi, marilah kita berjamaah mengakui bahwa selama ini kita selalu silau dengan baliho, dengan umbul-umbul, dan gambar-gambar yang ditempel di pepohonan pinggir jalan itu. Bahkan, kita tidak ragu-ragu meminta sejumlah uang untuk memastikan siapa calon yang kita pilih. Kita menjual suara kita secara eceran dan kemudian menjualnya lagi dalam kemasan kelompok (per RT, per Dusun, per Desa, dan seterusnya). Bahkan, tentunya ada pula di antara kita masih tega menjual suara kepada lebih dari seorang calon.

Selain cara penjualan dengan uang kontan yang bisa dibagikan kepada setiap pemilih, ada lagi kemasan (suara) kelompok yang harganya dipatok dengan aspal seruas jalan atau sebuah jembatan.

Kita masih ingat bukan, dalam Pileg yang lalu, banyak berita tentang penarikan kembali semen, bahkan juga karpet musala oleh caleg yang gagal. Itu bukti cetha wela-wela bahwa praktik jual beli suara bukanlah isapan jempol, bukan? Dan hanya berselang bulan, kita berteriak-teriak bahwa wakil kita nggak mutu, ternyata lebih mewakili partai ketimbang konstituennya. Sebentar-sebentar kita juga turun ke jalan, mengolok-olok, bahkan menghujat para pejabat kita, seperti bagian awal tulisan ini.

Nah! Sekarang ketahuan. Agaknya kita benar-benar keblinger kalau kemudian mengolok-olok atau menghujat para pejabat. Lha wong kita bisa lebih runyam dibandingkan mereka kok, andaikata kita punya kesempatan! Dan lagi, bukankah kita sudah menjual suara kita? Maka, kalau kita mau disebut konsekuen, kita mestinya mengakui bahwa kita tidak lagi punya wakil di lembaga bernama Dewan Perwakilan Rakyat itu. Kita telah menjualnya seharga lima belas atau dua puluh ribu rupiah! Sesungguhnya kita sudah tidak lagi punya hak untuk menuntut, bahkan untuk didengar suara kita.

Jika kita menghendaki pejabat yang mau memerhatikan rakyatnya, pemimnpin yang mengayomi, yang amanah, cakap dan tidak korup, ya marilah bersama-sama memantang uang lima belas atau dua puluh ribu itu. Dan kita punya hak untuk berteriak atau bahkan melabrak jika kelak terbukti mereka serong. Soal pembangunan jalan atau jembatan, dan bahkan melindungi segenap warga negara dari segala macam mara bahaya, termasuk bahaya kelaparan, kemiskinan, maupun kebodohan, itulah tugas negara yang mesti dijalankan oleh pemerintah melalui tangan-tangan pejabat serta pemimpin kita. Pejabat dan pemimpin yang hanya kita titipi ’suara’ kita, bukannya yang telah membelinya dari kita.

Memberikan contoh yang baik kepada para pejabat dan pemimpin kita, mau? Sekarang inilah saatnya! [bonarine@yahoo.com]

Kamis, 08 April 2010

Elitisme Sastra Jawa

Oleh Beni Setia

Temuan tersirat dari Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 di Nglaran, Cakul, Trenggalek, adalah fenomena kuatnya ego kreatif sastrawan Jawa modern. Para kreator beranggapan problem sastra Jawa itu penciptaan dengan masalah eksplorasi dan eksploitasi tema dan bentuk ungkap di satu sisi serta mengekalkan teks ciptaan dalam ujud buku di sisi lain.


Terjebak di dunia sempit yang hanya berparameter kreativitas. Sistem nilai yang hanya menuntut sastrawan untuk mencipta dan mencipta lagi dan akan mencipta apa lagi, seperti dituntut Iwan Simatupang. Yang mendorong Saini KM mengatakan bahwa bila sudah tidak kreatif lagi, sebaiknya cari profesi nonsastra, misalnya jadi bakul roti. Sesuatu yang menyebabkan Budi Darma menghalalkan pembunuhan karakter bagi sastrawan yang tak lagi mencipta, yang dianggap bekas sastrawan yang tinggal di museum.

