Kamis, 31 Januari 2013

MENDUNIAKAN AREM-AREM

Semula tak ada penjual roti maryam dalam gerobak dorong yang cantik, boleh pula disebut mungil –karena memang tidak terlalu besar sehingga, walau isinya penuh pun tak perlu tenaga terlalu besar untuk mendorongnya—itu di stasiun-stasiun kereta api di surabaya: Stasiun Wonokromo, Stasiun Gubeng, maupun Stasiun Pasar Turi. Ketika ada yang memulainya, ternyata berjualan roti maryam dalam gerobag dorong di stasiun kereta cukup laris.



Beberapa pekan lalu juga belum ada orang berjualan roti ”anu” (untuk tidak menyebut namanya) di Terminal Bus Bungurasih. Pertengahan bulan lalu (Januari 2013) tiba-tiba sudah ada pula sejenis gerobag dorong, tidak boleh dibilang mungil, tetapi lapaknya sangat simpel, sebesar rombong bakso yang biasa didorong masuk ke gang-gang di perumahan itulah kira-kira besarnya. Dan, laris-manis pula! Beberapa orang mengantri dalam barisan yang tidak rapi. Roti yang mendadak laris di terminal bus ini adalah jenis yang biasanya dijual di stan-stan khusus di supermarket atau di mall-mall.

Ndilalah, dua contoh itu adalah jenis makanan yang biasanya dikonsumsi orang-orang kota: roti. Mengapa keduanya laris-manis dijajakan dengan model lapak mini dan bahkan dalam gerobag dorong yang mungil? Jawaban paling tepat tampaknya adalah, orang-orang yang sedang berada di dalam perjalanan pergi atau pulang itu tampaknya senang bisa memperoleh makanan, pengganjal perut yang berkualitas, tanpa harus berhenti lama dengan cara masuk ke sebuah resto atau rumah makan, tanpa harus duduk di kursi berlama-lama. Hanya dengan menghampiri gerobak atau lapak mini itu, menunggu beberapa menit, barang yang diinginkan sudah dapat dibawa langsung menuju bus yang hendak ditumpangi. Terutama bagi mereka yang ingin bersicepat, makanan itu dapat dimakan sambil berjalan atau pun ketika nanti sudah berada di dalam bus tanpa rasa risih. Tentu, berbeda halnya dengan, misalnya, memakan nasi bungkus (di dalam bus), bukan?

Jika anda memiliki minat di bidang ini, observasi perlu segera dilakukan untuk menemukan terminal bus atau stasiun kereta api yang potensial dan belum diisi lapak/gerobak sejenis. Atau, bisa saja dicoba jenis makanan praktis pengganti nasi bungkus/kotak yang dapat dimakan sambil berjalan atau ketika sudah duduk di dalam bus/kereta tanpa merasa risih/sungkan terhadapm penumpang di sebelahnya. Kira-kira apa? Nah, ini dia: arem-arem. Kini tampaknya arem-arem juga sedang naik daun. Terutama untuk penumpang angkutan umum antarkota antarprovinsi (AKAP).

Mengapa arem-arem? Karena arem-arem dibuat dari bahan baku beras, jadi semacam lontong, tetapi di dalamnya diberi lauk, biasanya dari tempe yang dibumbui. Saya pun pernah membelinya di dalam bus di tengah perjalanan Surabaya – Solo. Harganya Rp2.000/lontong. Bandingkan dengan”nasi kucing” yang di sebuah warung pinggir jalan raya dibanderol Rp1.000/bungkus.




Bahwa arem-arem termasuk komoditas yang laris di kalangan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sudah menjadi fakta. Jika anda ingin mengangkat derajatnya (derajat arem-arem) menjadi barang jualan dalam gerobak mungil atau lapak mini di terminal bus atau stasiun kereta api, yang mesti anda lakukan adalah: (1) mengubah kemasannya agar lebih berkesan: bersih, sehat, dan cantik tanpa harus mengganti bahan bungkus daun pisang itu dengan plastik, (2) memilih beras yang lebih berkualitas, (mengisinya dengan lauk yang lebih enak dan lebih bervariasi, (menyediakan pula variasi/pilihan, misalnya: pedas dan biasa.

Adalah sangat mungkin, tak peduli apakah mereka orang kota atau orang desa, perut mereka akan lebih merasa nyaman di tengah perjalanan ketika sudah ’diganjal’ dengan makanan berupa nasi (pada dasarnya arem-arem adalah nasi juga). Bukankah sering orang mengeluh, belum merasa tenang jika belum makan nasi? Yang pasti, modifikasi atau perubahan dari arem-arem biasa menjadi arem-arem yang derajatnya lebih tinggi akan secara otomatis berpengaruh terhadap margin potensi keuntungan. Karena itu, anda mesti benar-benar matang di dalam perhitungan.

