Senin, 12 Maret 2012

VISI ENTERPRENEURSHIP UNTUK TRENGGALEK (?)

Oleh Nurani Soyomukti, penulis 18 buku; anggota Serikat Muda Intelektual Nusantara (SAMIN) dan ketua Quantum Litera Center (QLC) Trenggalek

SEBUAH pertanyaan datang dari salah seorang audiens diskusi publik yang diadakan oleh Quantum Litera Center (QLC) yang bertajuk “Mengawal Pemimpin Baru Trenggalek yang Bersih dan Pro-Rakyat: Peluang dan Tantangan” pada Hari Kamis, 14 Oktober 2010 lalu yang bertempat di Aula Balai Benih Ikan (BBI) Trenggalek. Pertanyaan ditujukan kepada salah seorang audiens yang kebetulan juga wakil bupati Trenggalek yang baru dilantik beberapa waktu yang lalu.




Karena pertanyaan ditujukan pada wakil bupati, maka si audiens bertanya apa visi-misi pemerintahannya dalam rangka meningkatkan jiwa entrepreneurship masyarakatnya mengingat hal itu merupakan syarat utama agar tercipta produktifitas dan kegiatan usaha di kalangan masyarakat. Pertanyaan itu tentu berangkat dari kepercayaan bahwa tidak mungkin kita membangun suatu daerah jika sumber daya manusianya tumpul kreasi dan produksi, tanpa mental usaha, dan hanya mengandalkan ketidaktahumenahuan, kepasrahan, dan ketergantungan pada tindakan pergi ke luar daerah atau ke luar negeri.

Pimpinan baru sangat diharapkan untuk mencari terobosan-terobosan bagaimana agar dinamika kreatifitas dan jiwa usaha di kalangan rakyatnya (terutama generasi mudanya) bisa tumbu-berkembang. Masalah pelayanan public seperti biaya sekolah murah, biaya kesehatan murah, dan kemudahan membuat surat-surat kewarganegaraan (KTP, Akta, dll) memang suatu program yang tidak bisa ditawar mengingat sektor seperti pendidikan dan kesehatan merupakan suatu hal yang haram untuk dikomersialisasi karena itu adalah sector publik—bukan sektor komersial yang digunakan untuk mencari keuntungan. Tetapi memberi perhatian besar pada peningkatan jiwa entrepreneur bagi generasi merupakan tindakan strategis dan berdayaguna untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia.

Makna Enterpreneurship
Jiwa entrepreneurship akan meningkatkan ketrampilan mengambil peluang usaha, melahirkan individu-individu yang tangguh dan tak tergantung, memicu terciptanya lapangan kerja. Sebab, saya yakin, masih banyak yang bisa dilakukan oleh pemuda Trenggalek selain sektor formal, termasuk juga masih banyak peluang untuk membikin usaha di sector produktif maupun sektor informal yang dapat diambil. Kesadaran akan peluang, ketahanan akan kerja, ketrampilan dan kreativitas pikiran (imajinasi kreatif) itu saja yang selama ini tampaknya masih menghinggapi banyak jiwa kaum muda.

Kaum muda perlu disadarkan bahwa untuk menjadi manusia tangguh dan terhormat, jalan satu-satunya bukanlah jadi pegawai negeri sipil (PNS), angkatan bersenjata, atau polisi. Sebab profesi itu nyatanya hanyalah sektor yang paling parasit, yang menggantungkan pada gaji dari uang Negara yang didapat dari pajak rakyat, dari hasil keringat, darah, dan air mata rakyat yang kerja fisik dengan kerasnya. Profesi itu juga yang membuat otak kaum muda tumpul, puas dengan gaji bulanan tidak mau lagi menggunakan pikirannya, apalagi pikiran kritis, karena pikiran kritis bertentangan dengan pola kepatuhan yang ada dalam birokrasi Indonesia yang merupakan warisan bangsa inlander (terjajah). Profesi ini jugalah yang membiasakan anak-anak muda tumbuh menjadi korup dan menganggap mark up dan menjilat sebagai suatu hal yang biasa.