Di tengah terbatasnya rubrik sastra di media berbahasa Jawa, di tengah kondisi naskah harus mengantre panjang sebelum bisa dipublikasikan, dan di tengah minimnya naskah berkualitas yang menyebabkan si redaktur bimbang membedakan naskah sastra dan panglipur wuyung sehingga masyarakat toleran pada kualitas karya yang ada: lahir tuntutan untuk mengekalkan diri sebagai si kreator. Obsesi sastrawan Jawa itu--tanpa membedakan produktivitas dari kreativitas--harus menerbitkan buku sebagai bukti tertulis dari kreativitas dan kesastrawanan.

Tak peduli-mengutip Budi Darma-hanya buku, kreativitas, dan kesastrawanan di museum. Bahkan, lebih dari sekadar sinisme kepada pudarnya kreativitas, mungkin juga hanya kitsch yang tidak berhak menempati rak museum sastra. Dan di luar ikhwal kualitas sastra, bahkan tidak adanya terobosan pencarian alternatif estetika lewat satu usaha eksperimentasi yang orisinal, tuntutan akan sastra harus tertulis, dipublikasikan secara tertulis di media massa cetak berbasa Jawa, dan kemudian dikekalkan sebagai buku sastra Jawa-atau sekadar panglipur wuyung-terasa sangat kuat.

Bagi mereka, sastra modern itu harus tertulis dan diapresiasi dalam satu kegiatan membaca yang serius dan khusus. Penghargaan pada sastra modern dengan membeli dan mengoleksi buku. Buku itu merupakan puncak karier kesastrawanan, seperti yang terbukti oleh transkripsi 10 cerita rakyat lisan Jawa ke dalam wujud buku sebagai hasil proyek PPSJS dan Gramedia. Dan almarhum RM Yunani Prawiranegara bilang pergelaran wayang bukan teks sastra yang dipergelarkan, tapi mutlak pergelaran. Tanpa melihat fenomena pergelaran yang bermula dari teks cerita tertulis atau teks lisan warisan dari ki dalang sebelumnya atau dikreasi sendiri oleh dalang bersangkutan.

Puisi Rendra

Sastra tak mungkin tampil lisan dengan kolaborasi dengan karawitan. Sastra itu tertulis, yakni buku. Tak dikenal adanya fenomena audiobook yang berupa rekaman audio atas pelisanan teks karya sastra oleh aktor atau oleh si sastrawannya sendiri. Padahal, rekaman kaset dan kemudian CD pembacaan puisi Rendra itu tetap mutlak dianggap publikasi sastra dan ini sejajar dengan rekaman macapat dari fragmen teks tertentu di album klenengan yang tidak dianggap kegiatan rengeng-rengeng dan tetap publikasi sastra. Gejala umum dari publikasi sastra nontertulis yang lupa dimaknai.

Dengan kata lain, sastra bukan sekadar masalah kreator mencipta secara tertulis, kreator memublikasikannya di media massa cetak, dan kemudian mengekalkannya dalam wujud buku. Tidak sesempit itu. Tak seegois itu. Ego kreatif yang menyebabkan seorang Ikranagara pernah sampai kepada arogansi "teater tanpa penonton". Sebuah kegenitan mencipta dan mementaskan tanpa peduli pa- da keberadaan penonton yang melahirkan teater tanpa naskah, melulu sinopsis demi wujud bebas happening hasil olah improvisasi aktor yang direspons kolaboratif tata cahaya, musik, dan seterusnya.

Dan sastrawan Jawa yang terfokus pada kreasi dan publikasi cetak nyaris ada di tataran itu. Dalam arogansi: sastra itu teks di majalah atau buku. Berkesastraan itu harfiah menulis agar dipublikasikan tertulis. Setelah itu semua tergantung inisiatif si pembaca. Apresiasi itu mencari bacaan, membeli bacaan, dan membaca hingga kritik hanya bukti tertulis apresiasi ahli. Upaya terobosan menyapa calon apresiator dengan melisankan dan mempergelarkan teks merupakan tindakan berlebih. Lalar gawe.

Jadi kalau sastra Jawa modern kehilangan pembaca itu bukan karena langkanya penerbitan buku dan lemahnya distribusi ke toko buku. Bukan karena itu. Akan tetapi, lebih karena egoisme sastrawan modern Jawa yang serba harus ditulis dan apresiator aktif mencari buku. Padahal, secara tradisional masyarakat Jawa di pedesaan terbiasa mengapresiasi sastra secara lisan. Sejak awal sastra Jawa modern memang ditakdirkan terasing, elitistik, mengasingkan diri.

BENI SETIA Pengarang Tinggal di Caruban, Madiun

Kamis, 8 April 2010 | 15:17 WIB