Nah, dengan gerobak dorong yang cantik, atau dengan lapak mini yang unik, siapa tahu anda dapat menduniakan arem-arem! Semoga, sehingga Peduli pun nanti akan ikut marem (senang). Kayao! [bon]

GERAKAN TANPA MAKNA

Dalam pelajaran (latihan) bermain drama atau teater, ada satu hukum atau teori yang mesti dipatuhi, yakni bahwa setiap gerakan (tubuh, bagian tubuh/anggota badan) mestilah mempunyai makna dalam arti: mendukung ucapan atau menggantikan informasi atau gambaran pikiran/perasaan yang tidak terkatakan. Gerakan yang mengandung makna pun ketika takarannya berlebihan tidak diperkenankan, dan biasa disebut overacting. Apalagi, kalau seorang pemain (teater) melakukan banyak gerakan tanpa makna!

Dalam bisnis atau usaha ekonomi, setiap gerakan (baca: tindakan) harus benar-benar diperhitungkan sisi positif dan negatifnya, sisi debit dan sisi kredit-nya. Apalagi tindakan yang memerlukan biaya operasional langsung. Sedangkan tindakan yang tidak memerlukan biaya operasional langsung pun jika tidak diperhitungkan secara matang sangat potensial merugikan. Bukankah ada pepatah, ”Waktu adalah uang”--?

Nah, jika suatu hari anda sedang berada di kampung halaman, cobalah lihat, betapa banyak orang, anak-anak muda, orang-orang dalam usia produktif, melakukan banyak gerakan tanpa makna, atau buang-buang waktu dan ongkos operasional. Para siswa/mahasiswa yang dibelikan motor oleh orangtua untuk dikendarai ke/dari kampus/sekolah ternyata juga menggunakannya untuk ke mana-mana tanpa tujuan dan hasil yang jelas. Anda boleh pula terkejut ketika menyadari bahwa pengeluaran waktu dan biaya operasional yang jelas-jelas tidak membuahkan hasil itu tidak pernah terbukukan/tercatat. Padahal, jika dapat dicatat, dan anda sempat mengamatinya, yakinlah anda akan lebih terkejut lagi!

Di dalam teater, ada gerakan dan/atau ucapan yang direncanakan (seperti tertulis dalam skenario) dan ada pula yang tidak direncanakan, yang biasa disebut dengan istilah ’improvisasi’. Walau tidak direncanakan, improvisasi sering memegang peranan sedemikian pentingnya dalam sebuah lakon. Di dalam bisnis, perubahan-perubahan situasi yang bersifat insidental menuntut pelaku (bisnis) mengambil keputusan dan tindakan secara mendadak pula. Malahan, kecakapan/kecerdasan seseorang itu lebih diukur dari kemampuannya mengambil keputusan/tindakan di dalam situasi baru secara cepat, bukan dari lakunya yang direncanakan secara matang sebelumnya.

Tampaknya, di situlah persoalannya, sehingga walau kita banyak membaca kisah sukses, melihat (dari jauh) bagaimana orang-orang sukses menjalankan bisnisnya, seolah kita selalu kehilangan jejak ketika mencoba untuk mengikutinya. Ketika tampil sebagai narasumber dalam sebuah seminar atau workshop tokoh-tokoh sukses itu juga akan lebih sering berbicara tentang hal-hal yang baku, pakem, sebab tindakan-tindakan cepat yang seolah berjalan otomatis dalam keadaan tertentu, yang lebih bersifat instingtif, memang lebih sulit dipaparkan atau diuraikan dengan kata-kata. Atau, si pelaku sendiri memang tidak pernah ”memikirkannya” sebab ia akan muncul begitu saja (seolah tanpa dipikirkan lagi) ketika muncul situasi tertentu.

Salah satu hal yang menjadikan ”mengikuti jejak orang sukses” menjadi lebih sulit adalah kesalahan kita menafsirkan atau membaca tindakan atau gerakannya. Kita sering terkecoh, misalnya, tindakan atau gerakan yang kita sangka sia-sia ternyata penuh makna atau sebaliknya! Kalau kita berada di barisan penonton pertandingan sepakbola, gerakan penting yang kita sangka tanpa makna itu misalnya adalah yang dilakukan seorang pemain (penyerang): berlari menjauhi gawang ketika kawan satu timnya melakukan tendangan pojok. Eh, ternyata malah bola menuju ke arahnya, dan dengan satu sundulan cantik si kulit bundar itu pun melesak ke gawang lawan: bludhus…..!