Trenggalek memiliki cikal-bakal dan benih-benih yang rata-rata cerdas-cerdas. Tak sedikit pelajar yang potensinya melejit dan otaknya cemerlang, missalnya ditunjukkan dengan beberapa pelajar yang seringkali menjuarai olimpiade nasional maupun internasional. Guru-gurunya juga cemerlang, terbukti semakin banyak yang menyukai karya ilmiah, penelitian, dan di antara mereka seringkali menjuarai lomba guru berprestasi tingkat nasional. Artinya, di tinngkatan pendidikan sebagai lembaga untuk meningkatkan sumber daya manusia, Trenggalek sangat siap. Pendidikan semakin maju, dan saya tahu sendiri karena guru-guru dan aktifis-aktifis pendidik yang berusaha memikirkan terus bagaimana agar Trenggalek pendidikannya kian maju. Tetapi potensi yang dinamis dari sumber daya manusia ini tak pernah dilirik oleh pemerintah daerah.

Hambatannya selama ini memang ada para kepemimpinan dan problem struktural, yaitu kebijakan yang tidak memperhatikan sama sekali potensi pengetahuan, kecerdasan, dan kreatifitas yang tersebar di kalangan remaja. Pemerintah, politisi, dan stake holder hanya sibuk dengan proyek fisik, fisik, dan fisik. Salah satunya disebabkan oleh runyam dan genitnya politik kebijakan yang didominasi elit yang rebutan proyek fisik. Proyek fisik jadi andalan karena pemimpin dan jajarannya juga diuntungkan dengan jadi makelar proyek itu denga tujuan untuk mendapatkan pundi-pundi dan kekayaan untuk dirinya sendiri.

Kreativitas dan Nilai Tambah
Trenggalek adalah kota Gaplek, sehingga rakyatnya jelas suka bekerja keras. Kalau tidak bekerja keras bagaimana mereka bisa (bertahan) hidup di tengah hasil produksi pertanian seperti ketela yang harganya sangat minim. Kerja keras secara fisik akan banyak menguras tenaga tetapi hasilnya tak seberapa. Karenanya perlu otak encer dan imajinasi kreatif, agar hasil kerja bisa dijadikan sesuatu yang bernilai lebih besar.

Apa yang dari bahan baku pertanian itu diubah dari suatu produk yang lebih memiliki nilai tinggi. Diubah jadi kripik, trowol yang juga masih jadi bahan baku di pabrik, atau jadi modified cassava flour (Mocaf) yang juga jauh lebih tinggi harganya, dan lain sebagainya. Tidak mungkinkah bisa dijadikan produk lainnya yang jauh lebih bernilai agar ketela yang dihasilkan dari lading, yang ditanam jangka waktu lama, dengan kerja fisik panen yang juga membutuhkan keringat sangat banyak (bagaimana beratnya “njebol telo”), agar nilai tukar hasil pertanian khas Trenggalek ini bisa jauh lebih bernilai besar? Tidakkah ketela bisa menghasilkan bahan biogas, misalnya, yang bisa jadi kadar gasnya lebih besar dari pada Tebu atau tai sapi?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sudah selayaknya muncul dari pimpinan daerah baru yang harus berfikir bagaimana meningkatkan tenaga produktif dan kreatifitas agar daerahnya tidak terus terbelakang. Dibutuhkan kerja-kerja mengorganisir tim-tim ahli yang dapat memberikan masukan cerdas. Selanjutnya harus diformat sebuah program kerja daerah untuk memberikan perhatian bagi peningkatan jiwa berdaya usaha dan berdaya saing melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyadaran, pelatihan, pemberdayaan, dan termasuk memberikan modal usaha bagi rakyat terutama kaum muda.***