Selasa, 29 Januari 2013

Cakul

Cerpen: Bonari Nabonenar

Desa Cakul tumbuh di atas bentangan Pegunungan Kapur Selatan, yang kordinat bujur timur dan lintang selatan-nya belum pernah disebut orang. Kini kita memang dapat meneropongnya dengan bantuan Peta Google. Tetapi, ia tetap hanya sebuah noktah yang tidak dipandang penting.


Ini sebuah desa yang tandus. Berbukit-bukit, berbatu-batu, dan demikianlah memang karakteristik wilayah pegunungan kapur. Hanya di musim penghujan kesan kegersangan terhapus. Kemarau selalu datang dengan membentangkan peta kekeringan. Air pun segera melangka. Sebagian besar warga desa harus berjalan menuju sumber air dua hingga tiga kilometer jauhnya untuk mandi dan mengambil air bersih. Itu pun harus selalu rela mengantre berjam-jam. Begitu dapat giliran, mandi, mengambil air, dan membawanya pulang, sampai di rumah otomatis sudah mandi lagi: mandi keringat!

Saking langkanya air di musim kemarau, tak sedikit anak-anak jadi korban olok-olok teman sebaya atau yang lebih tua dengan mengatainya bahwa mereka jarang mandi dan setelah keluar dari kakus cebok dengan menggosokkan belahan pantat di atas pelepah daun kelapa. Ada pula yang bercerita bahwa banyak keluarga menyiapkan bongkok (sebutan untuk pelepah daun kelapa itu dalam bahasa daerah yang berlaku di desa ini) secara khusus untuk cebok cara kering (dalam bahasa daerah: peper). Banyak anak-anak kurang beruntung yang sering jadi sasaran olok-olok demikian. Sebagian di antaranya mengabaikan dan membiarkan penderitaan orang diperolok itu segera menguap dari perasaan dan ingatan, dan sebagian yang lain mengendapkannya hingga mengkristal sebagai dendam.

Lalu, rasa dendam itu dipelihara, terus dipupuk, dan beberapa di antaranya mendapatkan kesempatan untuk melunaskan dengan bunga tagihan yang mungkin terlalu jauh lebih besar dari pokoknya. Dalam hitungan puluhan tahun ke depan, datang sebuah momentum yang memungkinkan beberapa orang pengolok dipaksa membayar dengan sumpah-serapah ditambah siksaan fisik hingga nyawa terlepas dari badan dengan cara yang sungguh mengerikan.

Mungkin itu adalah tahun paling mengerikan di sepanjang sejarah pertumbuhan desa ini. Mbah Kakung pernah bercerita tentang sebuah zaman yang disebutnya sebagai Zaman Jahiliyah dengan merujuk waktu sekian puluh tahun ke belakang dari tahun penuh darah itu. Zaman yang diwarnai dengan peristiwa-peristiwa: jagoan kampung yang mengambil paksa seorang perempuan dari hadapan suaminya dan baru mengembalikan keesokan harinya –padahal antara pelaku dengan korban sudah saling mengenal karena mereka hanya bertetangga jauh, rumah-rumah yang dibakari, dan hewan ternak yang diciderai. Tetapi, tidak ada catatan korban jiwa manusia dalam ingatan, di sepanjang kisah tentang Zaman Jahiliyah versi Mbah Kakung itu.

”Oleh karena itu, keluarga yang terbilang berada pun di kampung ini banyak yang lebih suka membangun rumah beratap ilalang, dan tidak menggunakan atap genting. Rumah beratap genting memerlukan waktu lebih lama dan biaya lebih besar untuk membangunnya. Padahal, tidak pula kebal dari api,” begitu tutur Mbah Kakung. ”Pada waktu itu, hanya karena perkara kecil saja orang dengan ringannya membakar rumah, atau mencelakai hewan ternak untuk melampiaskan dendam terhadap pemiliknya,” timpal Mbah Putri.

Ada pula cara yang sering ditempuh pihak sakit hati terhadap orang yang sedang punya hajat besar-besaran dengan menggelar tayuban untuk memeriahkan peristiwa pernikahan atau khitanan. Pada waktu itu sudah dikenal penerangan dengan lampu petromak. Saat itu lampu petromak masuk daftar barang mewah di desa, yang tidak setiap keluarga memilikinya. Beberapa orang memiliki lebih dari satu untuk disewakan ketika ada orang punya hajat. Jumlah lampu petromak yang dinyalakan dapat pula dilihat sebagai ukuran besar-kecilnya sebuah pesta, apakah tiga, lima, atau tujuh. Menurut Mbah Kakung, tak pernah ada pesta dengan jumlah lampu petromak lebih dari tujuh yang dinyalakan. Orang yang sakit hati terhadap si empunya hajat tadi akan datang ke tempat pesta dengan membawa sekantung kerikil, lalu melempari lampu petromak yang sedang menyala itu hingga mati. Salah seorang jagoan kampung yang suka bikin ulah, konon memiliki kehebatan, mampu mematikan serentak tiga hingga lima lampu petromak yang sedang menyala dengan sekali lemparan kerikil. Kata Mbah Kakung, dan disetujui pula oleh Mbah Putri, biasanya memang lampu petromak di tempat orang punya hajat itu dinyalakan dan digantung dalam satu garis lurus.

”Kalau pun ada yang menawarkannya, aku tak bakal mau kembali ke zaman itu, walau untuk sekadar menyambanginya,” ujar Mbah Kakung sambil mempertegas embusan nafasnya, seolah sudah tak ingin bercerita lebih banyak lagi.

”Zaman Jahiliyah itu, maksud Mbah Kakung?” tanya saya.

”Ya.”

”Bagaimana kalau ke zaman ketika banyak orang dibunuhi di desa ini, bahkan oleh tetangga dekat atau bahkan kerabat sendiri itu? Apakah menurut Mbah Kakung bukan zaman ini yang lebih pantas dijuluki sebagai Zaman Jahiliyah?”

”Apalagi ke situ! Sungguh, benar-benar terlalu. Kita tidak punya kata atau sebutan yang tepat untuknya. Dan tidak perlu dicipta-ciptakan, karena tidak seharusnya bangsa manusia menampilkan lakon yang demikian di dalam sepanjang sejarah kehidupan di dunia ini.”

”Jadi, lebih baik dilupakan saja?”

”Untuk memberangus dendam dan rasa sakit yang tak berkesudahan di dalam jiwa-raga kita agar tidak merembes mempengaruhi kualitas sperma serta cairan indung telur yang akan menumbuhkan generasi penerus sejarah kehidupan manusia, ya. Tetapi, untuk menjadi pelajaran agar manusia tidak pernah terperosok ke dalam jurang yang sama, ke dalam lakon yang tingkat kebiadabannya hanya bisa ditandingi oleh binatang pemangsa sesamanya itu, ada bagian-bagian tertentu yang layak kita catat di dalam ingatan.”

Ternyata Mbah Kakung tidak segera menyudahi pembicaraan, atau beralih ke topik lain seperti yang sempat saya duga. Ia malah semakin berapi-api.

”Terserah bagaimana orang lain menilai dan menyebutnya apa, membakar rumah, menurutku masih boleh disebut sebagai sejenis kenakalan manusia. Sebab, orang yang rumahnya terbakar masih bisa tertawa. Atau lebih tepatnya: boleh tertawa. Kalau bisa. Tetapi, ketika dihabisi nyawanya..? Karena itulah kugunakan sebutan jahiliyah untuk menandai kurun waktu itu, dan sekali lagi, saya tidak punya perbendaharaan kata untuk menyebut yang satunya lagi,” Mbah Kakung seperti berteori.

Saya lalu meminta komentar Mbah Kakung mengenai banyaknya teori ngawur yang menyebut-nyebut nama ’Cakul’ dan menghubungkannya dengan nama raksasa yang hampir selalu tampil dalam setiap lakon wayang purwa: Cakil atau Buta Cakil. Cakil itu raksasa, bukan manusia. Watak raksasa itu jahat, jahil, bahkan sering pula disebut-sebut sebagai pemangsa manusia. Walaupun, ada beberapa perkecualian. Kumbakarna, saudara kandung Prabu Dasamuka yang terkenal dalam kisah Ramayana, misalnya, dikenal sebagai raksasa yang baik. Sosok hero seperti Gatutkaca pun secara fisik masih menampakkan ciri sebagai raksasa --konon bertaring-- sebab mewarisi gen raksasa dari ibundanya, Dewi Arimbi. ”Manusia-manusia Cakul itu cenderung jahat, jahil, karena mereka mearisi gen kejahatan dari Buta Cakil,” kira-kira demikianlah tesis yang hendak dikembangkan oleh sekalangan orang. Mereka mendapatkan semacam penguatan oleh fakta bahwa Cakul adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Dongko. Dalam cerita wayang purwa akan selalu muncul pertanyaan, ”Dangkamu ngendi?” (= Dongko-mu mana?). Pertanyaan sejenis, ”Jakartamu mana?” atau, ”Surabayamu mana?” itu biasanya dikemukakan ksatria kepada raksasa. Itulah yang segera menguatkan pemahaman bahwa Dongko merupakan bumi bangsa raksasa! Bagaimana komentar Mbah Kakung?

”Barangkali itu hanya semacam othak-athik mathuk, aku tidak sedang membantah atau mengiyakannya. Aku justru tidak sependapat dengan pernyataan bahwa raksasa itu bukan manusia. Raksasa itu manusia juga. Mereka hanya berpostur lebih tinggi-besar, lebih kuat. Dan lebih buruk rupa, tentunya menurut pemahaman salah satu etnis yang menyebut dirinya sebagai bangsa manusia. Bisa jadi itu semua berawal dari semacam kecemburuan yang berujung pada sentimen ras, rasialisme. Apakah selama ini kita sudah menelusuri lebih mendalam, sesungguhnya apa yang memicu konflik abadi antara manusia dengan raksasa dalam kisah-kisah lama itu? Jangan-jangan semuanya hanya berawal dari superioritas atau malahan semacam rasa rendah diri yang diselubungi sebegitu rupa di kalangan manusia, sehingga mereka, kita ini, merasa menjadi pemegang nilai kebenaran paling sah di muka bumi. Dan kita dengan entengnya men-stigma para raksasa dengan segala macam hal yang buruk dan jahat. Memangnya tidak dimungkinkan adanya manusia yang memakan raksasa macam semut memakan gajah? Terlalu fantastiskah itu, jika benar ada? Dan mana lebih fantastis dibandingkan dengan manusia yang memakan sesamanya?”

Iman saya mendadak goyah. Sepertinya ada suara kebenaran baru, walau masih sangat samar dan halus memasuki relung pemahaman saya. Walau tidak diakuinya secara terang-terangan, terasa Mbah Kakung memihak pandangan yang mengaitkan antara Cakul dengan Cakil itu. Dan sejurus kemudian seolah saya dihentakkan oleh ingatan pada uraian dalam sebuah buku yang belum habis saya baca, yang menyodorkan teori baru tentang sebuah benua yang dijuluki sebagai ”Surga yang Hilang” yang dengan enteng mengatakan bahwa walau kisah-kisah dalam dunia wayang --baik Ramayana maupun Mahabarata—merujuk wilayah-wilayah di India dan sekitarnya: Mandura (Madras), Alengka (Srilanka), dan lain-lain, sesunggunya nama-nama wilayah adalah semacam imitasi atau duplikasi dari nama-nama yang ada di Tanah Jawa dan sekitarnya. Dulu ketika orang tua mendongeng tentang Gunung Kumbakarna, tentang Hanoman yang memetik bintang dengan memanjat Gunung Lingga, saya hanya menanggapinya dengan senyuman beraroma sinisme. Sekarang? Iman saya sudah berbalik!

”Apa salahnya raksasa?”

”Lha, apa, menurut Mbah Kakung?”

”Mereka tidak membuat cerita sendiri. Semua kisah, cerita, dongeng, dibangun oleh yang menyebut dirinya sebagai bangsa manusia. Maka, para raksasa itu tidak diberi kesempatan membela diri, misalnya dengan mengatakan bahwa sesungguhnya dalam banyak kasus mereka hanya menghukum manusia yang memasuki wilayah kekuasaan mereka dengan kesombongan khas manusia. Lihatlah Buta Cakil itu. Bukankah ia hanya seorang penjaga keamanan wilayah kerajaan yang setia menjalankan tugasnya, tidak pernah mau disuap, dan selalu berhadapan dengan ksatria yang sombong, walau ia selalu kalah? Mungkin Cakil nakal, tetapi ia tidak jahat. Setidaknya menurut pemahamanku. Nakal, dan pandai menari pula, bukan?

”Wouw….! Begitu, ya, Mbah?”

”Paling tidak, itulah yang membuatku merasa terhormat dan akan merasa semakin bangga jika tiba waktunya nanti bisa mati di atas bagian bumi yang sangat indah ini.”

”Oh…..”

”Cobalah ajak kawan-kawanmu, dari dalam atau dari luar negri, jika ada, untuk datang ke desa ini, belajar bagaimana orang-orang hidup berdamai. Ketika banyak orang menjual buku panduan bagaimana merawat dan memelihara dendam, di sini anak-anak dari para orangtua yang pernah saling membunuh bisa saling mencintai, membangun keluarga baru, hidup baru, dengan jiwa dan semangat baru.”

Trenggalek, Januari 2013

dimuat Jawa Pos, Minggu, 27 Januari 2013